Salma duduk berhadapan dengan Azzam. Dia menatap putranya. Anak laki-laki yang dia besarkan dengan penuh cinta. Perasaan bersalah pun muncul saat menyadari bahwa sebagian dari kesalahan yang dilakukan putranya hari ini adalah minim pengawasannya, dan sikapnya yang selalu memanjakan dan terlalu percaya pada Azzam. Terlalu membela putranya dan hanya menganggap putranyalah yang benar. Dan tidak mendengar orang lain.
"Apa yang mau Mama tanyakan?" tanya Azzam menunggu Salma bicara.
"Kehadiran Papanya Sellia malam itu, apa benar Sellia telah kamu hamili? Mama tahu terlambat untuk Mama menanyakan hal ini. Harusnya empat tahun lalu Mama menanyakan ini. Tapi waktu itu Mama tahunya tidak akan mungkin anak laki-laki Mama melakukan hal serendah itu."
"Tapi memang itu tidak benar, Ma. Papanya Sellia bohong tuh."
"Kamu yakin? berani bersumpah atas nama Allah? ini bukan perkara kecil, Zam. Ini perkara besar. Dosa besar. Harusnya Mama mendesakmu waktu itu agar mau mengaku. Tapi malah membiarkanmu lari ke Luar Negeri dan meninggalkan masalah di sini seolah tidak terjadi apa-apa."
Azzam terdiam. Dia tidak berani bersumpah atas nama Allah. "Terserah kalau Mama tidak percaya sama aku. Yang jelas aku sudah lupa akan hal itu dan itu semua tidak benar." jawab Azzam.
"Ya sudah ayo bersumpah kalau memang itu tidak benar. Ingat Zam, kamu punya adik perempuan. Harusnya kamu menghargai perempuan, agar adikmu juga dihargai orang. Melihat kedekatanmu dengan Kinan, Mama rasa kalian terlalu berlebihan dalam berhubungan. Yang seperti itu bukan ta'aruf namanya."
"Mama ini kenapa sih? tiba-tiba ungkit masalalu, terus mengaitkan dengan Kinan? Ma, aku mencintai Kinan dan aku hanya ingin menikah dengannya. Tapi kalian yang mempersulit. Apa kami harus kawin lari saja karena tidak kunjung dapat restu dari kalian?"
Salma menatap geram pada Azzam. Tidak pernah dia semarah ini sebelumnya. Kali ini dia rasa Azzam sangat keterlaluan.
"Sampai kapanpun kami tidak akan merestui kalian." tiba-tiba Abidzar datang.
"Kenapa, Pa? Memangnya apa yang kurang dari Kinan? dia cantik, sholehah, cerdas dan dari keluarga terpandang.
"Dia memang cantik, tapi sholehah? ini lihat." Abidzar meletakkan foto Kinan tanpa hijab dengan pakaian mini berjalan-jalan di mall. "Seperti ini yang kamu bilang sholehah?"
Azzam syok melihat penampilan Kinan di foto itu. Bukannya dia tidak tahu kalau Kinan memang seperti itu. Tapi dia kaget karena Papanya sampai tahu Kinan yang sebenarnya seperti apa. "Darimana Papa dapat foto ini? mungkin ini foto waktu Kinan belum berhijab." ucap Azzam yang masih saja membela Kinan.
"Baru seminggu yang lalu." jawab Abi dengan tangan terlipat di depan dadanya. Menatap putranya ini dengan tatapan marah. Tapi dia akan menahannya lebih dulu sebelum membuka semua di depan Azzam.
"Masa sih Pa? Papa pasti menyuruh orang. Bisa saja orang itu tidak suka pada Kinan. Dan merekayasa semuanya.
"Ini ponsel Papa. Lihatlah tanggal dan video itu dibuat. Kamu cerdas kan? coba saja cek tanggal berapa. Kamu masih belum percaya? Berarti kamu yang dibodohi Kinan. Dia memang wanita cerdas. Tapi buat Papa dan Mama, cerdas dan cantik saja tidak cukup untuk menjadi seorang istri. Sudah ada bibit bohong juga tuh seperti orangtuanya yang menjalankan bisnis tidak jelas. Papanya pernah masuk penjara karena investasi bodong lima tahun yang lalu. Tapi Mamanya juga cerdas sih makanya mereka masih kaya sampai sekarang karena suka nipu sana sini. Dan saat ini target mereka adalah kamu." Abi tersenyum miring. Menunggu respon dari Azzam.
"Papa benar-benar sudah dibohongi orang suruhan Papa. Tidak mungkin keluarga Kinan seperti itu. Papanya Kinan itu punya usaha kelapa sawit di Kalimantan lho Pa. Bisnisnya juga menggurita di Jakarta. Harusnya Papa seneng bisa berbesan dengan mereka."
"Hahaha.. Azzam, seperti inikah pemikiran seorang yang bergelar Magister dari Luar Negeri? yang mau saja dibohongi?"
"Terserah apa kata Papa dan Mama. Aku akan tetap menikahi Kinan." Azzam hendak berdiri.
"Silakan saja. Menikah dengannya, berarti harus keluar dari keluarga Papa. Papa tidak mau punya anak dan menantu seperti kamu dan Kinan."
Azzam lantas berdiri lalu meninggalkan Abi dan Salma. Kedua orantuanya hanya bisa menatap kepergiannya. "Astaghfirullah. Dosa apa Mama, Pa? sampai punya anak seperti Azzam. Kita sudah lalai menjaganya." ucap Salma sambil menangis.
"Kita terlalu percaya kalau anak kita bisa menjaga dirinya. Sehingga kita tidak tahu pergaulannya di luar sana seperti apa. Oma dan Opanya kalau masih hidup pasti sedih sekali melihat Azzam seperti ini."
**
Suasana penuh kebahagiaan ada di keluarga Arka dan Yumna saat ini. Setelah pernikahan Rafka dan Zakiya, mereka merasa sangat bahagia. Rafka dan Zakiya kini berada di rumah Rafka sebelum lusa mereka akan pindah ke rumah baru mereka.
"Kalian istirahat saja dulu. Nanti sore setelah kita semua baru siap-siap untuk resepsi nanti malam." ucap Yumna yang tampak sibuk menata bunga di atas meja.
"Iya, Ma. Kami ke kamar dulu ya." Rafka merangkul mesra sang istri dan mengajaknya ke kamar pengantin. Dari tadi Rafka senyum-senyum. Dia tidak sabat ingin berduaan dengan wanita yang kini telah sah menjadi istrinya. Wanita yang hanya akan menunjukkan kecantikannya di depan Rafka seorang. Rafka seperti menemukan sebuah mutiara yang lama berada di dalam cangkang. Dan kini siap untuk ia buka dan nikmati.
"Selamat datang di kamar kita, Sayang." ucap Rafka saat membuka pintu kamar.
"Makasih Kak." Zakiya mengikuti Rafka. Tadinya kamar itu gelap, tapi setelah Rafka menyalakan lampunya, betapa terkejutnya dia melihat kamar pengantin yang luas, mewah dan penuh keromantisan. Dengan dekorasi bunga mawar di sana sini. Menambah keromantisan di antara mereka.
"Suka?" tanya Rafka.
"Suka banget, Kak. Makasih."
"Yuk bersihkan diri lalu.." Rafka senyum-senyum. Dia tidak mau melanjutkan kalimatnya.
"Lalu apa Kak?" Zakiya yang tampak malu-malu hanya duduk di pinggiran ranjang. Sangat malu menatap suaminya.
"Masa ga tahu sih. Laki-laki dan perempuan setelah mengucap ijab qabul, enaknya ngapain, ya?" Rafka membuat teka teki agar dijawab oleh Zakiya.
"Mandi ya Kak. Soalnya gerah."
"Iya memang harus mandi dulu biar seger. Sini aku bukain cadarnya. Sebelum buka yang lain." ucap Rafka. Tentu saja membuat Zakiya malu. Dia tahu apa yang dipikirkan Rafka. Tapi dia pura-pura tidak tahu.
"Silakan, Kak." ucap Zakiya.
Kedua mata mereka saling bertatapan. Sebelum Rafka membuka cadar Zakiya.
'tiga, dua, satu,' Rafka menghitung dalam hati dan membuka pelan-pelan.
"Masya Allah bidadariku." ucap Rafka setelah cadar Zakiya terbuka.
"Aamiin.. semoga kita dipertemukan lagi di surga nanti ya, Kak." Zakiya malu saat wajah Rafka semakin dekat dengan wajahnya. Rafka menelengkan kepalanya ke kanan lalu mencari bagian wajah Zakiya yang menggodanya sejak membuka cadar tadi. Bibir yang merah merona itu membuatnya ingin melumatnya dengan lembut. Zakiyapun memejamkan mata saat Rafka melakukannya.