Pernah, dan masih.
Sebersit kata itu muncul mendadak dalam tidur Lorne yang awalnya cukup menyenangkan. Ia mengerjap lalu memalingkan wajahnya sedikit ke kanan. Matanya cukup lelah menahan kantuk yang diakibatkan munculnya kalimat-kalimat Candara di setiap detiknya. Ia merasa wanita itu sudah cukup gila. Setelah 10 tahun tidak bertemu, tega-teganya ia mengucapkan kalimat yang dengan setia mengganggu kehidupan indah Lorne belakangan ini.
Lorne menyibukkan diri dengan membasuh tubuhnya dibawah kenyamanan shower silver. Ia menengadahkan kepalanya, membiarkan butiran air hangat mengaliri mukanya dengan berkedok rahang tegas. Ia menunduk, membiarkan tengkuknya juga merasakannya.
Satu jam kemudian, Lorne telah menyelesaikan kegiatan rutinitasnya. Ia menyelimuti bagian pinggang ke bawah dengan handuk besar dan berjalan santai membawa handuk yang lebih kecil guna mengeringkan rambutnya. Tangannya sibuk mengacak-acak rambut basahnya dengan mata yang masih terpejam kaku. Pikirannya sibuk mengusir kalimat singkat Candara yang bahkan tiada hasilnya sama sekali. "Sudah satu bulan," gumamnya frustasi. Gerakan tangannya makin keras hingga kulit kepalanya terasa perih.
Lorne mengenakan jas hitam andalannya dengan hati-hati. Tangannya dengan sigap meraih kancing jas itu lalu mengaitkannya secara perlahan. Jam tangan melekat kuat pada tempatnya, mengesankan nada mewah yang berlebihan. Ia tidak peduli. Sejenak matanya menangkap kalender biru muda di atas meja kerjanya. Matanya ia lekatkan hingga menemukan goresan kecil yang membuat hatinya makin kacau. "Sudah tiga puluh empat hari," gumamnya lagi.
Lorne menghela napas kuat-kuat. Membungkam seluruh desiran panas pada kepalanya. Ingin sekali rasanya berteriak dengan begitu kencang hingga emosi yang bergejolak padam lalu sirna. Lorne menyayangkan hal itu. Ia tahu ia 'tak bisa melakukannya.
Porsche macan 2.0 itu melaju dengan kecepatan medium. Bukan karena padatnya lalu lintas, namun ketegangan pikirannya 'tak ingin ia tambah dengan masalah sepele akibat kecerobohannya yang menabrak pengendara lain. Kantornya bisa dibilang cukup jauh namun dilihat dari waktu keberangkatannya ia 'tak perlu khawatir terkena ocehan dari para karyawan.
Ponsel Lorne berdering nyaring dengan alunan musik klasik yang begitu menenangkan. Lorne menghentikan mobilnya ke tepi jalan yang cukup sepi guna menikmati alunan musik tersebut. Hanya untuk sesaat. Ia memejamkan mata, membiarkan otaknya tersapu bersih hingga hanya menyisakan kebahagiaan bukan tekanan batin.
Alunan musik tersebut bungkam. Tidak lagi mengalun dalam gendang telinganya. Namun dalam hitungan detik, musik itu kembali berputar ceria dalam mobil mewah tersebut. Pejaman mata yang ia tahan selama 10 detik berhasil terputuskan ketika ia terpikir memiliki keharusan untuk menjawab panggilan tersebut. Siapa tahu penting.
"Katakan," ujarnya. Singkat, padat, jelas. Semua cukup hanya dengan satu kata tersebut. Ia anti dengan basa-basi.
"Int..."
"Mobilku sedang melaju ke arahmu. Tidak bisakah sabar sebentar?" celoteh Lorne memotong kalimat penelepon tersebut.
Lorne memutuskan sambungan telepon tersebut lalu memacu kecepatan mobil dengan sedikit lebih cepat. Lagi-lagi harus melaju dengan tergesa hanya karena seucap dering teleponnya itu. Sungguh Lorne cukup lelah dengan keadaan 34 harinya belakangan ini. Pikirannya sudah cukup kacau akibat pekerjaan yang begitu menumpuk dan kalimat Candara yang mengiang di telinganya berkali-kali. Lari pun sepertinya ia sedang tidak diizinkan. Lorne hanya bisa mendesah gelisah dan menahan semua emosi itu di dalam dadanya, tanpa membagi sedikit pun.
Porsche itu diparkir rapi dalam setiap detailnya. Ia memang mahir mengendalikan mobil-mobil mewah agar tidak ada lecet yang boleh merusak keindahan mobil itu. Ia melangkah turun dan mendapati seorang satpam menawarkan bantuan untuk membawakan koper berkasnya, tetapi ia tolak. Bibirnya membentuk sudut 'terima kasih' tanpa mengeluarkan sepatah nada.
**
Aku ingin mati detik ini juga.
Satu kalimat pertama yang terucap pada benak Lorne ketika tangannya berhasil mendorong pintu ruang kerjanya. Ia memang malas mendengar apapun penjelasan dari sekretarisnya itu. Langkahnya tegas menuju ruangan pribadinya itu tanpa basa-basi. Tapi kalau saja ia mendengarkan penjelasan dari sekretarisnya itu, mungkin nasibnya 'takkan sesial ini.
"Tuan," ujar sekretaris Lorne, Deby, yang kemudian menghilangkan suaranya ketika melihat ketegangan yang terjadi di antara Lorne dan tamu 'tak diundangnya itu. Deby berdeham sedikit, namun 'tak ada tanggapan sama sekali.
"Berkas," kata Lorne singkat. Mengulurkan tangannya yang berniat menerima berkas yang ia maksudkan.
Deby membolak-balikkan arsip yang ia bawa namun tidak mendapatkan sesuatu yang sepertinya dimaksudkan oleh Lorne. Ia bertingkah panik seketika lalu melangkah mundur. Ia menundukkan kepalanya lalu berjalan cepat membelakangi Lorne. Berucap sepatah kata rasanya justru memperburuk suasana di muka ruangan itu. Langkah Deby berubah tergesa hingga bisa dikatakan jika ia sedang berlari. Ia mencari-cari wajah rekan kerjanya namun tidak menemukan. Bertanya pada staff lain rasanya juga tidak ada gunanya. Tetap tidak ada yang melihat gadis yang Deby maksudkan.
Deby berhenti dengan napas terengah-engah pada meja bundar café seberang kantor tempat ia bekerja. Ia merasa seperti habis dikejar-kejar maling dan harus bersembunyi di tempat paling aman. Matanya berkelebat malas menyaksikan ramai pandang yang mengarah padanya akibat gebrakan pada meja 'tak berdosa itu sambil berucap keras-keras, "Jam makan siang usai." Deby mengatur napas lebih kuat lalu menahan suaranya agar terdengar lebih lirih. "Hanssie bossy kita sedang marah besar."
Kini kedua wanita itu berjalan dengan langkah lebar-lebar. Tujuan utama mereka adalah ruangan wanita yang sedari tadi masih menikmati jam makan siangnya dengan santai. Nadine membaur dengan ruangan kesayangannya itu dan langsung mendaratkan perhatian pada tumpukan file baru yang ia terima tadi pagi. Nadine menatap Deby tajam sambil menahan napas. Ia yakin tidak ada berita penting yang bisa menyulut api emosi bos mereka tersebut. Ia mengambil berkas acak lalu melemparkannya pada Deby.
"Kau yang katakan berkas apa yang ia maksud?" tanya Nadine ketus.
Deby mengangkat kedua bahunya dengan tatapan bingung. Ia sendiri juga tidak tahu-menahu soal berkas apapun yang pernah diminta oleh bosnya itu. Deby melirik Nadine yang menatapi dirinya dengan semburan kekesalan yang justru membuat ia teringat akan sesuatu sebelum Lorne benar-benar meminta berkas.
"Ada seseorang di dalam ruangan Tuan Lorne. Siapa dia?"