Namun, tiba-tiba aku mulai merasakan sakit kepala lagi seperti pukulan keras yang langsung mengenai kepalaku.
Aku meremas rambutku dengan kedua tanganku cukup kuat, sambil mencoba menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut hebat.
Dengan kaki gemetar, dan pandangan buram, aku memaksa kakiku untuk berdiri; mencari obat di lemari yang mungkin bisa menghilangkan sakit kepalaku, tapi tidak menemukan apa-apa. Aku pun menjatuhkan tubuh ke lantai begitu saja.
Kakiku tidak kuat untuk berdiri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain meringis karena rasa sakit, menahan semua rasa sakit yang sepertinya membuatku akan mati.
Setelah beberapa menit, rasa sakit itu mulai mereda. Aku berdiri perlahan dan berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dari air mata sebelum kembali ke ruang tamu.
Melihat rokok itu tergeletak di lantai, aku mengambilnya, menyalakannya, dan bersandar dengan lemas.
Hingga suara bel pintu berbunyi, dan aku dapat menebak bahwa itu adalah Kim Daehyun.
Aku pun segera membuka pintu dan cukup yakin bahwa itu adalah dia.
Kim Daehyun meletakkan file di atas meja dan duduk di sofa. Aku duduk di sampingnya dan membuka beberapa file.
Sesaat kemudian, menyadari bahwa Daehyun sepertinya tidak ingin pergi, aku berbicara, bermaksud untuk mengusirnya secara halus, "Daehyun, ini sudah larut malam. Kamu harus pergi."
"Aku sangat lelah hari ini." Dia bersandar di sofa, lalu memejamkan mata, sama sekali tidak bermaksud untuk pergi.
Aku melihat wajahnya yang memang terlihat lelah. Ia pasti telah melalui banyak hal hari ini. Aku bertanya, "Dari mana kau mendapatkan nomorku?"
Daehyun tidak menjawab. Ia tetap menutup matanya, dan tidak bergerak. Akupikir, ia sedang tidur, jadi aku mencoba membangunkannya dengan menyentuhnya.
Namun, ketika aku menyentuh wajahnya dengan jari telunjuk, sebuah senyuman menutupi rasa lelahnya. "Apa kau tinggal di sini sendirian?"
Aku segera menarik tanganku kembali dan merasa sangat malu, hampir tidak bisa berkata-kata. Aku menjawab dengan suara kecil, "Ah, itu ... dengan temanku ..."
"Teman…" Kim Daehyun membuka matanya dengan hati-hati, lalu menatapku, dan aku pun segera membuang muka.
"Kau merokok? Itu tidak sesuai dengan penampilanmu."
"Diamlah. Kau terlalu banyak bicara."
Dia terkekeh kecil sebelum keheningan terjadi. Kecanggungan ini tidak membuatku bisa memikirkan ide untuk membuka percakapan baru. Aku meliriknya, dan ia juga sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
Setelah melihat keadaannya sejenak, aku mengalihkan pandanganku kembali ke meja, ke tumpukan file di atasnya dengan kekosongan di mataku.
Namun beberapa saat kemudian, suara Daehyun tiba-tiba terdengar seperti angin memecah kesunyian, "Chunghee, lama tidak bertemu ...."
Aku tahu bahwa Daehyun sedang menatapku saat ini. Aku bisa merasakan bagaimana matanya yang tajam bisa menembus pertahananku. Tetapi, tanpa keberanian, aku tidak ingin berbalik dan melihat wajahnya. Aku hanya bisa terdiam tanpa topik pembicaraan.
Daehyun menghela napas berat, lalu berkata, "Oke, sepertinya aku memang harus segera kembali."
Menyelesaikan kata-katanya, ia berdiri dan merapikan jasnya. Sementara itu, aku menatapnya saat ia saat ini mulai berjalan menuju pintu sebelum mengikutinya dari belakang.
"Oh ya, nomorku — itu nomorku. Kau harus menyimpannya." Di pintu, ia berbalik dan melanjutkan, "Dan soal file-file itu, aku mengandalkanmu, oke?"
Tersenyum, ia menyentuh kepalaku.
Namun, perlakuan itu tiba-tiba membuatku terkejut dan secara refleks menyingkirkan tangannya dengan kasar.
Aku tidak ingin ia menyentuhku seperti itu. Terasa sangat intim — aku tidak terbiasa jika orang lain harus melakukannya.
Aku menunggu hingga ia benar-benar tidak terlihat, lalu menutup pintu dan kembali ke sofa, menatap file-file itu dengan tatapan kosong. Ketika aku menemukan pikiranku, aku pun berpikir bahwa pria itu hanya ingin membuatku tidak tidur sepanjang malam.
Aku dan Kim Daehyun adalah teman semasa kecil. Meskipun ia dua tahun lebih tua dariku, aku tidak pernah memanggilnya 'kakak laki-laki', rasanya aneh dan agak berjarak.
Namun, hingga saat ini, ia tidak mengeluhkan hal itu sama sekali dan sepertinya tidak apa hanya memanggil namanya saja.
Dulu aku memiliki perasaan padanya secara diam-diam. Namun, jatuh cinta padanya adalah kenangan yang sudah lama hilang. Perasaan itu hanya di masa lalu ketika aku telah menemukan seseorang untuk mengisi tempatnya di hatiku.
Sayangnya, sepertinya aku telah memberi tempat untuk seorang bajingan, dan sekarang terjebak dalam perasaanku sendiri.
Aku tersenyum bodoh saat pikiran itu tiba-tiba terlintas di kepalaku. Setelah mengamati file, aku mematikan televisi, lalu membawa file tersebut ke ruang kerja Donghae, dan menaruhnya di atas meja. Kemudian, aku menyalakan komputer untuk mulai mengerjakannya, hingga lewat tengah malam, jam 1:00 pagi.
Aku telah memasukkan semua data. Aku juga telah mengatur semua janji untuk Tuan Kim, bos yang menyebalkan itu. Sejujurnya, aku sedikit kesal dengannya karena memberiku pekerjaan ini.
Berbaring di tempat tidur, aku memeriksa ponselku, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat panggilan dari Donghae hampir dua jam yang lalu.
Aku pun bangun dan segera meneleponnya kembali. Untuk panggilan pertama, ia tidak menjawab, tetapi tanpa menyerah, aku mencoba meneleponnya sekali lagi dan suara yang akrab terdengar di telepon, "Kenapa kau tidak mengangkat teleponmu?!"
Suaranya mengejutkanku. Perasaan gembira seketika menjadi rasa sakit luar biasa saat aku mendengar ia membentakku seperti itu.
Namun, aku berusaha menyembunyikan perasaan itu meskipun aku berbicara sedikit terbata-bata, "Maaf ... aku tidak mendengarnya. Tadi aku—"
Donghae menutup telepon sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.
Aku terkejut, tersenyum bodoh dengan rasa sakit ini sambil menggenggam ponselku dengan erat.
Namun, aku tidak ingin menyalahkanmya dan memukuli diri sendiri ketika pikiran buruk kembali ke kepalaku.
'Ini salahku. Aku telah membuatnya marah.'
'Benarkah? Lalu mengapa aku menangis?'
Ada hal yang lebih menyakitkan, seperti ditusuk pisau tepat di hatiku tanpa ampun. Saat berbicara dengannya, aku mendengar suara dari orang lain, dan aku yakin pria itu tidak jauh darinya saat panggilan sedang berlangsung. Itu adalah 'erangan' dan aku mendengarnya dengan cukup jelas meskipun suaranya terdengar tertahan.
Aku berbaring dan berpura-pura tuli. Namun, tidak peduli seberapa banyak usaha itu, hatiku tidak pandai membalikkan perasaanku sehingga air mata mengalir tanpa henti.
'Apa yang kau lakukan?'
'Apakah kau masih mencintaiku?'
Akupikir, mengabaikanku selama ini adalah hal yang paling menyakitkan bagiku, tetapi kenyataannya, Donghae melakukan hal-hal yang lebih menyakiti perasaanku daripada sebelumnya, dan yang bisa aku lakukan hanyalah mengatakan bahwa aku baik-baik saja, selama aku masih menganggap diriku baik.
Aku mencoba untuk memejamkan mata; mencoba menahan hal yang menyakitkan ini sampai aku tertidur karena lelah memikirkan semuanya, hanya agar aku tidak merasakan apa-apa.