Chereads / JEJAK RASA DI BUKU FISIKA [ Indonesia ] / Chapter 2 - BAB 1 : Anak Perempuan Itu Seorang Guru?

Chapter 2 - BAB 1 : Anak Perempuan Itu Seorang Guru?

Kisah ini bermula gara-gara semangkuk bubur.

Hari pertama semester kedua tahun ajaran 2011, salah satu SMK di Bandung, Jurusan Komputer, kelas B.

Seorang murid laki-laki berambut gondrong yang duduk di kursi paling pojok sedang mengemut permen berbentuk telapak kaki sambil memandangi keluar jendela melihat murid perempuan yang sedang berolahraga. Tangannya dipenuhi gelang dan di lehernya menggantung kalung tali bermata taring.

Ada alasan kenapa aku duduk di kursi paling pojok, itu karena aku murid paling berisik di kelas, dan kalau aku duduk di depan maka murid yang duduk dibelakangku akan sulit melihat ke papan tulis karena aku juga murid paling tinggi di kelas. Saat itu usiaku hampir menginjak 17 tahun, setahun lebih tua dari mereka karena aku sempat tinggal kelas waktu SMP.

Duduk disebelahku seorang murid aneh, ya aneh, aku bilang aneh karena kerjaannya setiap pelajaran adalah membaca komik one piece atau menonton anime di hp nya dengan kualitas 3gp, tapi dia juga orang yang menduduki posisi puncak nilai tertinggi di angkatanku semester pertama lalu, dia Sahid. Sebenarnya aku juga tak kalah dengannya, kalau dia ada di posisi puncak aku ada di posisi paling dasar dalam satu angkatan, lebih tepatnya peringkat 476.

Waktu itu pelajaran pertama fisika, tapi sudah 10 menit bel masuk berbunyi Bu Dini belum juga datang, padahal dia salah satu guru paling disiplin di sekolahku. Untuk membunuh waktu, aku mengajak Mamat yang duduk didepanku ke kantin. Aku tau dia belum sarapan karena dia hidup sendiri, ayahnya seorang delegasi dan keluarganya ikut hidup diluar negeri, rumah besar yang ditinggalkan orang tuanya itu menjadi markas tujuanku dan teman-teman menghabiskan waktu sepulang sekolah.

Untuk sarapan aku biasanya memesan bubur Mang Ujang, buburnya kental dan ayamnya tidak pelit, dan yang terpenting bisa menambah kerupuk sepuasnya, karena itu aku tidak pernah meminta atau menerima kembalian darinya, aku akan bersikap baik kepada orang baik.

Setelah menghabiskan bubur, sebelum kembali ke kelas aku dan mamat biasanya pergi ke toilet belakang untuk menyantap hidangan penutup. Setiap sekolah sepertinya punya satu toilet yang letaknya paling belakang dan jauh dari peradaban para guru, toilet seperti itu biasanya dijadikan tempat berkumpul para berandalan sekolah.

Sesampainya di depan toilet, biasanya sudah ada beberapa kakak kelas dan murid seangkatan sejenisku yang sudah lebih dulu berjaga. Agil, pemimpin anak mesin, kelas 1D, tanpa ku suruh langsung mengasongkan bungkus rokok putihnya kepadaku, kubilang terimakasih sambil mengambil dua batang, yang satunya kuberikan pada rahmat.

Waktu itu di sekolahku masih berlaku yang namanya… aku menyebutnya "Rantai Makanan", kebetulan untuk kelas 1, saat itu aku yang berada di puncak "Rantai Makanan" itu, tentu saja aku tidak berani menggangu kakak kelasku karena tetap saja yang menduduki "Rantai Makanan" tertinggi sekaligus pemegang sekolah ini adalah murid kelas 3, Namanya Angga, meskipun reputasinya sangat buruk menurutku dia orang yang baik. Angga pernah bilang kalau aku mungkin punya potensi untuk menggantikan posisinya kelak.

Hal-hal yang kita bicarakan di toilet ini tidak jauh dari wanita, tawuran dan sepakbola, hari itu kita sempat membicarakan masalah anak kelas 2 yang motornya dirusak oleh murid sekolah tetangga. Sekolah kita benar-benar berdekatan, jaraknya kurang dari seratus meter dari sekolahku, tapi selama ini tidak pernah rukun, masalah demi masalah terjadi hingga menurun sampai ke angkatanku.

Pagi itu, Martin, pemimpin kelas dua merencanakan pembalasan untuk temannya, dia mengajakku.

Aku menolak dengan halus karena orang tuaku baru seminggu yang lalu dipanggil ke sekolah karena aku mematahkan hidung salah satu anak laki-laki kelas 1A, aku tak segan bersikap buruk kepada sampah sepertinya.

Lagipula, dia memang salah, berani-beraninya dia membully teman sekelasku yang tak punya ayah, apalagi dia perempuan, namanya Putri. Meskipun sudah ku jelaskan alasannya, orang tuaku tetap menghukumku dengan tidak memberiku uang jajan untuk satu minggu.

Itulah kenapa aku tidak mau mengambil resiko mencari masalah lain. Sebagai gantinya aku menyuruh Agil untuk bergabung dengan Martin, kalau memang dia menginginkannya.

Begitulah akhir dari rapat darurat yang berlangsung di toilet belakang, aku dan Mamat pamit untuk kembali ke kelas.

Sesampainya di pintu kelas aku berteriak 'Kami kembali, bangsa-t!' aku dan rahmat terkejut karena melihat seorang anak perempuan berbaju rapih sedang menuliskan sesuatu di papan tulis, dia sampai harus berjinjit untuk meraih bagian atas papan tulis itu, karena teriakanku dia melihat ke arah kami berdua, akhirnya kami bergegas kembali ke tempat duduk.

'Kenapa ada anak SMP didepan? Sedang apa dia?' Tanyaku pada Sahid.

'Bodoh! Dia guru fisika yang baru' Jawabnya.

'Apa maksudmu? Kemana Bu Dini? Kenapa yang menggantikannya anak seumuran kita?'

Kalau Sahid tidak menjelasknnya aku mungkin akan terus menganggapnya anak SMP. Wajar saja, wajanya masih terlihat sangat muda, mungkin itu yang disebut "babyface", rambutnya sebahu diikat kuda, dan suaranya sangat kecil, hanya terdengar samar-samar dari tempat duduk ku di belakang.

Namanya Kamila Mayangsari, teman-temanku memanggilnya Ibu Mila, aku lebih suka memaggilanya Mayang, umurnya 20 tahun, tertulis di atas papan tulis bekas perkenalan, dia mahasiswa perguruan tinggi di Bandung yang melaksasnakan PPL di sekolahku, dia akan menggantikan Bu Dini untuk mengajar fisika selama 6 bulan di kelasku.

Kalau kau tanya bagaimana kesan pertamaku terhadapnya, aku hanya berpikir dia guru yang unik. Maksudku, dia tidak memiliki wibawa seorang guru sama sekali, aku terasa seperti sedang diajari oleh teman sekelasku, meskipun nantinya aku menyadari kalau dia adalah guru terbaik untuku.

Dia mengajar dengan sangat fokus dan serius, aku yang duduk paling belakang juga ikut fokus, fokus membaca komik one piece yang ku pinjam dari sahid. Lagipula percuma saja, dari awal aku memang benar-benar sulit untuk mengikuti pelajaran di kelas, saat itu aku sudah pasrah dengan masa depanku, membiarkan aliran takdir yang menuntun.

Di akhir perlajarannya dia mengabsen murid-murid, sudah pasti aku yang pertama dipanggil.

'Saya absen ya, Adrian Pratama…'

'Hadir' Kujawab dengan pelan.

'Ohh, kamu tadi yang telat masuk ya? Dari mana saja kamu, kenapa telat?'

'Loh, bukannya ibu yang telat? Kenapa kalau murid yang telat jadi masalah kalau guru tidak?' jawabku kekanak-kanakan, dia terlihat jengkel.

'Badan kamu paling besar tapi kelakuanmu seperti anak kecil ya!' Balasnya. Teman sekelasku juga tertawa, bersorak sependapat dengan ucapannya, 'Hahhaha, Acil!', 'Huuu, Bocil!'

'Ibu juga sama! Ibu seperti anak kecil! Lagipula, Apakah Ibu benar-benar guru?' Jawabku terbawa emosi.

Mendengar perkataanku yang cukup kasar itu membuatnya mengerutkan dahinya, tapi tetap saja aku sama sekali tidak takut. Akhirnya dia memilih untuk melanjutkan absen tanpa menghiraukanku lagi.

Waktu istirahat sering ku habiskan dengan bermain sepakbola di lapangan tengah, lapangan ini bisa terlihat dari seluruh kelas di lantai satu dan dua, jadi sudah jelas murid yang sedang bermain di lapangan ini saat istirahat akan menjadi pusat perhatian seluruh murid lainnya di sekolah.

Saat itu, aku dan teman kelasku sedang melawan kelas 2D, ada peraturan tidak tertulis dimana kita harus "menghormati" senior, jadi kami memutuskan untuk tidak bermain dengan serius agar senior kami menang dan nantinya tidak menimbulkan masalah.

Di pertengahan pertandingan yang tidak seimbang itu, speaker utama sekolah yang terpasang di banyak sudut tiba-tiba berbunyi,

'Panggilan kepada Adrian Pratama Kelas 1B agar menemui Ibu Dini di ruang guru!'.

Suara dari speaker itu bergema ke seluruh penjuru sekolah, murid-murid yang sedang menonton pertandingan dari lantai dua bersorak kepadaku. 'Wooo, Selamat Cil! Hahaha'.

Ahh, Sial! Ada apa lagi ini? Kenapa harus sekarang?

Dari kejauhan Bu Dini sudah bersiap di depan pintu ruang guru menyambutku dengan muka masam dan kedua tangannya ada di pinggang.

'Kamu tau kan kenapa Ibu panggil?' Bu Dini memulai amukannya.

'Apa Bu Mayang bilang sesuatu sama Ibu?' Kujawab

'Adrian! Nilaimu jelek, kelakuanmu seperti bocah, apa sopan santun juga tidak punya?

'Apa kamu tau tadi Bu Mila datang dari kelasmu sambil menangis?'

'Apa kamu lupa dengan perjanjian yang sudah kamu buat dengan orang tuamu minggu lalu?'

'Apa kamu sudah siap meninggalkan teman-temanmu dari sekolah ini?'

Aku terdiam.

Kata-kata yang terlontar dari mulutnya, tidak ada yang bisa ku bantah.

Minggu lalu saat orang tuaku dipanggil, sekolah memberikan ultimatum kepadaku, sebuah kesempatan terakhir, kalau aku membuat masalah lagi, tidak ada jalan lain bagiku selain meninggalkan sekolah ini, dan kesempatan terakhir itu terbuang gara-gara sikap bodohku.

Diantara keheningan itu, tiba-tiba Bu Mayang masuk ke ruanganku sambil memegang tisu di tangannya, matanya terlihat masih basah, ternyata dia mendengarkan seluruh percakapan dari ruang sebelah.

'Bu Dini, Maaf saya memotong,'

'Sepertinya saya bukan calon guru yang baik'.

'Saya sadar seharusnya saya bisa lebih kuat lagi dalam menghadapi murid, bukan merengek seperti anak kecil.'

'Tentu yang dilakukan Adrian juga salah, tapi kalau hanya gara-gara hal itu dia dikeluarkan'

'Saya mungkin akan selamanya merasa gagal menjadi guru.'

'Saya akan selamanya merasal bersalah telah menghancurkan masa depannya.'

'Bu Dini…'

'Saya ingin membantunya.'

'Saya ingin mendidiknya menjadi murid yang pintar.'

'Saya ingin mengubahnya menjadi manusia yang lebih baik.'

'Saya ingin memperbaki sikapnya menjadi lebih dewasa.'

'Jadi beri dia, tidak, beri kami satu kesempatan lagi.'

Hari itu kami bertiga membuat beberapa kesepakatan, salah satunya adalah menjadikan Bu Mayang sebagai pengawas dan mentor pribadiku, dalam ujian kenaikan kelas yang dilaksanakan enam bulan mendatang, aku harus masuk setidaknya ke peringkat seratus besar. Jika berhasil, Bu Dini menjanjikan nilai PPL yang tinggi kepada Bu Mayang, lalu untukku, aku mungkin bisa terbebas dari ultimatum sialan itu.

Jadi, kisah ini bermula dari bubur Mang Ujang yang tanpa sadar menuntun wajah cantik Bu Mayang ke dalam masa mudaku.

Begitulah kisahku, bukan, begitulah kisah kita dimulai.

============================

Betapa bodohnya aku saat itu,

Aku tidak berpikir kalau dia juga seorang wanita,

Aku tidak berpikir kalau saat itu dia masih muda & rentan,

Aku tidak berpikir kalau itu adalah pengalaman pertamanya mengajar,

Aku tidak berpikir kalau kata-kataku akan menyakiti perasaannya,

Pada akhirnya aku membuatnya menangis,

kau benar-benar bodoh, Cil!

Bu Mayang,

Maaf,

Dan… Terimakasih.

==============================