Dengan berat hati mas Raffli menceritakan semuanya kepadaku. Mendengar itu tentu saja aku tidak percaya, bagaimana mungkin ini terjadi sedangkan beberapa hari lagi memang mas Dicky akan pulang.
๐น๐น๐น
"Jenazahnya malam ini tiba di Jakarta"
"Tidak mungkin, mas Raffli bercanda. hiks"
"Mas Dicky janji bakal pulang, dan minggu depan kami . . ." suaraku berhenti tak bisa ku lanjutkan lagi
Setelah pertunangan kami, mas Dicky langsung mengajakku untuk memperisapkan untuk pengajuan nikah di Jakarta. Ya, ketika akan menikah kami harus menunggu persetujuan dari komandan tempatnya bertugas.
Selama 1 bulan aku bolak-balik Malang Jakarta untuk mempersiapkan dan mengikuti berbagai tes. Hari itu dia datang memberi kabar jika akan bertugas ke Afrika Tengah selama 8 bulan. Rencananya setelah pulangnya dari Afrika, kami akan melangsungkan pernikahan.
"Bagaimana bisa dia meninggalkan aku sendirian di sini" aku masih tidak percaya dengan surat yang ku baca
"Maafkan aku Ta" ucap mas Raffli lirih tak tahu harus bagaimana melihatku sangat terpuruk. Pasalnya setelah mas Dicky pulang, kami akan melangsungkan pernikahan. Persiapan sudah 95% dan hari ini seperti tersambar petir di hari yang terang, kabar kepergiannya datang menghampiriku.
Saat itu tiba-tiba saja pandangan terlihat gelap, lalu suara mas Raffli tidak terdengar lagi dan aku sudah tidak sadarkan diri di ruang tamu.
Aku dan keluarga mas Dicky langsung terbang ke Jakarta menjemput mas Dicky.Tak berapa lama jenazahnya tiba di Indonesia.
Aku tak kuasa menahan tangis, berkali-kali jatuh pingsan tak sadarkan diri. Umi pun demikian, tapi masih mencoba menguatkan aku.
"Sabar ya nduk, iki mergo gusti Allah sayang ndek Dicky. Kito nduweni rencono, tapi Allah seng nentokno" hibur umi
"Nggeh mi" aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi.
Setelah prosesi serah terima jenazah, kami pun pulang bersama. Pulang dalam keadaan dia sudah tidak bernyawa lagi.
"Mas, kenapa kamu ingkari janji kamu? bukankah kamu janji akan pulang dalam keadaan selamat? satu minggu lagi pernikahan kita" aku berkata lirih yang hanya terdengar olehku sendiri.
Bunda dan umi hanya bisa mengusap punggungku memberi dukungan. Bagaimana tidak terpuruk, mas Dicky meninggalkanku tepat seminggu sebelum pernikahan kami.
Keesokan harinya jenazahnya di makamkan dengan upacara militer karena gugur dalam tugas.
"Ini saat terakhirku melihat kamu mas, selamat jalan semoga kamu bahagia di sana. Semoga kelak kita akan bertemu lagi di kehidupan selanjutnya." batinku dengan mata sembab dan air mata yang sudah terasa kering.
Semua orang sudah pergi, yang masih di sini hanya aku dan keluarga serta mas Raffli. Ini seperti mimpi, aku seperti bermimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.
๐ผ ๐ผ ๐ผ
Tak pernah terpikir olehku
Tak sedikit pun kubayangkan
Kau akan pergi tinggalkanku sendiri
Begitu sulit kubayangkan
Begitu sakit kurasakan
Kau akan pergi tinggalkanku sendiri
Di bawah batu nisan kini
Kau telah sandarkan
Kasih sayang kamu begitu dalam
Sungguh 'ku tak sanggup ini terjadi
Karena 'ku sangat cinta
Inilah saat terakhirku melihat kamu
Jatuh air mataku menangis pilu
Hanya mampu ucapkan
Selamat jalan, kasih
Satu jam saja 'ku telah bisa
Cintai kamu, kamu, kamu di hatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidup
Satu jam saja 'ku telah bisa
Sayangi kamu di hatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidup
Di nantiku
Inilah saat terakhirku melihat kamu
Jatuh air mataku menangis pilu
Hanya mampu ucapkan
Selamat jalan, kasih
Satu jam saja 'ku telah bisa
Cintai kamu, kamu, kamu di hatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidup
Satu jam saja 'ku telah bisa
Sayangi kamu di hatiku
Namun bagiku melupakanmu
Butuh waktuku seumur hidup
๐ผ ๐ผ ๐ผ
Lalu aku pulang dengan langkah lemas di gandeng oleh bunda. Aku masuk ke kamar dan beristirahat lalu tertidur. Ya, aku masih berharao apa yang ku alami adalah mimpi. Ternyata ini adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Di dalam kamar ku dengarkan musik dari radio yang sengaja ku nyalakan agar aku tak merasa sendiri.
๐ผ ๐ผ ๐ผ
Pagi berkabut dinginnya menusuk
Hatiku yang sedang pilu
Semalam sudah mataku membasah
Harapkan jalan keluar
Tiada pernah terbayangkan
Secepat inikah semua menghilang
Kumohon izinkanku memelukmu sekali lagi
Biar jadi kenangan indahku terakhir kali
Relakan relakan tapi hatiku pilu
Apaku salah tolong maafkan
Aku tak bisa lagi meminta
Berjalan Tinggalkan menoleh kebelakang
sirna sirna sirna
Tiada pernah terbayangkan secepat inikah
Semua menghilang
Ku mohon izinkanku memelukmu sekali lagi
Biar jadi kenangan indahku terakhir kali
Relakan relakan tapi hatiku
Ku mohon izinkanku memelukmu sekali lagi
Biar jadi kenangan indahku terakhir kali
Relakan relakan tapi hatiku
Relakan relakan tapi hatiku
Pagi berkabut dinginnya menusuk
Hatiku yang sedang pilu
๐ผ ๐ผ ๐ผ
Lagu itu seperti menggambarkan perasaan yang ku alami saat ini. Beberapa waktu berlalu sejak kepergiannya aku menjadi lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Aku hampir depresi, tak pernah makan apalagi keluar kamar. Hanya sesekali menyapa ayah bunda.
"Nduk kamu makan ya !! " bujuk bunda
Aku hanya menggeleng, tatapanku kosong seolah mendengar tapi hanya berlalu begitu saja.
"Nduk ikhlasno !! Dicky wis tenang nang kono" ucap bunda
Aku hanya bisa menangis dengan tangan memegang lututku. Sambil mengusap lembut kepalaku. Lalu aku memeluk bunda dengan erat, tidak tahu lagi harus berkata apa. Perasaanku tak bisa di jelaskan dengan kata-kata.
Dua bulan telah berlalu, aku masih larut dalam kesedihan karena kepergiannya.
'Tok tok tok'
Suara ketukan pintu dan salam terdengar dari luar. Terdengar suara orang berbincang di ruang tamu. Aku tidak ambil pusing dengan itu. Tiba-tiba bunda masuk ke kamar, mengajakku ke luar untuk menemui seseorang itu.
"Umi" aku mencium tangannya dan memeluknya dengan erat.
"Piye kabare nduk?"
"Alhamdulillah mi"
"Sini nduk, umi mau bicara. . . " tampak sedikit ragi tapi umi melankutkan perkataannya.
"Nduk Dicky wis tenang, kamu kudu ikhlas. Uripmu yo kudu tetep lanjutno, Dicky yo mesti bakalan gak tenang ndelok kamu ngene nduk" begitulah ucapan yang terdengar dari umi.
"Kamu tetap menjadi anak umi, tapi umi juga tidak ingin kamu berlarut dalam kesedihan. Bukalah hatimu lagi untuk lelaki yang baru".
"Tapi mi. . ." aku hanya menggeleng mendengar permintaan umi.Tidak akan secepat itu melupakan mas Dicky.
"Tidak untuk sekarang ini, mi"
"Umi tidak menyuruh kamu melupakan dia, dan mungkin tidak sekarang, tapi ikhlaskan ya nduk biar dia tenang di alam sana"
"Nggeh mi insha Allah, tapi Tata tetap masih boleh ke rumah kan mi?" umi mengangguk dan memelukku dengan erat.
Nasehat umi aku dengarkan secara seksama, sesekali bunda juga ikut menasehati dan menghiburku.
Aku kembali ke kamar, masih mengurung diri dan tak ingin bertemu siapapun. Sedikit lega setelah mendengar nasehat umi dan bunda, tapi hatiku belum bisa menerima sepenuhnha kenyataan ini.
**
"Yah, bagaimana ini? Sudah 2 bulan ini Tata tidak mau keluar kamar. Badannya saat ini semakin kurus, bahkan bunda tidak pernah mendengar tawa dan keusilannya lagi. Bunda khawatir keadaan psikisnya semakin memburuk" ucap bunda sambil berderai air mata melihat aku hanya mengurung diri di kamar.