Matanya yang terbuka langsung menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 4 pagi. Lorne membenamkan wajahnya kembali pada bantal penuh dengan kenyamanan yang selama ini selalu ia gemari. Lorne sadar masa tidurnya sudah habis. Ia tidak bisa membuat matanya merasa mengantuk lagi. Mau 'tak mau ia memaksa dirinya untuk duduk. Rachel tidak ada disisinya, itu adalah hal pertama di pagi ini yang membuat ia terkejut.
Lorne menuju kamar mandi yang tidak tertutup rapat, menemukan Rachel yang tengah merunduk dengan wajahnya yang basah sempurna. Lorne mengetuknya perlahan, menarik perhatian Rachel, lalu masuk menghampiri wanitu itu. Lorne menyingkirkan beberapa helaian rambut yang jatuh menempel disisi pipinya, menyingkirkan helaian yang mengganggu pandangannya untuk menatap wajah lembut Rachel.
"Tidak bisa tidur?" tanya Lorne.
"Kau sudah bangun?" balas Rachel 'tak ingin menjawab pertanyaan Lorne.
"'Tak apa, kemarilah," bisik Lorne sambil menuntun Rachel menuju tempat tidur.
Lorne menggenggam tangan Rachel, membiarkan Rachel bergantung padanya. Setelah Rachel berhasil dalam posisi nyaman untuk tidur kembali, Lorne mengambil posisi terdekat dengan tubuh Rachel. Memeluknya, memberikan kehangatan. Rachel memeluk tubuh Lorne, membawa pikirannya hanya pada lelaki itu.
"Aku gelisah sekali. Tidak bisa tidur."
"Tidurlah. Ini masih terlalu pagi untuk bangun."
"Aku tahu," desah Rachel setengah mengantuk. "Kalau kau? Mengapa kau terbangun?"
Lorne memikirkan jawaban yang masuk akal. Karena dirinya juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia terbangun dan merasa masa tidurnya sudah habis. "Sama."
"Lorne," panggil Rachel dengan nadanya yang mengambang akibat kantuk masih menguasai. Lorne hanya membalasnya dengan gumaman. "Semalam, bibi Grasia bertanya kepadaku."
"Lalu?"
"Katanya, kalau kita memiliki anak, aku ingin menamainya siapa."
"Kau jawab apa?" tanya Lorne menanggapi. Itu yang ia gelisahkan?
"Aku 'tak tahu. Kita tidak pernah menikah," jawab Rachel.
"Kau katakan itu kepada bibi Grasia?"
"Tidak. Aku mengatakannya kepadamu. Aku jawab 'aku tidak tahu' karena aku tahu itu tidak benar. Aku berusaha menghindari kesalahpahaman yang kau buat," jelas Rachel.
"Maafkan aku."
"Kalau kau tidak menyebutkan nama 'Weinston' dibelakang namaku, mungkin tidak akan jadi sekacau ini, Lorne."
Lorne mendesah. Ia tahu ini kebodohannya. Senyumnya mengembang. "Aku kira dia akan ingat padamu jika kusebut nama itu dibelakang namamu. Dulu kau lucu sekali, sehingga bibi Grasia tidak bisa melepaskanmu dari pangkuannya sendiri."
"Lorne," panggil Rachel sekali lagi. "Aku tahu nama apa yang akan kuberikan pada anakku jika itu bersama denganmu."
"Aku 'tak mengerti," jujur Lorne.
"Zeanne Claverra Weinston."
Lorne tidak menanggapi. Ia tidak tahu ia harus menjawab apa.
"Lucu, bukan?" tambah Rachel masih dalam gumamannya.
"Jacob."
Rachel membuka matanya. Ia merasa aneh nama itu disebutkan kembali. Ia selalu mengagumi nama itu. "Ada apa dengan Jacob?"
Lorne tersenyum. Ia membayangkan hal yang tidak sepenuhnya dibayangkan oleh Rachel. "Itu nama yang akan kuberikan pada anakku, jika itu bersama denganmu."
"Dan jika tidak bersama denganku," ujar Rachel yang kembali memejamkan matanya. "kau janji tidak akan memberikannya pada anakmu jika bersama dengan orang lain?"
"Janji. Kau?"
"Janji."
Pinky swear tidak akan berguna. Janji orang setengah mengigau, adalah janji paling manis yang pernah ada. Janji alam bawah sadar. Janji yang akan melekat kuat. Semoga sampai dunia berhenti berputar.
**
Lorne melihat Renatta berdiri di depan pintu dengan tangan yang melindungi tubuhnya dari dingin. Lorne ragu untuk menjalin hubungan baik dengan Renatta. Ide yang diberikan oleh Rachel terdengar sangat buruk. Namun Renatta pernah menjadi salah satu temannya. Hubungan yang memburuk rasanya 'tak masuk akal. Rachel benar dalam hal itu, dan mungkin egonya bisa sedikit ia singkirkan. Tepat seperti kata Rachel.
"Kau tidak akan ikut bersama denganku ke London," kata Lorne untuk mengawali percakapan mereka. Kata-kata yang buruk, batin Lorne.
"Kau terlihat bahagia."
"Kau menyesal?"
Renatta memalingkan wajahnya untuk dapat menatap Lorne. Tatapan yang sama dinginnya, sama seperti sebelumnya. "Tidak."
"Kau tahu kau bisa memiliki kebahagiaan ini jika dulu kau 'tak terang-terangan menolakku. Am I right?"
Tatapan Renatta menantang tatapan Lorne. Ia tersinggung walau hatinya tahu Lorne benar. Namun tentu saja ia 'takkan membiarkan pikiran Lorne seenaknya membuat dirinya seolah-olah mengharapkan Lorne untuk bersama dengannya. Walau sekali lagi ia tahu tepat seperti itulah yang ia harapkan dari Lorne. Cinta yang sama, tepat seperti dulu.
"Semua berubah, Nat. Jika kau sudah terlanjur jatuh pada Shane, mengapa tidak kau teruskan?" tambah Lorne.
"Aku sudah tidak menginginkannya," jujur Renatta.
Lorne tersenyum dengan sinis, memperlihatkannya kepada Renatta betapa ia puas akan jawaban Renatta. "Tentu saja."
Renatta hanya membalas senyuman itu, lalu menggumam dalam hati. Betapa ia menyesal pada apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Jika ia diizinkan untuk mengulang itu semua...
"Rachel menolak Shane."
"Untukmu?" tanya Renatta memastikan.
Lorne menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia sendiri tidak tahu mengapa Rachel menolak Shane. "Rachel merasa dirinya melukai Shane. Hatinya benar-benar tulus."
"Kau mencintainya?"
Lorne mengembalikan tatapannya pada Renatta. Terkejut, tentu saja. Ia hanya menganggap Rachel sebagai adiknya sendiri. Tidak lebih. Ia tidak tahu mengapa dua kata itu cukup untuk mengguncang keyakinannya sendiri jika Rachel hanya sebatas adik bagi dirinya.
"Apakah itu penting?" tanya Lorne berusaha mengalihkan perhatian Renatta.
"Pasangan suami-istri harus saling mencintai. Setidaknya itu yang kutahu. Bagaimana denganmu. Apa kalian saling mencintai?"
Tanggapan yang bagus. Sekaligus menjebak. Lorne tidak tahu bagaimana menjawab. Ia hanya diam. Membungkam semua pertanyaan itu. Menatap Renatta dengan tatapan yang 'tak bisa diartikan. Lelaki dewasa mampu menjawab semua pertanyaan dengan bijak. Tapi ia tidak bisa. Ia bukan lelaki dewasa? Lalu apa yang lelaki dewasa lakukan ketika ia kehilangan kata dalam lidahnya?
"Dimana Rachel?" Renatta mengganti topiknya. "Masih pulas?"
"Aku menyuruhnya untuk tidur kembali. Kami akan melakukan perjalanan yang panjang hari ini. Aku takut ia akan kelelahan."
"Berlin-London bukanlah perjalanan yang panjang, Lorne," sanggah Renatta.
Renatta membuang tatapannya dari Lorne yang kini telah memandang gang gelap di hadapan rumah Grasia. "Mmmh."
"Aku tidak mau ia kelelahan," koreksi Lorne.
Renatta menatap Lorne sekali lagi. Ia terkejut akan kalimat yang baru saja Lorne luncurkan. Untuk sejenak, ia tidak mengerti. Tapi pada menit berikutnya, ia tahu satu hal. Lorne cukup untuk bisa mencintai Rachel. Dirinya? Tidak ada nama atau wajahnya dalam hati Lorne.
"Hatiku 'tak bisa menampung dua wanita sekaligus," ucap Lorne membenarkan pemikiran Renatta.