Kebenarannya ada di papan catur: hanya permainan
Alasannya ada di gelak tawa penghuni istana
Siasat dan muslihat saling diluncurkan
Pengkhianatan dan kepahlawanan bercampur
Merahnya darah dan panasnya api
Indah di kertas, hampa dan murka di kenyataan
13 Februari. Hari ke-59 setelah mangkatnya Raja: Padang Tensh'a Ibril.
Kedua pasukan saling berhadapan dalam jarak kurang lebih satu setengah mil. Di padang yang terbuka itu, setiap prajurit bisa melihat cakrawala pandangannya terisi dengan prajurit dan panji-panji musuhnya. Pemandangan yang menggiriskan tapi juga menakjubkan, tepat sebelum terjadinya letupan pertempuran. Siapa yang masih akan berdiri tegak esok? Itulah pertanyaan abadi yang menghuni dada setiap prajurit di saat hening seperti ini.
Ruang dan waktu bagaikan kusut, terdistorsi, dan setiap orang bisa mendengar suara debar jantung mereka sendiri lebih jelas dari kapanpun mereka bisa ingat. Suara kibar bendera di bawah sapuan angin menggambarkan pikiran mereka yang menari liar, kepanasan di bawah sinar mentari, dan berdesir dan berdecit bagaikan gesekan baju besi mereka. Tapi di bawah perintah keras dan disiplin dingin, mereka berdiri masing-masing di formasi mereka, berusaha bertarung lebih dahulu melawan rasa takut dan keinginan mereka sendiri.
Sulran duduk di atas kudanya, melihat ke limpahan prajurit di kejauhan. Ia lalu bertanya, "Mereka tidak akan bergerak, bukan?"
Toto menjawab, "Mereka menunggu saat yang tepat."
"Kalau begitu jangan sampai mereka mendapatkan saat yang tepat."
Toto menunjuk ke Timur. Sulran mendadak melihat gerakan sebuah kompi kecil. Lima puluh kuda berjalan santai ke daerah kosong di antara kedua angkatan perang raksasa itu. Kompi itu membawa beberapa kereta masing-masing diatasnya diberi sebuah tiang, dan beberapa panji yang berlumur darah. Di setiap kereta itu tiga orang tawanan dibiarkan telanjang, terikat di tiang tadi.
Musuh tampak berdesir saat mereka melihatnya, tapi masih tidak bergerak.
"INILAH ANAK-ANAK PENGECUT, BINATANG RENDAH, PENGKHIANAT KERAJAAN! TOLONG! TOLONG! TERIAK MEREKA SIANG DAN MALAM DI BAWAH SIKSA KAMI! MEMOHON AYAH DAN IBU MEREKA DATANG MENOLONG! MANA ORANG YANG BERNAMA AVERDION? ATAU MEROKA? ATAU SEPUPU DARI JAEB DEKAR? LIHAT SAUDARA-SAUDARAMU YANG HINA INI MENDERITA! LIHAT MEREKA DIPERMALUKAN! MASIHKAH KALIAN PUNYA HATI TIDAK DATANG MENOLONG?!"
Suara prajurit yang lantang bagai membahana memotong udara di kedua sisi dataran. Suara lolongan terompet, derap tambur dan gembrengan, serta sangkakala seakan menambah pedasnya provokasi itu.
Melihat musuh tiada bergerak, kapten kompi kecil itu memberi perintah, "Potong kaki mereka!"
Para prajurit dengan cepat memotong satu kaki setiap tawanan! Suara jeritan memilukan dan mengiris hati menyusul, terutama karena para prajurit menuang garam dan madu ke luka segar para tawanan!
"LIHAT SAUDARAMU WAHAI PRAJURIT DAN PERWIRA DI SANA! KENAPA KAMU MASIH DIAM? KATAKAN SATU KATA SAJA DAN KAMI AKAN MEMBERESKAN MEREKA TANPA RASA SAKIT! ATAU KALIAN BISA JADI SEORANG PRIA SEJATI DAN DATANG LANGSUNG KESINI?!"
Tidak ada respon, meski desiran di hati Pasukan Timur jelas kian membara.
Melihat masih tidak ada perkembangan, kapten itu berkata lagi, "Potong kaki satunya!"
Damar melihat Toto, yang wajahnya masih sepolos kertas. Ia seakan menyaksikan kekejian di luar batas ini seperti melihat bermain kincir angin. Tertarik tapi tanpa emosi.
Sulran berkomentar, "Taktik kasar memang… Tapi sangat efektif untuk orang yang sok pahlawan dan berdarah panas…"
"Kirim utusan lagi! Beritahu mereka, APA PUN YANG TERJADI jangan bergerak! Tunggu sinyal! Yang memberontak dihukum mati!" Jendral Moharan membentakkan perintah lagi. Itu adalah utusan ketiga yang ia kirim hanya dalam selang lima menit.
Cuaca entah kenapa di luar perkiraan, luar biasa panas, walaupun baru awal musim semi. Matahari bersinar cerah, memanggang mereka perlahan, sekalian memperlihatkan lebih jelas apa yang terjadi di hadapan mereka ataukah itu hanya hawa panas dalam hati mereka?
Apa yang Pasukan Barat lakukan sungguh tak termaafkan, di luar batas etika dan aturan perang! Aksi mereka menyamai kaum barbar Mauro itu… bahkan lebih buruk!
"LIHAT BAGAIMANA KASIHANNYA MEREKA? APA KAMU TIDAK SEMUA TIDAK PUNYA HATI MENYELEMATKAN MEREKA DARI DERITA INI? ATAU KALIAN TIDAK BERANI KEMARI DAN MENYELAMATKAN MARTIR KALIAN SEMUA INI? TIDAK MAU MENOLONG? BAIKLAH! LEBIH BAIK AKU MEMOTONG TANGAN MEREKA SEKALIAN. TANGAN YANG KALIAN TOLAK UNTUK TOLONG!"
Suara jeritan dan tragedi para tahanan bisa terdengar seantero padang. Bahkan prajurit veteran pun merasa hatinya bagai teriris-iris melihat nasib tawanan itu.
"Apa yang terjadi kalau mereka tidak mau bergerak?" Damar bertanya dengan masgul.
"Namanya juga taktik kasar… Kegunaannya sebenarnya hanya memanas-manasi mereka. Yang namanya taktik sejati harus bekerja dengan akurasi 100%. Taktik itu sudah dipasang di antara mereka," Toto menjawab. Bibirnya melebar membentuk sebuah senyum kecil.
"HA! BEGITU SAJAKAH KABAR KEBERANIAN KALIAN?! LIHAT BETAPA MENYEDIHKANNYA! SUNGGUH JIWA KALIAN TERNODA, ANAK-ANAK ANJING PENGKHIANAT! ANJING TAK BERHATI! BAHKAN ANJING PUN MENOLONG SAUDARA MEREKA SENDIRI, TAPI KALIAN HANYA TEGAK DI SANA DAN MENONTON! KALIAN MASIH ANGGAP DIRI KALIAN KESATRIA SEJATI? ATAU KALIAN MALAH MENIKMATI TONTONAN INI?!" Suara teriakan nan keras itu seakan menambah suhu padang ini dua atau tiga derajat.
Kapten kompi itu melihat para tawanan sudah mati karena kehilangan terlalu banyak darah.
"Pancung mereka, lalu kepala dan tubuhnya seret dengan kuda!"
Seluruh Pasukan Barat bersorak dan menyanyikan lagu kemenangan penuh kata-kata menghina Pasukan Timur. Sementara jasad para tawanan diseret di tanah tanpa ampun, bergesekan dengan tanah berputar-putar dimainkan kuda.
"KASIH TAHU AYAH DAN IBU KALIAN KEPENGECUTAN KALIAN HARI INI! BEGITU RENDAHNYA KALIAN SAMPAI MEMBIARKAN SAUDARA KALIAN DIPERLAKUKAN SEPERTI KOTORAN ANJING? SELURUH DUNIA AKAN TAHU BAHWA KALIAN TIADA HARGANYA SAMA SEKALI!"
Pasukan Barat menyoraki dengan suara tawa lantang dan teriakan menantang. Ribut sekali.
"Kalau ini tidak membuat mereka bergerak… Ya sudah gagal," Sulran terkekeh. Matanya berbinar.
Mendadak sebuah pasukan meluruk maju dari antara barisan Pasukan Timur, menerjang ke depan sekencang-kencangnya! Dua ratus kuda, kemudian diikuti lima ratus, lalu lima ribu! Bagaikan ditarik magnet kemarahan dan dendam, mendadak seluruh Pasukan Timur mulai menerjang ke arah Pasukan Barat bagaikan gila!
"Siapa yang berbuat gila itu? Hentikan dia! Hentikan!" Moharan begitu marah melihat pasukannya sampai terpancing begitu!
"Itu… pasukan Kapten Yardil."
Tapi tidak ada yang bisa menghentikannya, karena Mayor Averdion, Kapten Merocas, dan Kapten Belje (sepupu Jaeb Dekar), telah ikut menerjang, semua buta oleh kemarahan!
Selama satu menit penuh, Moharan hanya bisa tercenung melihat bagaimana ia telah kehilangan kendali pasukan raksasanya. Tapi ia segera pulih, saat menyadari bahwa kalau mereka sudah keburu terpancing, tidak ada gunanya ia masih hanya berdiri di sana.
Pasukannya telah menerjang terlalu jauh untuk ia panggil balik. Paling tidak ia bisa menggunakan kemarahan yang mendidih ini untuk menghancurkan pasukan musuhnya, secepat mungkin, jika Divara merestuinya dengan kemenangan.
Toto menunjuk, "Itulah pengkhianat kita. Lihat! Yardil tua yang serakah… Betapa ia gembala orang-orang tolol yang luar biasa."
Damar menggigil, ketika ia melihat cahaya mata Toto yang sama sekali tak kenal ampun. Ia diam-diam bersyukur pada Divara bahwa ia bukan musuhnya.
Sulran memberi sinyal ke bawahannya, "Semua pasukan! Serang!"
Pasukan Barat, sama bersemangatnya dengan Timur, menerjang ke depan bagaikan banjir bandang! Dua ombak besar manusia, masing-masing dengan deru haus darah dan teriakan perang masing-masing kubu mengguncang seluruh dataran! Dentuman, getaran, serta suara di telinga mereka makin kencang, sampai berdering memekakkan. Semakin lama semakin kuat, saat kedua massa pasukan itu mendekat, sampai akhirnya suara ledakan membuat mereka tuli bagaikan tersambar petir, ketika kedua pasukan itu akhirnya bertumbukan!
Kepingan kayu, besi, bahkan darah dan daging melayang ke udara ketika barisan pertama saling bertabrakan dengan barisan muka musuh mereka. Hutan tombak bertemu kuda, kuda bertemu manusia, kuda bertemu Gajah, panah bertemu panah, panah bertemu baju besi dan ketopong, demikian juga pedang dan kapak saling mencari kepala dan tubuh, sampai semuanya menjadi kekacauan yang yang mengerikan. Dari udara semuanya itu terlihat bagaikan sarang semut yang baru diinjak-injak, tapi bagi para prajurit di tengah kekacauan itu, semuanya antara terjadi terlalu cepat atau kabur sama sekali, atau malah begitu lambat dan menjengkelkan. Mereka tidak bisa melihat apa pun selain musuh di hadapan mereka, telinga mereka sejenak tuli, sejenak bisa mendengar teriakan rekan-rekan atau komandan mereka. Tapi mereka tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Mereka hanya bisa menerjang maju atau kabur…
Di dataran yang lebih tinggi, Sulran terus mengamati pasukannya. Sebuah pecahan musuh telah menembus dari sisi, bahkan menembus barisan kelimanya, tidak bisa dihentikan. Ia melihat melalui teropongnya, dan mengenalinya sebagai pasukan dari Fru Gar.
"Orang-orang berani yang ada di sana itu," pujinya, "Adakah di antara kalian yang bisa hentikan mereka sebelum mereka sampai kemari?" Sulran bertanya pada jendral-jendralnya, lalu mengacungkan tongkat perintahnya ke pasukan itu. Perwira dan prajuritnya segera berebutan memacu pasukan mereka untuk menghadang musuh yang berani itu!
Sementara pasukan garis depan dan utamanya perlahan mulai terdorong mundur, ketika mereka tak mampu menahan lagi rangsekan pasukan Gajah musuh mereka. Sungguh hewan-hewan raksasa itu memang senjata yang menakutkan. Kulit tebal mereka, belum lagi termasuk zirah membuat mereka hampir tidak mempan terhadap tombak dan panah. Kecepatan, ketinggian, dan bobot mereka membuat daya gempur mereka hampir tidak tertahankan. Bahkan pasukan kuda besi pun tersapu belalai dan tumbukan mereka.
Sulran melihat ke Toto yang mendadak menutup arloji tangannya dan mengangguk singkat. Jendral Tua itu segera mengayunkan tongkat komandonya ke tukang benderanya, "SELURUH PASUKAN! MUNDUR! FORMASI MUNDUR!"
Rentetan panji-panji mundur segera dinaikkan dan mendadak pasukan Sulran bagaikan pecah mendadak menjadi dua dan berseliweran ke kiri dan kanan dengan sebatnya, dalam formasi mundur mereka, sambil menembaki musuh dengan anak panah dan tombak lempar!
Anak panah liar berdesing satu kaki dari kepala Sulran. Ia terkekeh ketika ia menengok ke pasukan Fru Gar yang sudah terhadang dan terkepung, hingga gagal maju lagi. Ia memacu kudanya, kabur ke arah Barat Laut.
"MUSUH MUNDURR!" Teriak seorang prajurit pembawa berita.
"Bagaimana pasukan penghadang?" Moharan berkata dengan tidak sabaran. Ia merujuk ke pasukan sayap kanan dan kiri yang ia tugaskan menjepit musuh dari utara dan selatan.
"Pengintai belum mengirim kabar, Tuanku! Tapi musuh begitu cepat mundur… Mungkin ini tipuan, Tuanku!"
"Mereka tidak punya tipuan apa pun! Mereka jelas kewalahan! Jangan sia-siakan kesempatan ini! Kejar mereka!" perintah Moharan, memercayai nalurinya.