Lorne melepaskan jas yang ia kenakan, melemparnya dalam gantungan ke bangku belakang. Ia menyandarkan tubuhnya. Memejamkan mata cukup lama. Pikirannya menerawang jauh ke dalam ruangannya sesaat yang lalu. Hatinya turut sakit mendengar ucapan Shane. Candara menangis?
Ia menumpangkan kepalanya pada kemudi. Menyandarkan lelahnya. Ia benar-benar 'tak bisa berpikir jernih. Isi kepalanya dibajak mati-matian oleh nama Candara Leirvy. Kawan sepermainannya. Yang 10 tahun lalu ia bawa namanya ke dalam doa. Yang 10 tahun lalu ia cintai setengah mati. Lorne tidak bisa menyingkirkan nama Candara sejak dulu. Namun luka yang ia dapatkan lebih besar dibandingkan cinta yang ia rasakan dahulu sehingga ia merasa lebih pantas untuk membenci wanita itu.
"Keparat!" teriak Lorne begitu kesalnya.
Ia melajukan mobil yang ia tumpangi dengan kecepatan maksimum. Ia 'tak peduli mau jalanan padat atau tidak. Ia benar-benar merasa kelewat sial beberapa hari belakangan ini.
₻₻₻
"Lorne?" tanya Candara begitu melihat Lorne sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
Lorne tersenyum manis sekali, namun Candara justru melihat senyum itu sebagai malapetaka. Candara menunggu. Dengan sabar. Menanti jawaban yang akan diucapkan oleh Lorne. Tapi Lorne tetap bungkam. Lorne mengeluarkan setangkai mawar putih lalu berlutut dihadapan Candara. Ia menatap mata Candara dari posisinya sekarang. Candara tetap cantik dilihat dalam sudut manapun. Ia layaknya malaikat. Yang akan sulit dijangkau. Tapi Lorne yakin. Candara dan dirinya bisa sedekat ini bukan hanya karena sebuah keberuntungan. Ia yakin Candara juga memiliki gejolak yang sama dengan apa yang ia rasakan.
"Lorne? Kau sedang apa?" tanya Candara dengan mengernyitkan dahinya alih-alih menerima bunga dari lelaki itu. "Kau berdiri saja. Aku lelah menunduk."
Lorne tertawa renyah lalu mengangkat lututnya. Ia mengakui dirinya 'tak seromantis lelaki lain. Ia hanya ingin mencoba. Mencoba menjadi pribadi lain yang mungkin bisa diterima oleh Candara. Wanita sempurna yang sangat ia cintai. Ia memegang tangan Candara lembut. Meletakkan bunganya di telapak wanita itu.
"Happy valentine days, Candara," kata Lorne cepat. Berusaha mengatur emosi yang sedang ia rasakan. Nadanya mulus, walau terkesan kejar-kejaran. Tidak gemetar. Tidak juga terkesan berlebihan.
"Valentine?"
Lorne mengangguk. Kini ia yang merunduk menatap tubuh kecil Candara. "Lelah menunduk? Seharusnya kau lebih lelah mendongak." Lorne terkekeh nyaring. Ia menunduk lebih dalam , Candara terlalu shock saat itu. Ia melangkah mundur lalu berjalan ke arah ruang tamu. Oh, Lorne tidak tersinggung. Ia tidak. Lorne tertawa lebih keras sekarang. Candara salah paham. Isi kepalanya tidak sepolos raut mukanya. "Dasar pendek!"
Lorne mendesak masuk ke dalam kamar Candara. Ia melihat tumpukan novel yang menarik minat. Lorne meraih novel yang paling atas dengan cover warna biru muda itu. Ia membolak-balikkan lembar demi lembar. Lalu sampailah ia pada halaman terakhir yang dibaca oleh Candara. Tampak sebuah tulisan manis milik gadis itu.
Mencintaimu itu sulit, tapi aku sanggup.
Mata lelaki itu berkilat kemenangan. Ia terlalu bahagia. Mungkin lebih dari sekadar bahagia. Lorne mengambil pena yang selalu ia bawa. Lorne mengisi bagian kosong dibawah tulisan Candara. Dengan ukiran yang dirapikan ia mengungkapkan bagaimana kondisi hati yang sedang ia bawa menghadap Candara. Ia tahu ia terlalu lemah untuk menjadi gentle. Tapi 'tak mengungkapkan juga bukan ide yang bagus.
Dear, Candara Leirvy.
Maaf kataku kelu tiap berhadapan denganmu. Menjelaskan rasa cin...
"Kau sedang apa?" tanya Candara yang tiba-tiba sudah duduk dihadapan Lorne.
Lorne cepat-cepat menutupnya dan melupakan apa yang tengah ia tulis di dalam buku itu. Lorne berdiri cepat lalu melangkah mundur perlahan. Ia hanya tersenyum menahan malu tertangkap basah mengotori buku kesayangan Candara. Dalam hati kecilnya, Lorne berharap Candara tidak pernah membuka buku itu lagi atau setidaknya melewati bagian tempat ia menulis.
"Lorne?" panggil Candara. Ia bingung. Akan sikap Lorne hari ini. Ia berbeda. 'Tak seperti biasanya.
"'Tak ada, aku hanya membaca buku-buku itu," sahut Lorne asal.
Candara beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan malas ke meja rias. Rambut cokelatnya yang terurai ia sanggul dengan rapi. Sedangkan Lorne hanya bersandar pada pintu kamar Candara. Lorne menatap Candara, tanpa memalingkannya sedikitpun.
"Kukira," ucap Candara lembut. Candara meletakkan sisir biru kesayangannya. "kukira hanya seorang kekasih yang diperbolehkan memberikan bunga."
"A-aku, memangnya tidak boleh?" tanya Lorne gugup. Gemetar.
"Ya, tidak apa. Tapi kukira kau pernah bilang sebagai sahabat aku hanya boleh mengharapkan coklat, bukan benda lain," sahut Candara.
"Sahabat," gumam Lorne. Tapi Candara mendengar gumaman itu.
Lorne menatap Candara dengan sesak. Ia merasa tertolak setengah mati. Tapi senyumnya 'tak hilang. Ia mendesakkan tawa yang telah kehilangan humornya. Menyakitkan. Ia 'tak menyangka jika lelaki boleh merasakan patah hati.
"Tapi aku 'kan laki-laki. Dan kau wanita. Apakah salah jika memberimu bunga?"
**
Lorne menaikkan alisnya kala mamanya sudah duduk disisi ranjang. Mamanya cukup diam, sama sepertinya. Tidak benar-benar suka mengomel. Mamanya juga tidak terlalu suka menasehati. Tapi wanita berusia 59 tahun itu sangat mengerti keadaan apa saja yang sedang dialami oleh Lorne juga adiknya.
Karla membaringkan kepalanya tepat ketika Lorne menoleh. Tatapan Lorne yang diam membuat Karla makin yakin jika putra sulungnya memiliki masalah yang cukup rumit. Karla tetap bungkam. Ia memandangi langit-langit kamar sambil sesekali mendendangkan lagu 'When You Tell Me that You Love me'. Lorne juga memilih diam. Ia menopang kepalanya dengan tangan kanan, memperhatikan mamanya yang terkesan cuek padanya. Sungguh Lorne 'tak dapat mengartikan gerak-gerik Karla; membuat ia gelisah dan mengikuti arah pandang Karla.
Kini Lorne terlelap. Cukup untuk menghilangkan penatnya. Mengingat pikiran mengenai Candara telah teralihkan. Lorne mengerjap malas. Dua jam setelah ia terlelap. Langit-langit masih menyapanya. Ia mengerjap lagi. Memalingkan wajah ke kanan dengan gusar. Candara mampir lagi untuk membajak seluruh isi kepala. Astaga, sampai berapa lama perasaan akan Candara terus menghantui pikiran Lorne?
"Mama!" Lorne terperanjat. Ia mendadak dipaksa dalam posisi duduk siap berdiri. Jantungnya seakan dipermainkan oleh mamanya sendiri. Ia mengusap seluruh muka dengan tangan kiri lalu kembali duduk sambil mengamati Karla yang masih dalam sikap tidur. "Aku bisa jantungan karena mama terus mengejutkanku."
"Mama hanya bersiap menampung air matamu," sahut Karla. "Masih seperti dulu, Lorne."
Kalimat Karla mengisyaratkan seolah ia tahu gejolak apa dalam dada Lorne. Ia mendekatkan dirinya, hingga ia bisa bergerak dengan bebas menyentuh wajah putra sulungnya. "Shane cerita. Candara mampir ke ruanganmu."
Lorne melangkah kesal menuju kolam renang. Karla menyusul dengan wajahnya yang masih memanggul senyum. Karla menyusul Lorne yang tengah duduk di pinggir kolam renang sambil membasahi kakinya. Karla melakukan hal serupa.
"Senang menjadi muda kembali," gumam Karla.
"Mama tidak akan mendengar cerita apapun dari mulutku. Nama Candara Leirvy telah kututup rapat dalam buku tanpa judul. Ia telah selesai denganku. Ia sudah bukan satu bagian penting dalam hidupku. Dia sudah selesai."
Lorne terdiam. Tangan kirinya mengepal pada dahinya yang terasa akan meledak.
"Dia tidak bersalah, Lorne," desah Karla lembut.
Lorne menyerah. Ia tahu Candara tidak salah. Ia yang salah. Ia yang terlalu bodoh. Mudah mengharap pada seseorang yang jelas hanya mengganggap dirinya sebagai sahabat, dan 'tak lebih. Lorne bahkan tidak pernah mengira. Jika lelaki diizinkan untuk menangis. Menangis karena terlalu patah oleh seorang wanita. Hari ini. Senin, 24 September 2018. Ia menangis. Sekali lagi, demi Candara.