Taman Jill Mirrad
Setelah Udina pergi, ia hanya bisa terbaring telentang di tanah. Begitu lelah. Ia segera teringat akan obat yang diberikan oleh Udina. Sebuah pil berwarna biru tua yang ia telan setelah menetak lilin pembungkusnya. Pil itu secara mengejutkan begitu wangi dan meleleh di lidahnya, menyebarkan hawa dingin dan sejuk sampai ke tenggorokan, dada, perut, bahkan sampai ke ujung-ujung jemarinya.
Ia begitu lelah… Tapi pikirannya tidak bisa beristirahat!
Pikirannya terus meledak dengan gambaran, memori, pikiran, dan perasaan-perasaan saat badannya terasa bagaikan seonggok batang kayu… Batang kayu mati…
[Aku seharusnya tidak menggunakan Pukulan Ledakan Sukma sebanyak itu…]
Wander berpikir dengan kesal, dan segera pikirannya mulai bercabang dan terbuai dalam banyak 'jika' dan 'seharusnya', semuanya berakhir dengan ia membiarkan Udina mati di sana. Sesuatu yang tidak bisa ia lakukan. Lagipula jika ada yang harus disalahkan, itu karena kecerobohannya.
Ia lengah… Ia seharusnya menyadari bahwa para Pengejar Mimpi tersebut juga menyembunyikan kekuatan mereka… seperti ia. Tapi mereka lebih cerdik darinya. Mereka menunggu datangnya serangan udara itu, untuk menyingkirkan sekalian Udina dari awal.
[Aku masih begitu naif…]
Ia teringat akan senyum lebar dan tulus Udina ketika ia akhirnya menerima pemberian bulu dan obat yang berharga itu.
"Jadi kota ini akan dikepung?"
"Betul. Mungkin saja sekarang sudah. Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan terus melawan mereka selama mungkin, lalu aku akan kabur."
"Tapi kamu terluka, dan kamu tidak punya perbekalan!"
"Aku akan terus bertarung meskipun aku tidak punya apa pun yang tersisa."
"Wander… Kenapa kau bertarung begitu keras?"
"Ini adalah kotaku. Rumahku. Aku harus melindunginya, juga orang-orang yang kucintai," serunya. Namun sesaat kemudian, Wander menggelengkan kepalanya, menyangkal jawabannya sendiri, "Bukan… Bukan karena itu… Aku bertarung untuk Kakak… Aku ingin membalas dendam…"
Ia menatap langit biru nan luas itu dengan mata yang sedih dan lelah…
Udina mengangguk, berduka, "Alasanmu sama dengan kami, kaum penghuni hutan. Sama dengan prajurit dari kedua belah pihak, lengkap dengan keluarga yang harus mereka beri makan dan jaga di rumah mereka masing-masing. Kita hanya mencoba melindungi hal yang paling kita sayangi, tapi mengapa kita berakhir dalam kekacauan dan kesintingan ini? Apakah kita semua sudah gila?"
"Kamu benar, Udina. Kamu sungguh benar… Kita semua gila…" Wander tidak bisa mengelak lagi dari kebenaran di balik kata-kata itu.
Perang merupakan pusaran besar kegilaan. Orang-orang, dari segala jalan hidup dan pekerjaan, dengan cita-cita dan orang-orang yang mereka cintai, semua terhanyut, tersapu tanpa ampun dalam arus maha kuat dari kegelapan, kebencian, kekerasan, kekejaman, dan kehancuran. Termasuk dirinya.
Sadar dan pahamilah Kegilaan dalam dirimu dan kamu akan bisa menaklukkannya.
[Ketika kamu melihat Kegilaan itu hanya sebagai kegilaan dan kamu melihat pemikiran orang-orang sebagai pemikiran, kau akan bisa meninggalkan keduniawian dan datang menyambut kedamaian hati.]
"Aku tahu shishou… Tapi… Aku tidak bisa melakukannya sekarang! Aku ingin bertarung!" Wander dengan pahit menimpali dirinya sendiri, "Aku tahu aku masih begitu naif… Tapi aku telah bersumpah untuk berjuang! Bagaimana lagi caranya supaya aku bisa melindungi semuanya?"
Tidak ada jawaban yang datang kecuali desir angin lembut yang membawa debu dan abu…
"Aku kalah…" Wander melihat ke api dan asap yang meluas di horison, "Gerbang telah jatuh…"
Gambaran figur Udina mendadak muncul dalam benaknya. Pemburu itu tertawa legowo, "Setidaknya, aku masih begitu beruntung masih bisa bernapas. Aku akan kembali ke markas sekarang."
"Tapi… Jika kau kembali…"
"Jangan khawatir, sahabat baik. Aku berteman karib dengan Damar, dan ia tidak akan menyakiti bawahanku. Mengenai Arnoss dan lainnya… Terkutuklah hati dan jiwa mereka! Tidak akan pernah lagi aku akan mempercayai mereka!"
"Tapi bagaimana jika mereka memfitnahmu dengan laporan palsu?"
Udina tersenyum sinis, "Tentu mereka akan melakukannya. Tapi jika aku mendadak muncul di markas, tentu setengah dari kebohongan mereka akan terungkap. Sisanya akan menyusul. Jendral Sulran segan pada klan kami, dan ia menghormati kejujuran dan sikap kami yang tidak basa basi. Jangan kuatir."
Sang Pemburu melangkah pergi, tapi ia berbalik di langkah keenam, "Kamu orang yang begitu menakjubkan. Kuat dan mulia. Jangan mati… Wander anak Oward."
Wander menghela napas berat. Kenapa semua orang memintanya tidak mati?
[Kuat? Mulia?]
Wander bisa mendengar suara tertawa dari dalam pikirannya sendiri. Tanpa sadar, ia juga mengekeh tanpa suara.
Sebelas tahun yang lalu, ia masih terpenjara di atas tempat tidur, dipanggang oleh penyakit dan demam…
Sembilan tahun lalu, ia bagaikan sansak hidup, hanya bisa dipermainkan anak-anak yang lebih kuat dari dirinya…
Enam tahun yang lalu, ia bertemu dengan Shishou untuk pertama kalinya. Ia menyadari saat itu betapa lemah dirinya…
Sampai tiga hari yang lalu, ia tidak pernah bermimpi akan menggunakan kekuatannya untuk bertarung… Bahkan memukul orang, melukai mereka… Tidak pernah! Bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun!
Kenangan akan malam itu, api, para perusuh, dan kejadiannya dengan Kucing Tua berlalu bagaikan rentetan kilat di benaknya…
[Penjara… Ia hampir membunuh pencuri itu…]
[Mulia?] Pikirannya menjerit keras…
[Kamu salah! Salah besar!]
Pikirannya yang kejam terus mencecarnya dengan mengulang pertempuran Gerbang Barat sampai ke detil terkecil… Di kepalanya, pikirannya itu mengingatkannya bagaimana ia membantai semua prajurit yang menyerbunya di benaknya terlebih dahulu sebelum ia menghajar mereka…
Ya. Itulah caranya ia menahan dirinya. Dengan membayangkan ia membunuh setiap lawannya, sehingga tenaganya bisa ia kendalikan dengan rasa takut… Sehingga ia tidak akan menggunakan terlalu banyak tenaga… Supaya ia tidak membunuh siapapun…
[Kenapa kau bertarung begitu keras? Kenapa tidak bunuh mereka semua! Mereka membunuh Kakakmu! Mereka akan membunuh seluruh keluargamu!
Wajah Gluka mendadak muncul dan Wander gemetar. Ia hampir saja kehilangan dirinya pada Kekuatan saat itu…
Ia ingat betapa leganya saat itu, tapi betapa dirinya merasa bagaikan pecah dan hancur ketika ia menyadari bahwa ia hampir membunuh Jendral itu…
Kamu menyesalinya sekarang bukan? Kau biarkan ia bebas… Seharusnya kau membunuhnya… atau menahannya sebagai sanderamu…]
Wander menutup matanya, berusaha mengacuhkan bisikan-bisikan gelap yang terus menerus berusaha menenggelamkan jiwanya.
Ia berbaring di sana… Seluruh sel tubuhnya menjerit-jerit minta istirahat… Tapi pikirannya begitu liar dan ganas, berusaha menggigitnya di setiap kesempatan, berusaha menariknya ke sebuah lubang kegelapan tanpa dasar…
Waktu sedang berpacu melawannya. Setiap detik untuk beristirahat dan memulihkan diri lebih mahal dari berlian saat ini, tapi ironisnya, ia tidak bisa beristirahat meskipun ia sangat menginginkannya!
Sisa-sisa pertempuran itu, bunyi teriakan-teriakan, bau darah dan besi, panasnya api neraka, dan berbagai bayangan lainnya terus menghantuinya, menghancurkan badannya yang telah ia paksakan semakin parah!
[Kau telah menggunakan lima dari sepuluh bagian tenagamu… dan sekarang lihatlah! Kau bahkan hampir tak bisa bergerak! Untuk apa? Tidak ada! Sia-sia! Kamu pikir kamu bisa meloloskan diri? Musuhmu sedang menuju kemari!]
Pikirannya terus menjerit dan berteriak padanya, melayangkan tantangan, cercaan, kritikan, hinaan, dan amarah.
Wander menahan bilah-bilah pisau pikirannya dengan sabar, sampai ia akhirnya berhasil menangkap sebuah momen lengah dari pikirannya yang akhirnya mulai capek juga menyemprotkan api dan racun!
Ia berhasil memisahkan dan menyadari sebuah bagian yang lembut, berdenyut halus, di antara gambaran-gambaran yang membara dan penuh kegelapan. Ia terus memusatkan pada titik tadi, dan ia melihat sebuah bukaan yang menuju ke sebuah rongga, di mana di dalamnya ia terbebas dari pikirannya sendiri yang mengamuk bagaikan badai dan api…
Ia berlindung di dalam celah itu, dan di dalamnya ia akhirnya diizinkan masuk ke dalam sebuah tempat perlindungan dalam pikirannya.
Ia melihat kerlipan gambaran demi gambaran: ibunya, ayahnya, kakak-kakaknya, si kembar kecil, Nalia, Kucing Tua, Gluka, Durk, dan para prajurit Fru Gar, Udina, Kurt, lalu shishounya, dan akhirnya wajah Kokru yang tersenyum padanya, terus menyemangatinya…
Wander akhirnya merasa pikirannya yang seperti anjing gila perlahan mulai rileks dan akhirnya terurai dalam arus ketenangan. Ia merasakan kehangatan dan kedamaian luar biasa. Kepalanya terasa lebih ringan dari bulu dan ia terbebas dari segala noda, dari peperangan, kegelapan, dan dari dirinya sendiri.
[Terima kasih… Terima kasih…]
Wander perlahan-lahan masuk ke dalam keadaan yang telah ia begitu kenali. Dunia Denyut, tempat Sahabat Terdekatnya tinggal dan menyambutnya dengan kehangatan.
Ia merasa ia bagaikan tenggelam ke dasar Bumi seperti biji yang terkubur. Ia tidak tahu bahwa ketika ia tertidur, sebuah awan berwarna pelangi menyemburat dari tubuhnya, menyelubunginya seperti kepompong. Tapi dari luar tidak ada yang terlihat.
Wander tertidur selama satu jam. Satu jam istirahat yang paling penting baginya…
*
Tidak sulit hidup ini
Tidak sulit jalan ini
Kala makan, makanlah
Kala bekerja, bekerjalah
Kala tidur, tidurlah
Yang sengsara adalah:
Kala makan, engkau terbayang bekerja
Kala bekerja, engkau terbayang beristirahat
Kala berbaring, engkau terbayang yang lalu dan yang depan