Daejeon, pukul 18:00 malam.
Kota ini menyedihkan dan suram.
Sekarang adalah awal musim semi di tahun ini. Hampir sebulan setelah kematian Saudara Lee, aku hanya terus menangis sampai salju terakhir turun di Kota Daejeon yang terlihat ramai tapi tanpa keriangan di mataku.
Kelap kelip lampu warna-warni perkotaan hanya berupa kesuraman yang membuat kesedihanku semakin mendalam di hari-harinya.
Di samping jendela kamar, aku menyandarkan kepalaku di kusen, merenung mengenai banyak hal di pikiranku yang semuanya hanya tertuju pada satu orang berharga, yang telah kuanggap sebagai seorang yang penting di dalam hidupku — Lee Donghae. Mengingat semua hal manis dan pahit, mulai sejak awal pertemuan kami hingga Saudara Lee membuangku begitu saja, tanpa rasa kasihan, tanpa rasa cinta di matanya.
Tunggu... hal manis?
Aku bahkan tidak mengingat seperti apa hal manis itu saat bersamanya. Yang ada hanyalah: Saudara Lee datang, seks, dan pergi.
Itu terulang hampir di setiap harinya.