Tiada pesta yang tak usai
Kemilau keemasan surya pun akan terbenam
Lalu kegelapan timbul
Penuh harap manusia menghibur diri
Tenang, sebentar lagi rembulan muncul
Tenang, sebentar lagi malam berlalu
Tenang, surya akan terbit kembali
Tanpa menyadari kegelapan dan cahaya
Ada di dalam hati masing-masing
Ketika aku terbangun, hari sudah subuh. Master sudah pergi. Para pelayan sedang ribut dan sibuk karena dua alasan: Kepergian mendadak Master dan kehancuran Balai latihan tepat di tengah malam. Aku segera sadar bahwa pasti Shishou yang membawaku ke tempat tidur. Aku masih bisa merasakan rasa kasar yang tidak enak di tenggorokanku, tapi juga rasa pahit dan aroma kuat pil Nunnan.
Aku turun dan menenangkan para pelayan. Setelah menyampaikan pesan Master, kami semua jadi tenang. Lalu aku baru menyadari sesuatu. Shishou juga tidak di rumah! Aku mencari-cari ke mana-mana dan bertanya pada semua pelayan. Rupanya hanya Pel yang melihatnya di luar rumah.
"Ya. Guru Jie baru saja pergi. Aku malah yang disuruh mengantarkan tas dan topinya. Ia berkata bahwa ia akan jalan-jalan sebentar dan akan kembali segera. Jangan khawatir katanya."
Aku segera merasa lega. Shishou bagaikan angin dan hujan. Pergi dan datang semaunya, dan ia sering menghilang seperti ini. Tapi kali ini aku begitu panik, karena aku baru saja menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam 10 tahun aku sendirian, tanpa kedua guruku.
Aku segera merasa rindu akan kedua Guruku. Tubuhku masih sakit semua, tapi ada emosi yang begitu kuat, tebal, dan bergolak di dadaku.
Aku bisa merasakan kebaikan dan budi guru-guruku yang begitu mendalam.
"Aku ingin berlatih tanding lagi…"
Aku telah lulus ujian tingkat Provinsi untuk Rekrutmen Pejabat Kantor Perdagangan Kerajaan setahun yang lalu. Aku seharusnya sudah bisa bekerja di kantor Ayah di musim panas, jika ia tidak meyakinkanku bahwa aku akan lebih berguna bagi Kerajaan jika aku lulus ujian Tingkat Kerajaan di Ibukota. Apakah ini karena aku lulus di peringkat pertama seluruh propinsi atau ia terlalu melebih-lebihkan potensiku. Sejujurnya aku tidak terlalu nyaman dengan rencana mengambil ujian berikutnya ini, karena (jika aku lulus) bekerja di Ibukota, tentu berarti aku akan meninggalkan kota ini. Sayangnya baik Ibu dan Kakak begitu antusias, dan mereka jelas membuatku jadi bersemangat.
Jadi, aku sedang belajar giat untuk Ujian Kerajaan yang akan datang. Ujian akan berlangsung dalam waktu dua bulan, di awal tahun. Peserta Ujian itu ada 117 orang, semua lulusan tiga terbaik dari Ujian Propinsi akan bersaing untuk hanya tiga lowongan saja di Kantor Kerajaan.
Aku baru hendak menyiapkan perjalananku ke Ibukota, ketika berita itu datang, 10 hari berselang kepergian Master. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku sedang berlari keliling gerbang kota seperti biasanya, ketika aku melihat seorang utusan Kerajaan memacu kudanya ke arah. Ia memegang bendera berwarna hitam dan putih.
Temanku Durk, kapten penjaga gerbang membukakan gerbang kota, dan setelah berbicara sebentar, ia mengantarkan utusan itu ke gedung Gubernur. Aku mengekor mereka tanpa ketahuan, karena penasaran. Ketika si utusan masuk ke gedung itu, matahari pagi sudah menunjukkan sekitar jam tujuh. Entah kenapa aku tidak lepas mengawasi gedung itu. Durk kusapa saat ia meninggalkan gedung tapi ia juga tidak tahu apa-apa.
Mendadak lonceng di atas menara Kegubernuran berdentang nyaring. Suaranya bisa terdengar sampai ke seluruh kota. Lalu ratusan burung merpati terbang, melesat ke seluruh penjuru dari Kantor Gubernur.
Orang-orang cepat berkerumun di depan halaman Alun-Alun Kantor Gubernur–dengan Aku dan Durk di paling depan. Seribu, dua ribu, sampai puluhan ribu orang akhirnya memenuhi halaman itu. Bel masih terus berdentang dan kegelisahan mulai terasa bagaikan awan nyamuk yang terus berdengung.
Akhirnya Gubernur keluar juga, wajahnya pucat dan lesu. Ia memberikan gulungan ke seorang Pembaca Berita, yang dengan bersemangat memamerkan suara lantang dan bergemanya seperti biasa. Tapi ketika ia mulai membaca, suaranya menjadi serak, dan ia hampir menangis ketika ia selesai membacakan berita itu. Saat itu, tidak ada yang bahkan memperhatikannya, karena hampir semuanya telah menangis dan meratap pilu.
Aku berusaha melewati kerumunan yang penuh duka nestapa itu, dengan susah payah pulang ke rumah secepatnya. Ketika aku sampai, aku tidak melihat siapapun. Aku berteriak sekuat-kuatnya dan seluruh rumah mendengar suaraku. Baru aku melihat sosok kakak-kakak perempuanku, dan mereka menanyakan apakah yang kuteriakkan itu benar. Aku menjawab iya, dan ketika mereka melihat air mataku mereka juga ikut menangis. Semuanya seperti mimpi buruk.
Aku bergegas menuju ke kamar kerja ibuku dan berteriak pada pintu yang tertutup.
Tidak ada suara apa pun sesaat, sebelum suara Ibuku menggema dari dalam, "Masuklah, Wuan."
Aku kaget. Tidak seorangpun boleh masuk ke dalam kamar kerja ketika Ibu sedang menenun. Aku menolak, tapi Ibuku memerintahkanku untuk kedua kalinya. Menurut, aku membuka pintu geser itu dan terpana melihat Luan yang tak selesai yang sedang ia tenun.
Wajah beliau pucat, matanya demikian sedih, tapi ia tidak meneteskan air mata. Ia bangkit dan merenggut tenunan itu dari kayu penjepitnya. "Sekarang ini sudah tidak ada gunanya… Aku kira aku bisa menyelesaikannya tepat waktu…" Ia berbicara dengan tatapan hampa.
"Bantu aku membakarnya." Ia mendadak mencetuskan.
"T-tapi…!"
"Karya ini tidak ada gunanya ketika calon empunya sudah tiada. Kau harus memusnahkannya," Ibuku jarang sekali memerintahku.
Di halaman, aku mengatup tenunan halus itu dengan kedua telapak tanganku lalu aku menggeseknya cepat sekali dengan bantuan Khici.
Bunga api segera menyala dan segera Luan itu mulai menyala.
"Aku harap ia akan menerimanya… Ia seorang sahabat yang sangat baik. Satu di antara sejuta. Orang yang bisa melihat Luan dan mengagumi mereka apa adanya," Ibuku berbisik, matanya tak pernah lepas dari tenunan yang menyala.
Ketika aku melihat tenunan yang menggambarkan rupa Sang Raja itu perlahan mulai berubah menjadi abu, air mataku kembali bercucuran. Kali ini dengan rasa sakit yang demikian hebat. Kenyataan akhirnya mendarat di benakku.
Raja kami yang Agung, Janeek Reshva Urand, mangkat pada tanggal 17 Desember Tahun 621. Semoga Dewi Divara melindungi beliau.
Luan terus menyala, dan aku melihat bola-bola api kecil berwarna pelangi mulai menari keluar dari dalam api seperti kunang-kunang. Mereka menari di udara demikian indah, sebelum akhirnya mereka raib. Aku memperhatikan cahaya-cahaya aneh ini dan aku berkomentar takjub, tapi Ibuku tidak menjawab. Ketika aku lihat, ia sedang menangis tanpa suara. Air matanya ia biarkan saja turun sementara ia menatap ke depan dengan penuh kenangan dan kesedihan.
Aku menyadari adanya hubungan misterius dan terpendam antara ibuku dengan Raja, yang tak pernah ia ceritakan kepadaku dan tak akan ia bagikan dengan siapa pun. Kini hubungan itu tengah dilepasnya dalam kobaran api.
Beliau tidak pernah menenun Luan lagi, sejak hari itu, sampai bertahun-tahun kemudian.