Udina masih tersengal-sengal kaget …
Ia mengira ia sudah mati, sampai ke hadapan Dewa Bermata Tiga, kembali ke sarang para Baljalak, Dewa dan Unggas Petir.
Ia melihat lubang besar tempat mereka masuk! Siapa yang menyangka seseorang bisa melenting begitu jauh, cepat, dan kuat, dengan membawa beban dua orang sampai menembus dinding sebuah rumah hanya dengan efek lontar sebuah tinju?
Tetapi lihatlah si pembuat keajaiban sekarang. Wajahnya menghitam dan biru penuh kesakitan… Ia kehabisan udara… jantungnya masih berdenyut kencang, ajaib, seakan menolak berhenti. Mereka baru saja bertahan hidup.
Ia menyelamatkan nyawaku… Dua kali…
Udina spontan mengeluarkan sebuah botol berwarna gelap dari sakunya mati-matian. Pertama ia minum duluan, sebelum menuangkan setengahnya ke dalam mulut Wander yang menganga. Kurang dari semenit, Udina sudah mendapatkan kembali fungsi kakinya, tapi ia waswas sekali melihat Wander masih tercekik, sebelum mendadak bocah itu bisa mengisap udara keras-keras. Wander menghela napas dengan rakus, tubuhnya berguncang-guncang, bagaikan ia belum pernah bernapas sebelumnya.
Sementara, suara dentuman keras dan ledakan api masih terdengar di sana sini. Mereka duduk di dalam sebuah periuk neraka. Api bergelora di mana-mana, dan mulai memasuki rumah. Asap mulai menyebar bagaikan awan gelap, udara mulai menipis. Keringat mereka bercampur dengan kelicinan minyak yang membasahi tubuh dan rambut mereka.
Wander mendadak bangkit. Darah mengucur dari lutut dan dadanya. Darah berwarna hitam kental. Ia masih tersengal-sengal dan terbatuk-batuk berusaha menghisap udara sebanyak-banyaknya.
"Ma-makasih…" Wander berujar dengan berurai air mata.
"Kau sudah pulih. Tapi nampaknya kita bakal mati di sini…"
Pemuda luar biasa itu melihatnya dengan kening berkerut, "Kenapa?"
Mungkin karena suhunya mulai luar biasa panas, atau pemuda ini sudah gila, atau saraf otak Udina sudah putus karena tekanan situasi, sampai Udina menjerit, "Kenapa kau bilang? LIHAT SITUASI KITA! BASAH DENGAN MINYAK DAN DIKELILINGI API! BAGAIMANA BISA LOLOS?!"
Wander berbicara dengan misterius, "Kamu tidak mau meloloskan diri?"
"AKU HANYA BILANG ITU MUSTAHIL!"
"Tidak mustahil. Aku tahu apinya paling tipis ke sebelah sana," Wander menunjuk ke sebuah sisi tembok. Udina tidak pernah tahu bagaimana mungkin pemuda itu bisa tahu di mana dinding api di sekeliling mereka paling tipis! Demi Divara, seberapa sinting pemuda ini sebenarnya?!
"Jadi kenapa emangnya kalau paling tipis? Sekali api melalap, kita pasti mati!"
Wander tidak menjawab. Ia hanya membungkuk dan meregangkan kakinya, memeriksa tubuhnya. Udina melihat wajah lega pemuda itu, tapi ia sekali lagi bengong mendengar kata-katanya, "Kamu benar. Tapi hanya kalau kita terlalap... atau diam saja menunggu ajal di sini."
Ia tanpa banyak bicara kemudian melangkah ke arah sisi dinding tadi, mengacuhkan tatapan bengong Udina. Mendadak tinju Wander diliputi cahaya biru nan menakjubkan lagi!
Wander menghantam hancur tembok itu dengan kecepatan kilat! Dinding itu meledak ke luar, hancur tersapu tenaga luar biasa sampai tertinggal hanya lubang besar!
Dinding api terlihat menghalangi jalan mereka dari balik lubang itu. Wander mengulurkan tangannya ke arah Udina.
Ia terbatuk-batuk, "Tidak ada waktu lagi. Mau ikut?"
Rumah itu bergetar dan mulai bergemuruh dilanda hujan peluru dan api. Cepat atau lambat Udina tahu mereka akan mati juga. Jadi ajakan gila Wander untuk mengarungi lautan api dan hujan bom tampaknya begitu menarik saat itu.
"… Mampus kita," keluhnya.
Wander terlihat begitu menyeramkan sesaat. Udina mengambil keputusan untuk menjalani kematian dengan berani. Setidaknya ia berusaha ketimbang duduk pasrah jadi bebek panggang.
Ia mendekati Wander dan menjabat tangannya.
"Kamu punya ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Kamu yang akan jadi kakinya, sementara aku halau apinya, kau cukup lari sekencangnya," Wander menarik Udina mendekat dan membuat pemburu itu memanggulnya dari belakang bagaikan main kuda-kudaan. Anehnya, Udina merasa tubuh Wander menjadi begitu ringan. Tapi ia tidak bisa berpikir di situasi gawat begini.
"Kau gila!"
"Tidak ada waktu lagi buat bertengkar! Kau cukup lari ke mana aku suruh! Aku akan membukakan jalan!" Wander menunjuk tepat ke lautan api tebal yang berusaha menggapai mereka dengan lapar!
Udina merasa kakinya berubah bagaikan agar-agar. Penghuni rimba sangat takut pada bencana api.
Tapi telapak tangan Wander menyentuh punggungnya. Sebuah tenaga dahsyat membanjiri tubuhnya, mendinginkan dan menenangkannya. Di antara hawa panas yang demikian menyesakkan, anehnya pikirannya menjadi tenang dan dingin. Tekadnya membulat.
Khicinya mengalir ke kedua kakinya tanpa henti. Ia mempersiapkan jiwa dan raganya, ketika ia mengambil ancang-ancang dari jarak tertentu.
Ia lalu melaju begitu cepat ke arah lautan api! Udina merasa ia tidak pernah lari lebih cepat seumur hidupnya! Ketika ia mendekati kematian yang menyala-nyala… mendadak dinding api itu terbelah dahsyat oleh gelombang pukulan dahsyat.
Seakan-akan mereka dicabik sebuah ledakan angin es nan dahsyat! Ia bisa melihat sebuah jalur terbuka! Kakinya semakin cepat melangkah dan ia lari demi menyelamatkan nyawanya! Ia menginjak permukaan yang membara, abu, dan arang, diantara dinding api di kiri dan kanan yang masih mengancam!
Cukup satu percikan dan mereka akan…
Ia berada di tengah-tengah ketika dinding api mulai mendekat ganas! Tapi dentuman hawa pukulan nan dingin dan dahsyat kembali merobek api itu! Bunga-bunga api dan lidah si jago merah memenuhi udara, tapi tidak satu pun yang mengenai mereka!
[Ke rumah di sebelah kanan]
Suara itu diikuti terbukanya jalan lain ke kanan! Ia mengubahh arah dengan lincah, tapi ledakan-ledakan di atas kepala mereka menghujani mereka dengan kepingan-kepingan tanah liat membara dan tajam!
[Lari terus!]
Ia tidak berhenti berlari! Kakinya telah menyala oleh api, begitu juga tangannya, ia tahu Wander juga menyala! Tapi ia terus melaju ke depan! Berusaha menekan rasa putus asa dan sakitnya!
Ia melihat sebuah dinding membara di depan!
[Terus lari!]
Ia terus berlari! Seluruh pikiran dan rasa seakan sirna! Ia menutup matanya seakan hendak menubruk dinding itu!
Ia menubruknya tapi seakan dinding itu bagaikan tahu… Begitu rapuh dan lembut, lalu runtuh memekakkan di telinganya ketika ia terjerembab ke dalam rumah itu! Mereka segera sibuk mematikan api di baju dan tubuh mereka.
Udina agak panik ketika apinya bertambah besar, tapi mendadak sebuah tangan biru dan dingin menyapu kulitnya dan ajaibnya apinya padam!
Sesaat tidak ada yang terdengar kecuali suara napas tersengal-sengal dan bunyi derak lidah api… Udina hanya bisa tertawa meringis, menolak berpikir apa pun. Tapi ia tertegun ketika Wander menukas, menghilangkan waktu istirahat barang sekejab, "Apanya yang lucu? Kita masih harus menembus empat rumah lagi? Cepat!"
Pemuda itu bangkit dan menunjuk lagi sebuah sisi rumah dengan tinju birunya!
BOOM! Dinding itu hancur luruh!
Wander mengulurkan tangannya yang berminyak lagi, "Ayo!"
*
Suatu ketika ada orang buta dan orang lumpuh...
Tersesat dalam hutan belantara...
Kemelut mengesampingkan permusuhan
Di hadapan bahaya, apalagi kematian,
Pembatas sirna
Bhinneka menjadi tunggal