Guru bela diri pertama yang mereka kunjungi berkata: "Bukannya kami tidak senang mengajar anakmu. Tetapi perguruan kami sudah penuh. Anakmu mungkin tidak akan mendapatkan banyak pelajaran sesuai yang ia perlukan dari kami," Ia mengatakan ini sambil berusaha menghindari menatap mata Wander lebih dari dua detik.
Guru kedua lebih sopan lagi, meskipun tampaknya menggelikan. Ia melihat Wander dengan rasa muak yang ditutupi halus-halus, "Aku sungguh tidak pantas mengajari anakmu, Tuan Likuun. Tentunya anda mengetahui orang yang lebih mampu? Aku bisa mengenalkan ke beberapa…"
Mereka tidak pernah pergi ke nama-nama yang direkomendasikan tadi, melainkan langsung ke nama ketiga di daftar kecil mereka. "Guru sedang keluar," kata pelayan perguruan yang mereka datangi, tapi bola mata centeng itu berpindah dari kiri ke kanan dengan kegelisahan yang selalu dialami seorang yang pendusta ulung.
"Maaf sudah mengganggu guru Anda," Likuun membungkuk dengan sopan, lalu pergi.
"Aku tidak menerima murid!" Guru keempat mengatakan dengan kasar sambil membanting pintu tepat di depan hidung mereka.
"Aku seperti bisa mendengarnya tadi bilang: 'Aku tidak menerima maling,'" Wander mengeluh.
Ayahnya berusaha menghiburnya, "Jangan diambil hati, Nak. Masih banyak nama di daftar kita."
Dan ayahnya memang benar. Sejak tiga atau empat tahun yang lalu, jumlah ahli Rijeen atau Pengejar Mimpi yang tinggal di Fru Gar telah meningkat dengan dramatis. Sebagian besar dari mereka adalah ahli bela diri yang meninggalkan wilayah Jian Xi. Lelah dengan hidup penuh dengan petualangan, hidup perjalanan, penuh dengan kekerasan dan tantangan, mereka akhirnya mencari tempat yang aman dan damai di mana mereka bisa menghabiskan sisa hidup mereka. Karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan, mereka mulai membuka perguruan-perguruan bela diri. Jumlah mereka begitu banyak sampai-sampai ada ujar-ujar yang mengatakan bahwa Rijeen sekarang bagaikan kacang goreng, bisa ditemukan di tiap sudut jalan.
Guru-guru ini saling bersaing mendapatkan perlindungan dan sponsor dari para pedagang atau orang tua yang berkuasa, demi meningkatkan reputasi dan kekayaan mereka. Segera demam ilmu bela diri menyapu seluruh kota, terutama di kalangan pemuda dan anak-anak. Trend baru ini menambah nuansa budaya bagi kota dagang itu. Prajurit-prajurit setempat mulai diajari bela diri oleh guru ahli yang ditunjuk panglima pengawal kota atau angkatan perang. Para kafilah mulai menyewa ahli bela diri untuk menjaga rombongan dagang dan barang-barang mereka dari ancaman bandit. Tapi tren yang paling terkenal adalah tradisi baru mendaftarkan anak-anak untuk diajari guru bela diri yang terkenal. Begitu populernya hingga sebuah ungkapan baru untuk menilai kekayaan atau status seseorang juga dinilai dengan pertanyaan: "Siapa guru anakmu? Anakku belajar Rijeen dari si anu, perguruan si itu dan ini."
Jumlah insiden perkelahian, duel, dan kejahatan meningkat, termasuk antar pamong dan prajurit yang terhanyut dalam demam belajar Rijeen. Semangat kebebasan dan kepahlawanan Jian Xi mulai menyebar di kota, termasuk cerita-cerita legenda para ahli bela diri, para pendekar dan petualang ini, atau panggilan terkenal mereka: Shuubim Riijena—Pengejar Mimpi.
Di tempat yang makmur, dikelilingi kemewahan dan kekuasaan, kelimpahan dan kemudahan, para mantan Pengejar Mimpi ini terus digoda oleh berbagai kesenangan dan kepemilikan. Hilang sudah sebagian keanehan, sikap radikal, bebas, dan tidak terikat mereka yang tidak peduli hukum atau aturan, digantikan dengan kesopanan, kerendahan hati yang menyelubungi persaingan sengit memperebutkan dukungan dan kekuatan di kota itu. Merupakan cerita umum bahwa anak dari pedagang kaya selalu menjadi anak emas di perguruan. Anak-anak itu, seperti orang tua mereka yang berkuasa, juga sudah seperti bangsawan kecil yang bertingkah seenak perutnya.
Tidak terkecuali, kali ini pun, anak-anak Guya ini telah memastikan cerita soal Wander sampai ke telinga semua guru Riijen.
"Bukannya aku tidak mau membantumu… Kita adalah sahabat, Likuun, tapi kau mengerti kan… aku…"
"Maaf sudah menghabiskan waktumu yang berharga," Likuun bangkit dan membungkuk dengan getir pada guru kelima yang mereka kunjungi.
Guru yang keenam mengelap wajahnya yang terus berkeringat, "Kamu sudah mempertimbangkan sekolah lanjutan? Bukankah pena lebih perkasa dibanding selaksa pedang. Anak yang lembut seperti ini lebih cocok menjadi pelajar ketimbang orang kasar seperti kami. Gahahaha! Kamu mau arak lagi?" Ia kembali mengusap dahinya dengan sapu tangan berulang kali.
"Beraninya kamu menyuruhku mengajari anak ini! Rawat ia baik-baik dahulu! Lihat saja! Bagaimana mungkin tubuh kerempeng dan kecil ini bisa menahan latihan beratku?! Apa kamu mau menanggung resikonya? Hm? Kamu bisa bayar? Che! Semua orang tentu bisa bayar! Tapi mereka tidak bisa membeli kehormatan seorang Pengejar Mimpi!"
"Maafkan aku, Tuan. Kami tidak bisa mengajarnya, karena kami ragu ia bisa bertahan lama di sini. Lebih baik mencari guru yang lain."
Ketika mereka telah menyelesaikan daftar terakhir mereka, ayah dan anak yang sudah kelelahan dan seharian diterpa debu jalan dan terik surya itu akhirnya pulang dengan kereta kuda pinjaman mereka. Hari sudah sore, beberapa jam lagi matahari akan terbenam. Cahaya mentari keemasan mulai menyinari bangunan, membentuk bayangan panjang di tanah. Pemandangan warna emas, merah, dan hitam itu begitu menakjubkan jika saja tidak diwarnai kekecewaan akan penolakan.
"Mendadak aku berpikir bela diri tidak begitu bagus," Likuun mencoba bercanda. Ia sendiri tahu bahwa leluconnya pahit dan getir.
"Orangnya, Yah. Sayang ilmunya di orang seperti itu!" Wander tersenyum untuk membesarkan hati ayahnya.
"Tentu saja, Nak. Tapi orang-orang itulah yang kita punya untuk mengajari ilmu itu…."
Wander terdiam. Nama-nama yang masih mungkin ternyata sudah menolaknya semua. Ia ingin menangis, akan tetapi air matanya seperti sudah lama mengering. Ia hanya bisa menggigit bibirnya dan menahan kekecewaan yang begitu menyesakkan dadanya.
Ayahnya mencoba menghiburnya, tapi hanya menerima reaksi bisu dari Wander. Akhirnya, Likuun juga terdiam, merenungkan betapa canggungnya ia sebagai ayah, dan kesalahannya kenapa ia tidak mempercayai anaknya sendiri.
Ketika kereta mereka mulai mendekati rumah, mereka melihat Chiru'un sedang menyapu pekarangan di depan rumah.
"Berhasil?" Beliau tersenyum cerah.
Wajah kuyu keduanya membuatnya langsung paham.
"Ah begitu… Jadi kalian sudah selesai hari ini?"
Likuun turun dari kereta, "Aku tak punya lagi orang yang bisa kumintai bantuan." Ia memberikan daftar itu ke istrinya.
"Tapi kulihat Wuan masih belum menyerah," Chiru'un melihat anaknya.
Likuun berbalik dan melihat Wander masih duduk di atas kereta, menolak untuk turun.
Likuun setengah kesal setengah kasihan melihatnya, "Maaf, Nak… Tapi…"
"Hei! Ini ada satu lagi yang belum kalian kunjungi!" Chiru'un mendadak berseru.
"Tidak mungkin!" Likuun mengambil kertas itu, "Hei! Chiren, kau baru saja menulis ini… tidak mungkin! Lupakan saja!"
Wander untuk pertama kalinya mengangkat kepalanya dan bertanya, "Siapa itu, Yah?"
Likuun masih memprotes, "Ia tidak menerima murid! Ia hanya seorang penyendiri, Sayang."
"Dari mana kamu tahu kalau kau tidak mencobanya?" sergah istrinya.
Mereka beradu pendapat. Yang satu berpikir ini hanya buang-buang waktu, sementara yang lainnya berpikir patut dicoba. Setelah berhasil melihat celah dalam pertengkaran itu, Wander akhirnya bisa masuk dalam percakapan, "Siapakah ia, Ayah?"
"Namanya Kurt Bodan Manjare, Nak. Tapi lupakan saja. Terlalu muluk… Tidak mungkin."
Tapi tatapan penuh semangat Wander seakan mengebor Likuun.
"Aku lihat ia masih ingin mencoba," Chiru'un memancing lagi.
Likuun tampak terbelah antara kemarahan dan kejengkelan yang seakan bisa merobek kulit dadanya. Ia berusaha beralasan, tapi baik Chiru'un maupun Wander tetap membaja. Akhirnya, merasa bersalah pada keduanya, ia menyerah juga setelah Wander menyatakan bahwa ia baru akan menyerah setelah mengunjungi yang satu ini.
"Baiklah Baiklah! Tapi kuperingatkan kalian! Ini hanya buang-buang waktu!" Kata Likuun.
Tapi baik Wander dan Chiru'un tersenyum secerah matahari.