Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 41 - Tensh'a Ibril

Chapter 41 - Tensh'a Ibril

Yang lebih cepat lebih mungkin unggul

Yang lebih terlatih lebih mungkin bertahan

Yang lebih kuat lebih mungkin tetap tegak

Namun, meski yang punya rencana belum tentu menang

Tapi yang tak punya rencana tak mungkin menang

Apalagi yang tanpa persiapan matang

8 Februari 622, hari ke-54 setelah mangkatnya Raja.

Seluruh Pasukan Sulran sampai di dataran Tensh'a Ibril, medan laga yang ia pilih ,hanya dalam waktu lima hari. Pasukannya berjalan tanpa henti siang dan malam, mengagetkan semua orang dengan kecepatannya. Ia bahkan sampai sehari lebih cepat dari Moharan yang telah berangkat enam hari sebelumnya.

Ketika Pasukan Pendahulu musuh tiba keesokan harinya dan melihat orang-orang Sulran sedang membangun benteng, mereka mengira bahwa pasukan Sulran sudah kekelahan, jadi mereka menyerangnya.

Pasukan Sulran lari tunggang langgang, meninggalkan bangunan setengah jadi mereka. Pasukan Pendahulu musuh mengejar dengan bernafsu, sebelum mereka masuk ke dalam perangkap Sulran. Dikepung oleh pasukan penghadang yang bersembunyi, Sulran menghancurkan mereka dengan mudah. Dari 10.000 pasukan musuh hanya setengah yang bisa melarikan diri dan bisa memberitahukan kabar buruk kekalahan akibat kecerobohan mereka pada Moharan.

Hari berikutnya, Moharan tiba dengan seluruh pasukan utamanya. Setelah beristirahat cukup dan membangun pertahanan mereka, pasukan Sulran yang lebih kecil bersiap menghadapi mereka. Selama tiga hari mereka hanya melakukan pertempuran kecil-kecil. Kedua Pasukan hanya menatap satu sama lain, menunggu yang lainnya bereaksi.

Pasukan Pangeran Ketiga atau Pasukan Timur masih berusaha memulihkan moral mereka dari kekalahan yang mereka derita di hari pertama, sementara Sulran masih memulihkan stamina prajuritnya setelah perjalanan kilat. Ia berhasil membeli waktu tiga hari yang tak ternilai itu dengan brilian.

11 Februari, di tenda pusat komando Pasukan Barat.

Sulran bertanya ke salah satu muridnya:

"Bagaimana kamu melihat situasi sekarang, Damar?"

Damar, Sang Walet, adalah muridnya yang bertampang agak kekanak-kanakkan dengan senyum damai menarik. Ia tampak agak kaget ditanya mendadak. Murid ketiga Sulran ini menengok ke pria berwajah pucat berambut merah di sampingnya. Sang Burung Hantu, Murid keempat Sulran yang bernama Toto.

Toto hanya duduk di sana dengan mata terpejam. Ia tampak seperti tertidur jika tangannya tidak memegang sebuah arloji yang terbuka seperti seekor naga sedang memegang mutiara ajaibnya. Suara detik dari jam langka itu satu-satunya hal yang sedang ia pedulikan di seluruh dunia.

Damar menghela napas, "Guru, seluruh pasukan kita sudah cukup beristirahat. Semuanya siap untuk bertempur. Garis pertahanan kedua juga sudah siap," Ia bangkit dan mengambil sebuah tongkat kecil, dan menunjuk sebuah daerah perbukitan 6 mil di belakang dari perkemahan mereka. Semua mesin penggempur dan perbekalan juga sudah siap. Kami siap untuk operasi besok."

Sulran tersenyum, "Kerja yang baik sekali. Tapi itu situasi kita. Bagaimana dengan situasi seluruhnya?"

Damar tidak bisa menghindar dari pertanyaan soal strategi rupanya. Ia melirik ke Toto lagi, yang masih seperti arca hidup. Bukannya Damar tidak memiliki keahlian strategi (ia sedang merendah) tapi ia tahu bahwa Toto adalah yang paling jenius di antara Empat Murid.

Akan tetapi Toto sekarang sedang terlibat suatu taktik yang mungkin hanya Gurunya dan Divara yang tahu. Ia juga sadar bahwa Gurunya dan Tiga Murid yang lain tengah mematangkan taktik yang tidak ia ketahui. Gurunya sering mengetes satu muridnya yang tidak ia beritahu taktik seperti ini, sementara menugasi tiga lainnya taktik rahasia.

Setelah menghela napas lagi, ia berkata, "Sejujurnya, kita di bawah angin, Guru. Meskipun kita telah memenangkan pertarungan pertama dan mengamankan daerah pertahanan kita, musuh masih lebih kuat dalam tiga segi: kuantitas, kualitas, dan posisi. Dari segi kualitas adalah unit Gajah Perang musuh. Mereka belum mengeluarkannya sekalipun, dan itu bijak sekali. Belajar dari kekalahan mereka, tentu musuh akan bergerak hati-hati supaya tidak mudah jatuh ke lubang perangkap. Susah menghentikan pasukan Gajah kalau mereka hati-hati. Pasukan Gajah sungguh perkasa."

"H'm…" Sulran menyetujui.

"Masalah kedua adalah posisi mereka lebih strategis dari kita. Mereka didukung sungai di timur dan gunung di Utara. Jalur transportasi dan perbekalan mereka terjamin, tidak seperti milik kita yang harus melintasi gurun. Suplai air kita juga langka, karena sungai diduduki musuh. Hanya sedikit sumur kita yang terisi air, termasuk di bukit-bukit. Kita tidak bisa bertahan lama di sini."

"Hm."

"Lalu dari kuantitas pasukan, mereka melebihi kita tiga banding dua. Artinya mereka cenderung akan menggunakan taktik serangan masal dan pengepungan untuk menghancurkan kita sekali pukul. Dari jaringan informasiku, aku memperkirakan besok mereka akan datang menyerbu. Tiga batalion akan menyerang dari Utara, dua dari Selatan. Pasukan Utama dari depan. Kita akan diserang dari tiga arah tepat sebelum tengah hari besok."

Sulran memuji ulasan muridnya juga kemampuannya menyadap informasi musuh. Berita yang baru ia sampaikan demikian berharga. "Bagus, Damar. Jadi, kalau kau jadi komandan, apa yang akan kau lakukan?"

Damar sekali lagi melihat peta itu, meneliti balok-balok kayu berwarna merah dan biru yang melambangkan kedua pasukan itu. Jarinya menunjuk ke arah benteng mereka yang terletak di tengah-tengah jalan dan padang rumput. Ia berkata, "Aku akan melarikan diri dari tempat ini. Benteng begini tidak bisa menerima serangan langsung. Belum lagi kita tidak ada persiapan melawan serangan tiga arah dan Gajah," Ia melihat Gurunya dengan wajah penuh kerisauan.

Wajah Gurunya bagaikan terbuat dari dua lempeng baja, lengkap dengan dua bekas luka besar di di kedua pipinya, yang satu bahkan menggurat sampai ke hidungnya. Hidungnya yang tidak rata itu maupun kumis tebalnya tampak bergerak-gerak gembira. Mata coklatnya yang luar biasa tajam menunjukkan senyum lebar yang langka.

"Toto!" Sulran mendadak membentak.

Toto membuka matanya, dan Damar melihat kilatan di dalam mata berwarna biru itu. Toto berbicara dengan dingin dan teratur, seakan menyatakan sesuatu yang sudah jelas seperti matahari terbit di timur dan tenggelam di barat.

"Kaju tinggal 12 mil lagi. Gluka masih 16 mil."

Ia bangkit dan mengambil tongkat penunjuk dari tangan Damar, lalu membuat dua garis khayal di peta itu. Damar langsung mengetahui salah satu taktik rahasia Gurunya. Ia terperangah.

"Bisa menipumu selama ini, bukan?"

"Divara Maha Agung! Tapi siapa yang memimpin pasukan di belakang…"

"Kelgan dan Opaja yang dari awal memimpin. Kaju dan Gluka menyamar sebagai karavan para pedagang lalu mengambil rute selatan dan utara," Toto menjelaskan. Lalu ia menjabarkan seluruh rencana tanpa menunjukkan sebutir emosi pun. Ia membicarakan perhitungan, angka-angka, sambil menggerakkan balok-balok di peta dengan penuh keyakinan. Ia juga menjelaskan peranan Damar dalam rencana ini.

Damar tahu mengenai jalur yang diambil konvoi pedagang. Kebanyakan dari mereka menghindari perang dengan mengambil jalan alternatif, tapi untuk menggunakan jalan ini pun mereka harus melalui berbagai pos penjagaan dan benteng musuh… Sungguh tidak mudah.

Sulran mengamati wajah muridnya yang asyik berpikir. Damar adalah muridnya yang ahli di bidang mengumpulkan informasi dan terutama mengatur berbagai aspek pendukung perang. Ia tahu mengenai perbekalan, transportasi, pembuatan jalan, mesin perang, serta mata-mata lebih dari siapapun di angkatan perang Sulran. Tapi kali ini pun ia tertipu. Pelajaran baik buatnya untuk memperhatikan tidak hanya gerakan lawan, tapi juga kawan.

Sulran percaya bahwa murid-muridnya perlu diuji dari waktu ke waktu. Karenanya ia sengaja membiarkan Damar berpikir sendiri strategi apa yang akan dipakai kali ini.

Saat Toto menyelesaikan uraian strategi itu, sesaat Damar tidak bisa berkata-kata.

"Kalau begitu besok…" Bibir Damar bergetar. Ia bangkit, matanya berkilau, "Aku akan pergi bersiap."

"Ya. Besok." Mata Sulran menyala bagaikan ular melihat mangsanya.