Ia yang mengenyam derita berkepanjangan
Sebagian berakhir gila, hancur, patah
Tapi ia yang bertahan melaluinya
Dengan menjaga asa membara
Dan welas asih dalam hatinya
Ia adalah orang yang paling patut dikagumi
Ibukota Telentium Utara: Taran Reiro
Ligeir Mureel Urand, Pangeran Kedua Kerajaan Telentium, sedang menulis surat di atas meja meja lipat di atas pembaringannya. Punggungnya bersandar tegak pada tumpukan bantal bersulam. Para pelayannya yang setia telah memasang lampu-lampu serta lilin di sekitar peraduannya seperti biasa supaya ia memiliki penerangan yang cukup.
Tengah malam sudah lama berlalu, tetapi tangan yang pucat dan kurus sang Pangeran masih terus menari di atas kertas yang diberi wewangian itu. Pangeran terkadang berhenti sejenak, terbatuk-batuk atau mengambil beberapa napas dalam, sebelum menulis lagi.
Hubungan seumur hidupnya dengan penyakit-penyakitnya telah memberikannya kekuatan tekad yang cukup untuk mengacuhkan rasa sakit. Ia tahu benar bahwa jikapun ia memilih beristirahat, ia tidak akan merasa lebih baik keesokan harinya, atau rasa sakit itu akan mereda. Penyakit-penyakit ini selalu bersamanya, apa pun kondisinya. Obat-obat hanya bisa meredakan gejala dan rasa sakit, tapi tidak pernah bisa menyembuhkan ia sepenuhnya. Ia selalu merasa paling penuh jika ia menggunakan pikirannya untuk mengerjakan sesuatu ketimbang berbaring tanpa daya di atas kasur.
Sejak ia kehilangan kemampuannya bergerak bebas, ia sudah mengembangkan kemampuan pikirannya dengan disiplin keras. Ia selalu memikirkan segala sesuatu beberapa langkah ke depan, mempertimbangkan segala kemungkinan dan akibat. Ia selalu berpikir saksama, tidak rawan mengambil langkah. Setiap keputusannya pasti mempertimbangkan setidaknya tiga sudut pandang.
Sebagian besar orang di Kerajaan berpikir bahwa kestabilan, kemajuan pesat, dan kemakmuran dari wilayah Utara hanyalah karena pengaruh Raja. Tapi para pegawai istana dan menteri Kerajaan mengetahui bahwa dari sidang harian Wilayah Utara, yang diadakan dari kamar tidur sang Pangeran, adalah tempat terbitnya berbagai perintah dan rencana cemerlang yang telah berbuah kemajuan dari wilayah itu demikian pesatnya.
Satu orang bisa mengubah sesuatu asal ia memiliki pikiran dan keberanian besar, demikian ungkapan yang paling sering Pangeran Kedua lontarkan.
Terutama pada saat ini, ketika situasi demikian genting, ia harus mengeluarkan segenap tenaga dan pikirannya untuk bekerja. Sejak kabar buruk itu sampai, ia bahkan tidak punya waktu sedikitpun untuk berduka. Ia bahkan yang harus menghibur para menterinya, bangsawan-bangsawan lain, bahkan para pelayannya. Ia melarang para pelayannya menangis di depan umum atau menunjukkan emosi berlebihan. Semuanya harus dan akan berjalan seperti biasanya. Ia memberikan perintah demi perintah, nasihat, dan berbagai keputusan seharian penuh: ke perbatasan, ke semua gubernur dan walikota, dan juga himbauan kepada rakyat di Utara. Ia juga menugaskan beberapa menteri untuk mempersiapkan Upacara Duka di kota, sementara ia akan berangkat langsung ke Ibukota. Setelah membuat semua orang di sekitarnya kecapaian dan takjub, ia menyuruh mereka keluar dan ia terus menulis surat demi surat sampai malam, menolak untuk berhenti bahkan untuk sekedar makan malam atau minum obatnya. Makan malam sungguh ia tidak bisa telan, apalagi obat yang hanya membuat pikirannya tumpul dan ngantuk.
Mendadak pintu kamar terbuka dan seorang penjaga masuk dan berlutut, "Maafkan hamba mengganggu, Yang Mulia. Tapi Tuan Putri ingin bertemu denganmu."
"Suruh ia masuk," Pangeran Kedua berkata, sementara jari-jarinya melipat surat-surat yang sudah ditulisnya ke dalam amplop-amplop yang terpisah.
Putri tertuanya, Jilline Minu Urand, Putri Sungai Tesla, memasuki ruangannya dengan tenang diikuti prosesi para pelayan yang membawakan makan malamnya di atas nampan-nampan besar. Ia menjentikkan jarinya ketika mereka sudah menaruhnya dan mereka segera keluar dari ruangan dengan cepat.
Pangeran Kedua selalu tersenyum ketika melihat Putrinya yang berwibawa dan efisien itu. "Ayahanda menolak minum obat, ananda bisa mengerti hal itu. Tapi ketika ayahanda menolak makan, ananda jelas tidak bisa membiarkannya. Apalagi jika ayahanda hendak berangkat besok."
Pangeran Kedua tersenyum makin lebar, "Kalau begitu duduklah di sampingku dan makanlah bersamaku, Jilline. Di mana Erriel?" Ia menyingkirkan semua kertas, pena, tinta, buku, serta meja tulisnya ke sampingnya.
"Adinda sudah tertidur. Seharian ia menangis terus," Jilline tersenyum lembut.
Ia mengatur kedua nampan makan malam dengan cepat dan rapi di atas sebuah meja makan geser di sisi tempat tidur, lalu mereka makan bersama. Makan malam itu terdiri dari bubur, lauk ringan, susu hangat, berbagai buah-buahan, dan teh putih yang ringan. Pangeran Kedua makan sambil mendengarkan laporan putrinya yang singkat mengenai masalah-masalah umum.
Putrinya itu bekerja sebagai mata dan telinganya, juga sebagai wakilnya di wilayah Utara.
Kemampuannya dalam hal administrasi dan memerintah di atas rata-rata, dan ia dicintai rakyat, para menteri, dan bahkan didukung oleh kaum militer yang luar biasa setia padanya. Kepiawaiannya bahkan telah diakui mendiang Raja melalui penganugerahan gelar langsung sebagai penerus penguasa wilayah Utara.
Pangeran Kedua selalu berduka mengenai kenyataan bahwa anaknya ini perempuan, apalagi ketika ia dengar sang putri kerap berkuda langsung ke perbatasan, mengecek markas militer, pos-pos jaga, dan kemampuan menggunakan pedangnya yang menakjubkan para perwira militer sekalipun.
"Ayahanda…"
"Kalau kau masih ingin pergi ke Ibukota, jawabnya tidak. Tradisi tidak mengizinkannya dan aku tidak akan mengubah keputusanku."
Senyum sang Putri seperti berlapis baja, "Ananda mengerti. Tapi setidaknya, bawalah pengawalku Sulfa besertamu. Ia akan berguna bagimu dan Ananda akan merasa yakin dengan keselamatanmu."
"Tidak."
"Tapi…"
"Apa yang membuatmu percaya bahwa aku tidak akan aman di Ibukota Kerajaan kita sendiri?"
"Tidak ada, Ayahanda. Aku hanya akan tidur lebih nyenyak jika aku mengetahui Sulfa ada di sampingmu."
"Jilline, ada apa? Apa itu soal desas-desus itu lagi? Kamu tahu bahwa itu hanya omong kosong!" Pangeran tidak percaya sedikitpun pada elakan 'tidak ada'nya putrinya.
"Jika itu memang omong kosong, mengapa ayah terus menyuruh Jendral Galen dan pasukannya waspada? Mengapa ayah menulis surat demi surat wasiatmu sampai jauh malam?" Suara anaknya itu mulai meninggi karena cemasnya. Ia telah mencuri lihat surat-surat itu sebelum dimasukkan ke dalam amplop.
Saat itu mereka bertatapan sebagai ayah dan putrinya bukan bagai penguasa wilayah dengan bawahannya.
Pangeran Kedua menarik napas dalam, sebelum ia mengungkapkan alasannya dengan tenang, "Saat ini seluruh Kerajaan sedang tidak stabil. Sampai acara meletakkan Mahkota ke Raja berikutnya, seluruh kerajaan bisa dibilang dalam masa darurat. Banyak kerajaan telah lama mengincar wilayah kita dan jika kita menunjukkan sedikit saja tanda kelemahan, itu bisa berakibat buruk. Dengarkan baik-baik, aku belum pernah keluar dari Istana ini selama 10 tahun. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi, jadi aku disini menuliskan surat wasiatku dan sangat tidak sopan jika kamu mengintipnya."
"Maafkan aku, Ayahanda. Tapi mohon pertimbangkanlah saran Ananda."
Pangeran Kedua mengetahui mengenai temperamen anak perempuannya itu begitu baik. Anaknya yang satu ini adalah orang paling keras kepala yang pernah ia temui, dan ia mampu memperlakukan orang hingga pada akhirnya semua orang akan menyetujui kehendaknya. Mengetahui bahwa ia tidak akan bertahan adu pendapat, kecerdikan, maupun pendekatan hati ke hati semalaman, akhirnya sang Pangeran menyerah, "Baiklah. Jika itu membuatmu lega, aku bersedia membawa Sulfa bersamaku."
Wajah sang Putri bersinar cerah seketika, tapi Pangeran memotongnya, "Tapi hanya dengan dua syarat: bahwa kamu akan jadi anak baik dan tinggal di sini dan melayani rakyat seperti biasa…"
Putrinya langsung mengangguk. "Kedua, Sulfa harus menuruti semua perintahku!" Pangeran menambahkan.
Putri Tesla langsung menaikkan satu tangannya, senyum kemenangannya yang cantik segera menyebar. Ia berkata, "Aku bersumpah Demi Divara Agung,"
*
Lampu-lampu minyak sudah lama dipadamkan.
Kegelapan dan keheningan menyebar, mengisi seluruh ruangan itu. Tapi Pangeran Kedua masih tidak bisa tidur. Ia hanya berbaring diam di atas kasurnya, memikirkan ayah angkatnya yang baru mangkat.
Ketika Raja tua telah berumur 40 tahun, ia masih belum memiliki keturunan. Meski memiliki Permaisuri dan banyak selir selama bertahun-tahun. Pamannya telah lama mengadopsinya, putra dari Kakanda Raja satu-satunya.
Begitulah bagaimana Pangeran Kedua menjadi Pewaris Takhta untuk sementara.
Tapi tekanan pada Raja untuk memiliki keturunan langsung tidak mengendur. Tiga tahun kemudian, ketika Pangeran Pertama dan Ketiga lahir, Raja memindahkan gelar Putra Mahkota pada Pangeran Pertama. Ia ingat bagaimana senang dan leganya ia ketika tahu bahwa ia bukan lagi Putra Mahkota.
Ia tidak memiliki ambisi apa pun dan ia hanya sepenuhnya ingin melayani rakyat dan setia pada ayah angkatnya.
Ayah angkatnya itu begitu baik padanya dan menaruh harapan besar padanya, meski banyak kritikan dari sana-sini mengenai kesehatannya dan kecakapannya. Tapi Raja tak pernah meragukannya. Cinta kasih Raja tak pernah mengendur, bahkan kadang melebihi kepada putra-putra kandungnya sendiri.
Paduka Raja bahkan mengatur pernikahannya dengan seorang istri yang sesuai, meski awalnya ia tidak ingin menikah, dan sekarang ia memiliki dua anak perempuan yang luar biasa. Roda takdir tak bermata, siapa yang menyangka mengira ternyata istrinya yang lebih dahulu menghadap Divara. Setiap hari ia berdoa semoga mendiang istrinya bisa terus melihat betapa kedua putri mereka itu sudah tumbuh besar...
Paduka Raja bahkan menyuruh Pangeran Pertama dan Ketiga untuk memanggilnya sebagai 'Paman' dan selalu menasihati mereka untuk selalu mendengarkan nasihatnya. Beliau selalu menulis surat menanyakan kesehatan dan keluarganya, mengirimkan banyak hadiah berharga; salah satunya bahkan lukisan tenunan legendaris itu, yang sangat ayahnya sendiri sayangi berjudul: 'Keramaian di Pasar.'
Paduka bahkan menuruti nasihatnya kala melihat Pangeran Pertama dan Ketiga tidak akur. Gagasannya agar Pangeran Ketiga yang amat pemalu, karena terlalu dipingit ibundanya itu, dipindahkan ke timur untuk belajar memerintah diterima Baginda Raja. Ia bangga melihat adiknya itu kini tumbuh menjadi pria yang berhati bajik. Tak kalah bangganya ia melihat Pangeran Pertama tumbuh begitu gagah dan perwira. Ia begitu menyayangi mereka berdua.
Paduka Raja adalah ayahnya, gurunya, teman baiknya, dan juga pahlawan hatinya. Seorang figur yang ia selalu ia jadikan panutan. Sekarang ia telah meninggal, bahkan sebelum dirinya. Betapa ironisnya. Ia selalu mengira bahwa ia yang paling duluan akan mangkat. Ayahnya itu begitu kuat, sehat, dan bersemangat… Begitu sayang padanya.
[Mengapa?]
Ia merasakan sesuatu yang basah mengalir dari pelupuk matanya, bergulir membasahi pipinya lalu bantalnya.
Dalam kegelapan dan kesunyian itu, akhirnya ia baru bisa berduka untuk dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sosok panutan yang paling dicintainya.