Chereads / DEPATI KURIS NOTOYUDO / Chapter 3 - Melarikan Diri

Chapter 3 - Melarikan Diri

Dari hari ke hari Majedah semakin bertambah murung. Terasa jarak yang menabiri antara dirinya dan suaminya menjadi bertambah luas. Kini dia jarang sekali tersenyum.

Hanya kadang-kadang terlihat dari matanya sebuah kata yang tak terucap. Terasa kebahagiaan yang didambakannya makin tak terjangkau.

Di saat-saat yang sepi, selalu datang kembali ingatan tentang ayah bundanya yang jauh di Dusun Lampar. 

Meskipun kepergiannya ikut suami itu atas restu orang tuanya. Namun dalam kesempitan keadaan seperti keadaannya kini, Majedah berulang kali menyebut nama ayah bundanya.

Tetapi dia sadar, bahwa ayah dan bundanya itu, sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu untuknya.

Ketika langit bersih, dan bulan mengapung di udara, Majedah mencoba mencari ketenangan di luar biliknya. 

Dalam malam yang sepi, di taburan warna cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dipandangnya malam yang suram dengan hati yang suram.

Bunga-bunga yang beraneka warna. Daun-daun dan batang-batang perdu yang ditanamnya berpetak-petak. 

Namun semuanya tak menyegarkan hatinya.

Yang tampil di hatinya, adalah kegelisahan dan kecemasan. Tetapi Majedah itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Bulan yang kuning itu seakan- akan menjadi cerah seperti hatinya. Perlahan-lahan bibirnya tergerak. Dia tersenyum sendiri. Ia puas dengan penemuannya.Minggat! Itulah keputusannya.

Akhirnya, setelah cukup satu tahun menjadi istri Depati Kecik, Majedah minggat, melarikan diri. Pelariannya itu sudah direncanakannya sejak tadi malam.

Ketika seisi rumah lelap dalam dekapan mimpi, Majedah mempersiapkan pelarian. Pakaian yang akan dibawa sudah dibungkusnya dalam kain. Tidak semua pakaian dibawanya. Dia hanya membawa pakaian seperlunya, karena dia tidak mau terlalu banyak beban.

Perjalanannya cukup jauh, menempuh jarak kurang lebih 30 km di jalan umum. Sedangkan jalan yang akan ditempuh dalam pelariannya adalah menerobos hutan dan menyeberang sungai. Pagi hari menjelang subuh, saat seluruh penghuni rumah belum terbangun dari tidur, Majedah sudah membungkus nasi dan lauk-pauk ke dalam daun pisang. Ini untuk bekalnya di perjalanan.

Setelah semuanya siap, perlahan-lahan dia 

meninggalkan rumah. Menelusuri pinggiran Sungai Lintang, kemudian di suatu tepi yang dangkal dan arusnya tidakterlalu deras dan tidak dalam, Majedah menyeberang.

Majedah dilahirkan dan dibesarkan di tepi Sungai Musi, yang dalam dan berarus lebih deras dibanding Sungai Lintang. Maka, menyeberangi Sungai Lintang baginya bukanlah hal yang menakutkan. Di kampungnya, Dusun Lampar, dia sudah biasa berenang di Sungai Musi.

Pagi hari itu Dusun Gunung Meraksa gempar. 

Hilangnya Majedah spontan menjadi berita yang menghebohkan. Berbagai dugaan tentang hilangnya istri muda Depati Kecik itu bermunculan di pikiran masyarakat. 

Ada yang mengatakan; mungkin lari, mungkin diterkam harimau, mungkin hanyut di sungai Lintang.

"Kalau minggat tentulah melalui jalan umum untuk pulang ke dusunnya Lampar, dan tak mungkin ada jalan lain," kata seorang warga berspekulasi.

Memang bisa saja dengan menyeberangi Sungai Lintang, menembus hutan-hutan lebat, melalui jurang-jurang yang dalam, bukit-bukit dan lereng-lereng gunung yang terjal, dusun Lampar dapat dicapai. Tapi apakah mungkin seorang wanita muda berani dan nekat menempuh jalan yang berat dan berbahaya tersebut.

Selain medan yang begitu berat, bahaya dari binatang buaspun ikut mengancam. Harimau, buaya, kerbau liar, ular-ular berbisa, termasuk lintah atau pacet, binatang melata pemakan / penghisap darah.

Para pencari menunggang kuda berpacu di jalan umum dan tak jemu- jemunya bertanya sepanjang jalan. 

Selain pencari berkuda, juga mereka yang berjalan kaki dikerahkan untuk mencari Majedah. Juga pencari yang menelusuri Sungai Lintang. Ke Dusun Lampar pun para pencari datang beberapa kali.

Setelah satu minggu, pencarian dihentikan. Majedah, istri muda Depati Kecik, raib tak tentu rimbanya. Setelah 40 hari hilangnya Majedah, Depati Kecik mengadakan tahlilan, karena diyakini istri mudanya itu telah meninggal dunia.

Lantas bagaimanakah perjalanan Majedah ketika meninggalkan rumah dan dusun suaminya?

Sungguh nekat! Majedah melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Lintang dan berusaha untuk kembali ke dusunnya dengan tidak melalui jalan umum.

Dalam perhitungannya dengan melarikan diri pagi-pagi hari sewaktu turun ke tepian mandi, menyeberangi ayeik (sungai) Lintang, dia pada sore harinya sudah dapat tiba di Dusun Lampar. Rupanya perkiraan itu meleset, perjalanan untuk sampai ke Dusun Lampar akhirnya ditempuh selama tiga hari dua malam.

Majedah mengetahui bahwa Ayek (sungai) Lintang itu bermuara ke Sungai Musi, dan Dusun Lampar terletak di hilir muara ayek Lintang dan berada di pinggir Sungai Musi. 

Dalam perhitungannya, dengan terus menghilir dari muara dia pasti akan sampai ke dusunnya. Perhitungan ini benar sekali, tapi soal lama-waktunya perjalanan betul-betul diluar perkiraan.

Setelah menyeberangi ayek Lintang, Majedah berjalan menyusuri tepi sungai ke hilir untuk sampai ke muara. 

Berjalan terpaksa sambil bersembunyi-sembunyi, takut bertemu orang. Sungai ini berbelok-belok sehingga jarak ke muara terasa sangat jauh.

Sudah tengah hari, muara belum juga dicapai dan perjalanan sungguh melelahkan. Majedah berhenti untuk makan dari bekal yang dia bawa. Dia membawa dua bungkus nasi dengan lauk ikan asin dan sengaja dimakan separuh dulu, karena takut kalau nanti kehabisan bekal di jalan sebelum sampai di dusunnya.

Hari sudah hampir gelap ketika Majedah sampai di muara sungai Musi. Dia khawatir sekali, hampir sepuluh jam berjalan dan baru mencapai muara.

Hari bertambah gelap, dan sementara penglihatan masih ada, Majedah mencari-cari pohon untuk tempat bermalam.

Ia bermalam di atas pohon guna menghindari 

binatang-binatang buas dan lain-lain. Didapat pohon yang tidak terlalu tinggi, bercabang banyak, dia segera memanjat. 

Kain panjang yang dibawa dijadikan pengikat badan ke batang pohon. Dia takut kalau tertidur akan jatuh.

Merasa aman dan karena keletihan, Majedah tertidur nyenyak. Hanya sekali dia terbangun, mendengar suara jeritan monyet-monyet di kejauhan.

Jeritan monyet ketakutan dimalam hari ataupun disiang hari, adalah petanda bahwa ada harimau yang melintas di bawah pohon-pohon tempat mereka berada.

Kadang-kadang bukan hanya melintas, tetapi harimau itu sengaja menunggu di bawah pohon. Menunggu sampai ada monyet atau beberapa monyet yang terjatuh karena rasa 

takut yang luar biasa terhadap raja hutan ini. Habislah riwayat yang terjatuh!

Setelah matahari terang, Majedah turun dan menuju ke tepi sungai. Dia membersihkan diri lalu makan dari sisa bekal kemarin, minum dari air sungai yang jernih, dan mulai berjalan menelusuri tepian Sungai Musi ke hilir.

Karena takut bertemu dengan orang yang kebetulan berada di sungai, Majedah senantiasa tidak berjalan di tepi sungai yang terbuka, tetapi memilih berjalan agak ke dalam dan menembus belukar dan hutan. Betapa beratnya perjalanan ini.

Ketika Majedah menengadahkan wajahnya, memandang langit yang biru bersih, dilihatnya burung-burung manyar beterbangan. Awan yang putih sehelai-sehelai hanyut dalam arus angin yang lembut. Majedah menarik nafas dalam-dalam.

Dilihatnya di sekitarnya, alam yang maha luas. 

Pepohonan, burung-burung di udara, air dan binatang-binatang di dalamnya, rumput dan perdu.

Terasalah betapa tangan yang Maha Agung telah memelihara semuanya itu.

Dan, karena itulah maka Majedah menjadi semakin berbesar hati. Ternyata di segala sudut bumi, di antara hutan-hutan belukar, di antara lembah dan ngarai, di segala tempat, bahkan di manapun yang diangan-angankannya, hadirlah Yang Maha Agung itu. Dan pada-Nya Majedah memperoleh ketenteraman.

Ketika disadarinya betapa perjalanannya belum menampakkan akhir, dia kembali tegang. Majedah kembali melanjutkan perjalanan menerobos hutan. Tak jarang belukar dan hutan tak dapat dilalui karena rapatnya tumbuhan rotan yang berduri tajam.

Untuk itu dia harus mengambil jalan berputar jauh ke dalam melalui medan yang berat, bahkan kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang terjal. Berjam-jam menempuh jalan seperti ini dan setelah itu kembali menuruni jalan-jalan yang licin ke arah sungai.

Dia harus kembali ke arah sungai karena takut tersesat, sebab sungai inilah sebagai pedoman arah jalan untuk sampai ke dusun Lampar.

Perjalanan ini dilakukan secara hati-hati dan selalu waspada, sebab kemungkinan akan bertemu orang selalu ada. Orang-orang yang ke hutan mencari kayu untuk rumah, pencari rotan, dan juga para pemburu.

Lewat tengah hari Majedah berhenti berjalan. Badan terasa letih sekali, kaki luka kena duri dan kainnya koyak karena tersangkut kayu. Pacat-pacat penghisap darah yang sudah gemuk-gemuk karena kekenyangan dilepaskan dari betis. Bahkan ada juga yang menempel sampai ke leher dan dada.

Bekal yang belum basi, dimakan hanya separuh, sebab dia takut kalau sore hari nanti masih belum juga sampai tujuan.

Perkiraannya pada sore itu dusun sudah dapat dicapai, tapi dia sendiri masih ragu. Setelah makan sedikit, sisa nasi dibungkus kembali dengan rapi, minum air di sungai dan 

perjalanan diteruskan lagi. Setelah berjalan sekitar satu jam, 

Majedah terkejut mendengar suara ramai anjing menyalak dikejauhan.

Didengarkannya baik-baik, dan menurut 

pendengarannya, bunyi salak-salak anjing tersebut walaupun masih jauh, mendekat ke arah dirinya berada. 

Bergegas dia memanjat pohon di dekatnya, yang rimbun dan tak akan terlihat dari bawah.

Suara salak anjing itu terdengar semakin mendekat dan suara orang-orang terdengar juga. Rupanya rombongan pemburu, dan anjing-anjing sambil menyalak-nyalak dengan riuhnya mengejar hewan buruan, diiringkan pemiliknya sambil berlari.

Entah kijang, entah kancil yang dikejar. Lalu terlihat seekor kancil berlari dengan cepatnya tepat di bawah pohon, ke arah sungai. Memang kancil, kijang ataupun rusa yang diburu selalu akan berlari ke arah sungai untuk melepaskan diri dari anjing-anjing yang mengejarnya.

Tak lama setelah kancil lewat, menyusul tiga ekor anjing sambil mencium- cium tanah dengan menyala-nyalak melesat pula di bawah pohon tempat Majedah bersembunyi, kemudian diikuti tiga orang lelaki yang berlari kencang agar tidak ketinggalan jauh dari anjing-anjingnya.

Beruntung sekali Majedah sudah di atas pohon, kalau masih di bawah tentu telah "tertangkap" oleh pemburu-pemburu ini. Salak-salak anjing kian terdengar jauh, dan setelah tidak terdengar lagi, Majedah segera turun dan cepat menjauh.

Hari bertambah sore dan Majedah sudah tahu bahwa sebelum matahari gelap dia belum akan sampai ke tujuannya. Masih harus bermalam lagi di hutan, dan karenanya sambil berjalan dia melihat-lihat mencari tempat berhenti. Lalu dia bertemu dengan lapangan terbuka dan ada pondok kecil di tengahnya.

Rupanya tempat itu bekas kebun, ladang yang ditinggalkan pemiliknya. Tapi Majedah tidak gegabah memasuki lapangan terbuka dan masih mengendap di bawah semak-semak untuk memperhatikan pondok kecil tersebut, sebab takut kalau ada orangnya.

Beberapa saat istri Depati Kecik itu diam tak bergerak memperhatikan pondok dan sekelilingnya. Setelah diyakini tidak ada orang, dia menuju pondok dan memeriksanya. 

Pondok kecil ini beratap alang-alang dengan tinggi kira-kira satu meter dan berlantai pelepah.

Setelah itu Ia ke sungai, makan sisa bekal terakhir dan minum, membersihkan diri dan kembali ke pondok. Di jalan dia mencabut sekepal daun alang-alang dan digunakannya sebagai sapu untuk membersihkan lantai pondok. Dia langsung merebahkan diri, dengan mempergunakan buntalan kain baju sebagai bantal.

Sebelum tertidur dia memikirkan perjalanannya yang telah ditempuhnya selama dua hari. Dia yakin bahwa jalan yang ditempuh adalah benar.

Menelusuri pinggir Sungai Musi dari muara Sungai Lintang, pasti akan sampai ke dusunnya, di Lampar.

Hanya saja, kalau pada perkiraan awal atau permulaan pelarian disangkanya dalam satu hari akan bisa tiba di dusunnya. Rupanya karena perjalanan yang berat, dan harus berhati-hati dan waspada, menghindari tempat terbuka di pinggir sungai, membuat perjalanannya lambat. Dia tertidur dengan nyenyak karena keletihan dan baru terbangun 

ketika hari sudah terang.

Pondok ditinggalkannya dan bersembunyi di pinggir hutan. Bekal sudah habis dan Majedah memperhatikan bekas kebun ini, melihat-lihat kalau ada yang bisa dimakan. 

Dengan senang sekali dilihatnya ada beberapa rumpun tebu dan ada juga sebatang pohon papaya yang tinggi dan berbuah.

Dia segera mematahkan beberapa batang tebu, dan memanjat pohon papaya serta memetik dua buahnya yang kebetulan sudah masak. Memang kecil-kecil tapi akan cukup menghilangkan lapar.

Setelah itu, Majedah tergesa-gesa kembali 

bersembunyi di pinggir hutan. Tebu dikupas dengan gigi, lalu dikunyah untuk minum airnya. Habis tebu, papaya dimakan dan setelah itu Dia kembali mulai meneruskan perjalanannya.

Sambil berjalan, Majedah teringat bahwa di sebelah hulu dusunnya ada sebuah bukit yang menjorok ke sungai. 

Bukit itu cukup tinggi dan jauhnya dari dusun adalah kira-kira tiga jam perjalanan.

Majedah sudah beberapa kali bersama teman-temannya mencari kayu bakar di bukit itu. Karena itulah dia tahu, kalau nanti dia bertemu dengan bukit ini berarti dusun Lampar sudah dekat.

Dia akan mendakinya sampai ke puncak dan memandang ke arah hilir sungai dan dari kejauhan akan dapat terlihat pohon-pohon kelapa yang tinggi-tinggi. Itulah dusun kelahirannya, Dusun Lampar.

Dengan kenangan ini Majedah tambah bersemangat dan berjalan dengan cepat. 

Letih badan tidak dirasakannya, juga perasaan lapar dan haus.

Lewat tengah hari, dengan menempuh perjalanan yang sama beratnya seperti dua hari kemarin, akhirnya bukit yang dikenalnya sebagai petunjuk bahwa dusun sudah dekat, dicapainya juga. Girang sekali hatinya dan tanpa memperdulikan badan yang letih, Majedah mendaki untuk sampai ke puncak bukit, dengan beberapa kali berhenti.

Dari puncak bukit terlihat di kejauhan pohon-pohon kelapa, dan itulah dusun Lampar. Majedah tak kuasa menahan tangis karena luapan kegembiraan. Telah dibayangkannya bagaimana akan terkejut dan senang orang tua dan adik-adiknya nanti ketika melihat dia masih hidup dan dalam keadaan tiada kekurangan apa-apa.

Di atas bukit, Majedah beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan. Perasaan sangat lapar dialaminya, dan menyesal mengapa tidak membawa tebu sebagai bekal, 

dari yang tadi pagi dia ambil di kebun yang ditinggalkan pemiliknya. Setidak-tidaknya sekarang dia dapat memakannya sekadar untuk mengurangi rasa lapar.

Dengan berjalan selama kira-kira tiga jam lagi dia akan sampai di rumah. Rasa lapar tadi tidak diperdulikannya. Perjalanan akan lebih mudah sebab akan banyak menurun, tapi masih akan tetap waspada dan hati-hati karena tidak mau bertemu orang, biarpun orang dusunnya.

Dia takut pelariannya diketahui orang dusunnya. 

Majedah sembunyi-sembunyi mencapai rumahnya, dan akan tetap berusaha agar tidak ada yang mengetahui bahwa dia sudah kembali. Ibu-bapak dan adik-adiknya pasti akan merahasiakannya dan melindunginya.

Setelah beristirahat, Dia berjalan menuruni bukit. Dia berjalan pelan saja, dan tepat ketika terdengar bedug.

Maghrib, Dia sudah sampai di pinggir dusun, menyelinap ke rumahnya dan bersembunyi (besimbun) di bawah rumah. 

Rumah mereka bertiang tinggi seperti rumah-rumah lain pada masa itu.

Dari bawah rumah, Majedah mendengar ibu dan adik-adiknya membicarakan dirinya yang tak tentu kabarnya, yang membuat mereka bersedih. Ayah Majedah rupanya masih sembahyang maghrib di masjid dan belum pulang.

Majedah naik ke rumah, membuka pintu yang memang tidak dikunci. Dalam rumah cukup terang karena beberapa lampu minyak tanah. Ibunya sejenak tak mengenali siapa yang masuk, tapi adiknya langsung mengenalinya. Dia terpekik dan langsung melompat memeluk Majedah, juga yang lain-lain berhamburan memeluknya, juga ibunya.

Majedah menangis dan seisi rumah itu semuanya menangis haru. Adik lelakinya disuruhnya menjemput ayahnya di Masjid, dan setelah datang, ikut pula menangis kesenangan. Mereka semua sependapat agar kembalinya Majedah dirahasiakan, jangan ada yang tahu.

Majedah seolah-olah dipenjarakan dalam rumah. Segala kegiatan dan keperluannya dilakukan di rumah. 

Kalau dulu mandi dan lain-lain dia bisa ke Tepian bersama-sama gadis-gadis lain, tapi sekarang mandipun di rumah.

Keadaan seperti itu terpaksa dilakukan, takut kalau ada yang tahu. Berita ini dapat saja sampai ke suaminya,

Depati Kecik Gunung Meraksa, yang tentu akan menjemputnya kembali. Bisa saja dengan jalan paksa kalau perlu, sebab Majedah adalah istrinya, dan suaminya adalah orang yang berkuasa.

Rahasia Tersingkap

Setelah empat puluh hari berada kembali di dusun, rahasia dirinya terbuka juga, melalui kejadian (peristiwa) yang tak terduga. Hari itu ialah hari Jum'at tengah hari, dan hampir semua lelaki berada di masjid untuk melaksanakan sembahyang Jum'at.

Tepat pada saat selesai dan jemaah berangsur-angsur keluar masjid, terjadilah peristiwa yang menggemparkan warga. Bumi terasa bergoyang, dan malahan ada beberapa 

orang tua yang terjatuh. Lalu pecahlah pekikan orang-orang yang meneriakkan lindu, lindu, gempa bumi.

Orang-orang panik, berlarian menuju rumah masing-masing dan meneriaki mereka yang ada dalam rumah agar turun dan pergi berkumpul ke lapangan dekat masjid. 

Diantara orang-orang yang berlarian ke masjid, ada Majedah.

Semua penduduk dusun berhamburan keluar rumah. Mereka takut rumahnya roboh digoyang gempa, bahkan ada yang terjatuh saat menuruni tangga.

Gempa cukup kuat dan berlangsung beberapa saat lalu berhenti. Kepala dusun menghitung semua warga yang telah berkumpul di lapangan, dan ternyata tidak ada satupun rumah yang roboh dan tidak seorangpun menjadi korban.

Namun, akibat peristiwa yang mengejutkan itu, terbongkarlah rahasia bahwa Majedah sudah kembali ke rumah orang tuanya. Diketahuilah bahwa Majedah sudah lama kembali ke dusun. Kalau tidak ada peristiwa ini, keberadaan Majedah belum akan terungkap. Ayah Majedah memerlukan bertemu dengan Kepala Dusun guna menjelaskan persoalan.

Satu minggu setelah gempa bumi, datanglah utusan Depati Kecik. Rupanya kabar telah kembalinya Majedah ini sudah sampai ke Gunung Meraksa. Tapi Majedah sudah bertekat tidak akan kembali kepada suaminya meskipun dibujuk-bujuk dan juga dengan ancaman-ancaman halus, berkeras tak ingin kembali.

Setelah utusan pertama, menyusul pula selang beberapa hari utusan kedua dan ketiga. Majedah tetap pada pendiriannya.

Lalu datanglah sendiri Depati Kecik dan pengiring-pengiringnya ke Dusun Lampar. Kepala Dusun ikut hadir ketika rombongan diterima di rumah orang tua Majedah. 

Rombongan dengan penuh hormat diterima oleh keluarga itu beserta para famili dekat. Majedah dihadirkan dalam pertemuan tersebut.

Menjawab permintaan Depati Kecik agar Majedah ikut dia pulang, Ayah Majedah menjawab dengan sopan bahwa dia sendiri dan istrinya telah semenjak dia datang membujuk anaknya agar bersedia diantar kembali ke Gunung Meraksa Lama. Tetapi anaknya berkeras tak mau dan malahan mengancam untuk nekat bunuh diri kalau dipaksa. Sebab itu sambungnya, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

"Silahkan Depati Kecik tanyakan sendiri", lanjut ayah Majedah.

Depati Kecik senang dapat kesempatan menanyai istrinya. Dia berpikir bahwa tentu Majedah tidak akan menolak. Sebab selama hampir setahun bersamanya di Gunung Meraksa Lama, Majedah selalu menunjukkan 

kepatuhan, melakukan semua yang disuruh.

Tapi jawaban Majedah sungguh sangat mengejutkan hatinya. Atas pertanyaan dan permintaannya, Majedah dengan tegas mengatakan tidak mau kembali. 

Ditambahkannya bahwa dia telah "menepuk tanah" dengan tekad tidak bersedia kembali.

sIstilah menepuk tanah, menepuk bumi adalah pernyataan sesuatu sikap yang biar bagaimanapun dan ,apapun akibatnya, tetap tidak akan berubah. Hanya mati yang dapat mengubahnya. Dilanjutkan oleh Majedah bahwa dia minta cerai. Semua yang hadir tercengang atas ucapannya itu, Lebih-lebih lagi Depati Kecik sendiri.

Depati Kecik tidak habis pikir atas perubahan dari Majedah. Dulu sebagai istri yang patuh, lemah lembut, sekarang menampakkan keadaan dirinya yang lain. Atas permintaan cerai, dijawab Depati Kecik dia akan memikirkannya dulu. Setelah basa-basi pamitan, mereka pulang.

Seminggu setelah itu datang utusan Depati Kecik menyampaikan surat talak. Bebaslah Majedah yang membuat hatinya senang. Rupanya Depati Kecik mempunyai rasa perikemanusiaan yang cukup tinggi.

Seandainya Depati Kecik tidak memiliki kebesaran jiwa, tentu dia sakit hati. Dia bisa saja menggantung status si perempuan dengan tidak memberikan cerai. Akibatnya si 

perempuan terkatung-katung tak berketentuan.

Dikatakan janda, masih ada suami, dikatakan ada suami nyatanya tidak. Kalau keadaan ini berlangsung lama, tentu akan menyakitkan, memalukan dan menyusahkan.

Oleh sebab itu Majedah merasa senang dalam waktu yang singkat dia sudah dicerai dari Depati Kecik. Dalam hatinya dia berterima kasih kepada Depati Kecik dan menghapuskan segala rasa tidak senang yang dipendamnya selama ini.