Shane mendongak, mendapati Rachel berjalan beriringan dengan Lorne tanpa kontak fisik. Tatapannya jatuh pada iris cokelat khas Rachel. Senyumnya ia jaga sebaik mungkin agar tidak layu. Seberapapun ia berusaha untuk merebut hati Rachel, pada akhirnya tetap akan sama. Gadis itu lebih memilih cinta dibandingkan arti dari sebuah pengorbanan.
"Kau terlambat, Shane," kata Lorne membuyarkan lamunan Shane.
Shane memalingkan matanya dari Rachel cepat-cepat. Jatungnya berdebar dua kali lipat. Kedua tangannya tidak memegang garpu dan pisau dengan benar. Ia hanya memainkan dua alat tersebut; mengetuk-ngetukkan pada piringnya. Shane tertunduk gelisah tertangkap basah seperti itu. Ia yakin Lorne tidak hanya sekadar berbicara. Pasti ada maksud lain yang bisa ia tangkap.
"Oh, sepertinya kau benar. Kau tidak perlu repot untuk ke kantor hari ini. Aku yang pergi," tambah Lorne.
Shane mengerjap cepat, menenangkan detak jantungnya. Lalu mendongak perlahan sembari menatap mata Lorne. "Kau datanglah siang nanti. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan."
Rachel hanya mengulum senyum melihat reaksi Shane yang berlebihan. Ia paham Shane seharusnya tidak segugup itu dalam mengatasi situasi seperti ini. Tawa Rachel tertahan. Ia menggigit bibir bawahnya agar jangan sampai hal buruk terjadi di pagi seperti ini. Rachel berdeham kecil lalu memandangi Lorne yang sedang asyik menikmati roti gandumnya.
"Lorne, aku ikut denganmu," ujar Rachel.
Lorne hanya mengangkat alis kirinya lalu mengurangi jaraknya dengan Rachel. "Kemana?"
Rachel bergidik mundur lalu membiarkan tangannya melesat pada kepala Lorne. "Jangan pura-pura bodoh."
Lorne tertawa ringan. Tawa yang begitu memikat Rachel dan dalam sedetik mematahkan hati Shane. Shane meringis menahan luka dalam hatinya. Tundukan kepala Shane cukup untuk menyembunyikan ekspresinya. Shane merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia payah dalam hal membahagiakan Rachel. Rachel dan Lorne seakan pasangan yang serasi, walau kenyataannya hanya luka yang sedang Rachel pelihara.
Rachel memalingkan pandangannya pada tumpukan roti yang baru ia makan kurang dari setengah. Selera makannya hilang tiba-tiba. Entah mengapa ia merasa demikian, namun nyatanya kelopak mata itu menatap raut kepedihan yang disodorkan begitu saja dihadapannya. Rachel menelan ludah. Menahan reaksi berlebihan. Ia gelisah. Ia sadar. Ada satu dua hal yang pasti melukai hati Shane. Ia mengumpat dalam hati. Dadanya sesak. Jantungnya berdebar cepat. Panas.
Rachel berdiri cepat. Ia gagap kata. Rachel sulit mengungkapkan betapa bodohnya ia hari ini. Rachel hanya menjilat bibir tipisnya, mengerjapkan mata beberapa kali tanpa menjelaskan apapun kepada Karla maupun Rena. Ia hanya berjalan cepat menuju kamar Lorne. Membanting pintu kamar Lorne semerdu mungkin.
"Permisi," kata Lorne lembut.
Lorne menyapu bibirnya dengan kain yang tersedia; berdiri perlahan menuju kamarnya. Lorne bingung akan reaksi dadakan Rachel. Ia tidak merasa berbuat salah atau mengatakan hal yang tiba-tiba menyinggung perasaan Rachel. Sikap wanita itu membuat hati Lorne gelisah. Siapa sangka di mata Rachel, Lorne telah berbuat sesuatu yang keliru. Ia hanya perlu memastikan. Mempertanyakan segala kemungkinan.
Deritan lembut pintu kamar itu sama sekali tidak mengganggu Rachel yang masih memangku kepala pada telapak tangannya. Rachel sibuk memikul bebannya. Ia juga tidak berniat menceritakan apapun pada Lorne. Rachel merasa sesak. Hembusan napasnya ia buat sekencang mungkin, membuat Lorne terdiam di tempatnya. Memandangi reaksi Rachel yang masih sama murungnya.
"Rachel," ucap Lorne lirih.
Rachel menggeleng kuat-kuat, menghentikan kalimat Lorne. Lorne mendekati Rachel. Duduk tepat disebelah wanita itu. Lorne melingkarkan tangannya pada pinggang Rachel. Membuat wanita itu bersandar pada dada bidang Lorne yang melampaui batasan nyaman. Rachel membalas pelukan Lorne. Pejaman matanya masih setia. Sesekali Rachel mendesah ringan menahan air mata.
Lorne mengangkat dagu Rachel lembut, membuat wajah rapuh Rachel menyayat hati Lorne dengan sempurna. Lorne meraba kedua mata Rachel menanti wanita itu siap untuk menatap dirinya. Tidak ada respon. Lorne mendekap Rachel lebih lagi. Membiarkan keluh kesah singgah padanya. 'Tak apa. Begini saja cukup untuk mengerti sela hati Rachel. 'Tak masalah. Setidaknya ia tahu Rachel tidak sendiri.
Membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk membuat Rachel tertidur dalam pelukannya. Tidurnya 'tak sepulas biasanya. Rachel memang demikian. Akibat terlalu lelah berpikir dan menahan perasaannya, ia bisa saja tertidur dimana pun dia berada. Apalagi Rachel pernah mengakui jika dada Lorne adalah alas tidur yang paling nyaman.
Lorne menggendong Rachel dan membaringkannya pada sisi kanan ranjang. Lorne menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah polos Rachel, menyisakan keanggunan yang membuat Lorne sulit berpaling. Andai Candara tidak kembali. Mungkin hatinya bisa bertindak dengan lebih adil.
"Lorne?"
Lorne menoleh pada sumber suara. Ia berjalan ringan menuju pintu lantas membukanya. Karla berusaha mengintip ke dalam kamar Lorne dan lelaki itu membiarkannya. Karla mengernyit tajam lalu menatap ke arah Lorne dengan lembut. Tatapan keibuan memang selalu mematikan jika menyangkut hal-hal sensitif seperti ini.
"Rachel hanya sedih. Dia 'kan memang seperti itu. Terlalu sedih membuatnya terlelap," gerutu Lorne.
"Kalian..."
"Apa?" tanya Lorne tegas. Lorne malas sekali jika mamanya memikirkan hal yang terlalu dewasa bagi dirinya atau Rachel. Rachel masih terlalu lugu mengingat umurnya yang juga masih belia.
Karla menggeleng. Senyumannya 'tak pudar. Masih setia tergantung rapi. "Kalian bertengkar?"
Lorne mendesah. Andai ia tahu penyebab wanita itu sesedih ini. Lorne menggeleng. Rautnya hanya menyisakan patahan yang tidak teratur.
"Shane sudah berangkat. Kalau kau juga ingin pergi, mama akan menjaganya untukmu," saran Karla.
Lorne sempat tergoda untuk meninggalkan Rachel. Namun Lorne masih penasaran dengan apa yang mengganggu Rachel sedari tadi. Lorne menggeleng lalu menutup pintu kamarnya. Ia menuntun Karla menuju ruang keluarga. Mendudukkan mamanya itu pada sofa santai dan menyalakan tv. Lorne ikut duduk disamping Karla.
"Aku bisa menjaganya sendiri. Selagi dia tidur, aku bisa menemani mama," kata Lorne.
Lorne memang seniat itu. Melakukan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. Ia pun bimbang pada dirinya sendiri. Mendadak merasa Rachel hanyalah anak kecil. Mendadak hatinya bergejolak menolak rasa persaudaraan.
**
"Sudah bangun?" tanya Lorne ketika mendapati Rachel menyisir rambutnya dengan gerakan yang begitu lembut.
Rachel menoleh, menebarkan senyum tipisnya dan kembali fokus pada rambutnya. Lorne menyentuh rambut Rachel, membiarkan kelembutan itu menari-nari pada kulitnya. Lorne menarik napas panjang, menikmati momentum bungkam yang tidak biasa. Menyisir rambut itu dengan jari-jarinya yang besar, tanpa berusaha menyakiti.
"Aku 'tak apa. Pergilah. Kau harus ke kantor, 'kan?"
Lorne menggeleng pelan lalu memantulkan senyum. "Kau bilang akan ikut."
"Aku berubah pikiran," bisik Rachel.
Lorne menggenggam tangan kiri Rachel. Ia memandangi bayangan dirinya dan Rachel dari kaca, mengingatkan betapa rapuh keduanya. Dagu Lorne menyentuh puncak kepala Rachel, memastikan kepala itu masih menempel dan berfungsi dengan baik.
"'Tak biasanya kau meniadakan sesuatu yang kau agendakan sendiri. Ada apa?"
Rachel memutar posisi tubuhnya. Membiarkan matanya menatap ukiran grayish green itu. Tatapan yang Rachel paksakan untuk tegar, namun pada nyatanya hanya menampakkan kepedihan dan rasa penyesalan. Rachel memejamkan kedua matanya. Mendorong tubuhnya untuk jatuh pada pelukan Lorne. Lorne melingkarkan lengannya pada kepala Rachel.
"Katakan," kata Lorne lembut.
Rachel memalingkan wajahnya sedikit, menghela napas panjang lalu bergumam tegang. "Shane."
"Shane?" tanya Lorne bingung.
"Ini tentang Shane," desahnya.
Lelaki itu menarik diri dan melemparkan tubuhnya pada kasur. Memejamkan mata guna mengusir letak emosi dalam dadanya. Lorne sudah 'tak segelisah tadi, hanya saja hatinya seperti disayat dengan benda tajam. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, menaruh lengan kanannya untuk menyangga leher yang mulai terasa pegal. Ini masih pagi namun Rachel sudah mengubah moodnya menjadi buruk berkali-kali.
Rachel meraih tangan kiri Lorne, melingkarkannya pada tubuh mungilnya, lalu menjatuhkan sisi wajahnya pada dada bidang Lorne. Berusaha memeroleh ketenangan. Ia 'tak begitu paham belakangan ini moodnya menjadi buruk setiap ada nama Shane yang disisipkan. Rachel meletakkan tangannya pada perut datar Lorne.
"Mungkin hari ini semua harus tentang Shane?" tanya Lorne setengah berbisik.
Rachel mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebelum memaksakan suaranya keluar dengan nada yang begitu ragu. "Mungkin aku melukainya."
"Darimana kau tahu?"
"Garis wajahnya berubah, Lorne."
Lorne mengernyitkan dahinya, namun sudah pasti Rachel tidak mendapati itu. Lorne mengencangkan pelukannya, memaksa Rachel sedikit lebih dekat dengannya. "Kalau aku, apa yang berubah?"
Rachel mengedikkan bahunya sembari mempererat pelukan, "Entahlah. Kalau aku, apa yang berubah?"
"Aku juga tidak tahu," gumam Lorne.
Lorne melempar tatapannya pada hamparan kosong pada luar ruangan ini. Ia dan Rachel sama-sama 'tak mampu menemukan bahan pembicaraan yang benar. Lorne memutuskan untuk melonggarkan pelukannya. Tubuhnya digerakkan menjauhi Rachel, namun gadis itu justru menariknya untuk terhantam lagi di kasur. Lorne mengumbar tawanya selega mungkin, Rachel menikmati itu. Hatinya membaik. Perasaan bersalah pada Shane, sedikit terlupakan. Mungkin Rachel tidak tahu apa yang berubah dari Lorne atau dirinya. Namun Rachel tahu satu hal. Hatinya kepada Lorne, tidak berkurang sedikit pun. Tetap sama. Ia tetap mencintai Lorne.
"Lorne, ayo mainkan sesuatu," ujar Rachel tiba-tiba.
Rachel mengambil posisi duduk dan menarik tubuh Lorne agar bangkit dari rasa malasnya. Lorne menuruti Rachel, tidak ada penolakan. Namun dahinya dikerutkan. Jujur Lorne malas mulai menanggapi sifat kekanak-kanakan ala Rachel. Tapi boleh apa? Sekali lagi ia terjebak dalam situasi.
"Oh, kita bisa bermain tebak nama," sambung Rachel girang.
"Tebak nama?"
"Oh, atau kita bisa saling menyebutkan nama orang yang sangat ingin kita ketahui? Saling menggali antar satu sama lain?"
"Tidak," ucap Lorne cepat-cepat. "Permainan macam apa itu."
Rachel mengulum senyumnya lalu menggantinya dengan sebuah lengkung kekecewaan. "Ayolah, Lorne. Kau dan aku sama-sama tahu kalau kita tidak bertumbuh bersama. Beda hal jika ini Shane," bujuknya.
Lorne mendesah lembut, bahkan Rachel hampir 'tak bisa mendengarnya. "Apa 5 tahun belum cukup?"
Rachel menggeleng kuat-kuat. "Kumohon."
Lorne menggenggam tangan Rachel lembut, menyerah pada bujukan gadis itu, yang elalu bertingkah seperti anak kecil yang membuat hatinya luluh. "Baiklah. Kau dulu yang memulai."
Rachel menepuk tangan Lorne cepat. "Sofia?"
"Ah, dia penggemar berat Shane. Shane-Sofia. Cocok bukan?"
"Penggemar berat? Aku 'tak tahu itu."
"Erick?"
Rachel memberengut seketika mendengar nama itu disebut. "Dia itu tukang selingkuh. Membahasnya membuatku muak."
"Mantan kekasihmu?"
Rachel mengangguk yakin. "Danieka?"
Lorne memutar kenangannya kembali pada masa dimana ia selalu sendiri. Danieka Feyra. Gadis cantik yang selalu memamerkan kelebihan dirinya. "Dia sempat menjadi sahabatku selama 3 bulan."
"3 bulan?" tanya Rachel. Nadanya kelihatan 'tak bisa menerima kalimat itu begitu saja. "Kau atau dirinya yang bermasalah?"
Senyum Lorne merekah. Matanya berkilat penuh kenangan. "Percayalah," ujarnya sembari menepuk punggung tangan Rachel. "Bersahabat pun rasanya kita tidak cocok."
"Kata Shane Danieka itu cantik sekali."
"Shane benar. Matanya membaik belakangan ini," kata Lorne sambil tertawa renyah. "Oke, katakan siapa itu Hyefvray."
Rachel menelan ludahnya bulat-bulat. Ia merasa lidahnya kelu. Mungkin salah jika ia mengajak Lorne bermain tanya jawab mengenai masa lalu. Lorne terlihat menikmati, padahal pertanyaan yang dilempar oleh Lorne membuat dadanya terasa diremas. "Aku pernah mengaguminya."
"Apakah masih?" uji Lorne.
"Iya, masih. Kalau ia kembali menemuiku, mungkin aku akan jatuh hati padanya sekali lagi," jawabnya sambil memejamkan mata. Ia benci harus mengucapkan sesuatu yang bersifat jujur kepada lelaki yang jelas-jelas saat ini dalam posisi memiliki hatinya.
"Kalau begitu semoga dia kembali," ujar Lorne lembut sambil menyentuh pipi kanan Rachel, membuat wanita itu membuka mata dan menemukan senyum tulus ala Lorne.
"Tidak mau."
"Mengapa?"
"Karena hatiku sudah dimiliki oleh laki-laki lain," gumam Rachel.
"Shane?" tebak Lorne.
Reaksi Rachel? Ia menggeleng. "Bukan urusanmu siapa yang kusuka saat ini. Menurutmu bagaimana dengan Kayla?"
"Kay—kay—kay , siapa?" gagap Lorne.
Rachel menyipitkan kedua matanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Lorne. "Kayla Berne. Masih tidak ingat?"
"Ah," desah Lorne. Lorne terkesiap mendengar nama lengkap wanita yang hampir ia lupakan.
"Ia pernah melabrak diriku 3 kali. Tapi kau sama sekali belum mengatakan siapa dia."
"Tapi aku mengatakan kepadanya kalau kau adalah malaikat kecilku, yang akan selalu begitu sampai dunia berakhir. Apa itu cukup jelas?"
Rachel memutar bola matanya, menatap mata Lorne dengan sanksi. "Kau tidak menjelaskan apapun padaku. Aku pihak korban, Tuan."
Tawa Lorne terlepas, ia bingung harus mengendalikan dari sisi mana. "Dia hanyalah salah satu penggemar beratku."
Mata Rachel tampak lebih sipit kali ini. Lorne cepat-cepat mengusapkan telapak tangannya pada muka wanita dihadapannya itu. Rachel mendengus kesal sambil mengusap wajahnya sendiri.
"Baiklah, siapa itu Jacob?"
"Sahabatku. Dan masih. Jacob meninggal 27 Agustus dua tahun yang lalu. Seminggu kemudian keluarganya menghilang dan aku tidak menemukan jejak sama sekali," jelas Rachel. Ia mengukir senyum, bahagia masih terselip nama Jacob pada kepalanya.
"Oke, giliranmu."
"Siapa Candara?"
"Darimana kau dapat nama itu?" tanya Lorne gelisah. Ia sudah lupa kalau Candara kembali lagi di dalam kehidupannya yang baru. "Siapa yang mengucapkan nama itu?"
"Shane mengatakan..."
"Shane yang memberitahumu?"
Rachel mengerutkan dahinya. Ia terkejut menerima reaksi Lorne. "Kau diam dulu. Biar aku jelaskan. Shane mengatakan ada pekerjaan penting hari ini. Ia akan sibuk mencari alasan untuk memecat salah satu pegawaimu dan memberikan kursi yang nyaman bagi Candara. Wanita itu kelihatan penting sekali bagi Shane. Maka dari itu kupikir kau mengenal Candara."
"Ya, aku mengenalnya."
Lorne meraih kunci mobilnya lalu bergegas menuju halaman depan. Memacu mobilnya dalam kecepatan maksimum, dengan Rachel yang ia hiraukan—disisinya. Jantungnya bergemuruh. Pikirannya kacau. Apa mau Shane dengan Candara?