"Yah, bagaimana ini? Sudah 2 bulan ini Tata tidak mau keluar kamar. Badannya saat ini semakin kurus, bahkan bunda tidak pernah mendengar tawa dan keusilannya lagi. Bunda khawatir keadaan psikisnya semakin memburuk" ucap bunda sambil berderai air mata melihat aku hanya mengurung diri di kamar.
🔹🔹🔹
"Bunda yang tenang ya, ayah juga sedang berusaha bund cari jalan keluar. Tapi jalan satu-satunya kita harus membawanya menemui psikiater bund" balas ayah yang tak kalah sedih dengan bunda
"Tapi yah, apa tidak terlalu berlebihan?"
"Tidak ada jalan lain bund" ucap ayah sambil memeluk untuk menenangkan bunda
Bunda menahan tangisnya tidak rela melihat putri kesayangannya depresi, tapi mengiyakan saran ayah untuk membawaku ke psikiater.
Karena kekahawatiran mereka, aku hampir di bawa ke psikiater untuk memeriksakan kejiwaanku. Tentu saja mendengar pembicaraan mereka, aku takut mereka menganggapku terganggu kejiwaannya. Pelan-pelan aku mecoba keluar kamar, mulai berkumpul bersama ayah ibu dan sesekali berbicara dengan mereka meski masih dalam suasana duka. Melihat aku yang mulai bangkit mereka sedikit lega dan membatalkan niatan untuk membawaku ke psikiater.
"Aku tidak bisa seperti ini terus, lebih banyak di rumah pasti ingatan itu kembali menghantuiku. Aku harus menyibukkan diriku" gumam Yumna di dalam kamarnya.
Yumna menggelar sajadahnya dan menunaikan shalat dua rakaat, membaca alqur'an serta memohon ampun pada Allah.
"Ya Allah ampuni hamba Mu, mencintai makhluk Mu hingga sedalam ini. Hamba ikhlaskan dia pergi, hamba tahu engkau lebih menyayanginya."
Masih sesenggukan, Yumna melanjutkan do'anya.
"Aku tahu semua adalah milik Mu dan akan kembali kepada Mu, kuatkan hatiky menerima cobaan dari Mu, kuatkan langkah kakiku untuk berjalan, semoga aku selalu ikhlas menerima ketentuan Mu"
"Jika harta ini engkau ambil sebab membuat aku lebih dekat pada Mu, aku ridho ya Allah. Dan jika engkau memanggilnya lebih dahulu pertanda engkau menyayanginya, maka buatlah aku rela menerima ketentuan Mu bahwa kelak engkau akan mempertemukan dengan pilihan Mu"
Keadaanku sedang tidak baik-baik saja, beberapa bulan setelah kepergian Dicky perusahaan ayah juga hampir bangkrut. Ayahku dengan susah payah membangun perusahaan dari nol, sekarang hampir bangkrut karena penipuan rekan bisnisnya.
Aku sedang dalam titik terendah dan orang yang sangat menyayangiku pergi tanpa sepatah katapun, beruntung aku mempunyai sahabat yang ku kenal dari kuliah selalu ada untukku. Ya, Fahri hampir setiap minggu datang ke rumah untuk menghiburku meskipun dia sibuk bekerja. Dia bahkan masih rela menghiburku meski aku berkali-kali menolak cintanya. Dia masih menjadi pendengar yang baik saat aku membutuhkannya, dan bersedia memberi bahu untukku bersandar.
Tak tega melihat kedua orangtua ku bersedih, aku memberanikan diri meminta izin kepada ayah dan bunda untuk mencari pekerjaan.Selain keadaan keuangan keluarga yang memang sedang tidak baik, aku juga harus menyibukan diri agar terlupa dengan kisah piluku.
Akhirnya ayah dan bunda mengizinkanku merantau ke kota Surabaya untuk bekerja.
⏩⏩ Back
Yumna masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunda dan Raffli memerhatikan Yumna yang tidak menyentuh makanannya, bahkan ketika bunda memanggilnya berkali-kali tidak ada jawaban.
" Ta " suara bunda mengangetkan lamunan Yumna.
"Eh iya bund, bagaimana?"
"Apa yang kamu pikirkan nduk? dari tadi bunda tanya kamu diam saja" Yumna hanya menggeleng.
"Bunda tanya, apa kamu mau ke RS lagi? kamu gak capek? kamu yakin kuat di RS?"
"Iya bund, Tata sudah gak papa kok insha Allah" Yumna berusaha meyakinkan bunda.
"Ya sudah bunda titip salam ya buat mama, dan sampaikan bunda belum bisa jenguk Arsya"
Yumna lalu mencium dan memeluk bundanya dengan erat. Yumna dan Raffli kembali ke RS dengan membawa masakan Yumna dan beberapa buah segar.
Sepanjang perjalanan ke RS, mereka berbincang banyak hal. Hari ini adalah hari menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi Yumna. Satu sisi dia bahagia melihat Arsya kembali sadar dan di sisi lain dia teringat luka lamanya.
Sejak 3 tahun kepergian Dicky, Yumna menjadi gadis yang pendiam dan lebih banyak sendiri. Dia menyibukkan diri di dunia khayalannya. Sebenarnya masih ada rasa penasaran dalam hatinya, namun masih belum kuat mendengar kenyataan yang sebenarnya.
Perjalanan kali ini terasa sangat panjang, Yumna masih saja dalam lamunan mengingat masa lalunya.
"Kamu kenapa Ta?"
"Emm " dia hanya menggeleng, dia ragu untuk bertanya
"Mas, Tata mau tanya. . ." dia menarik nafas panjang dan melanjutkan perkataannya. "Mas Raffli bisa ceritakan, apa yang terjadi sama mas Dicky? kenapa mas Dicky meninggal?" tanya Yumna dengan suara parau terdengar hampir menangis.
"Hm kamu yakin Ta?"
Yumna hanya mengangguk mengiyakan. Raffli mulai bercerita bagaimana keadaan mereka di negara konflik itu.
"Dia sangat gembira Ta, tidak sabar menemui kamu. Bahkan di sana dia selalu merindukanmu, dia bahkan sudah mempersiapkan pesta pedang pora untuk kalian. Hari itu kami sudah bersiap untuk pulang ke Indonesia tiba-tiba ada gencatan senjata. Kami melindungi diri dan warga sipil, setelah sedikit aman dia menyuruh kami pergi dan saat dia berjalan menuju kendaraan suara tembakan terdengar. . . " Raffli menghentikan ceritanya
"Kemudian mas?" suaranya parau, Yumna sudah tidak sanggup membendung air matanya.
"Dia tertembak oleh pasukan pemberotak di sana, kami sudah berusaha dengan dokter TNI yang ada namun Allah berkehendak lain Ta"
Yumna tidak tahan menahan air matanya, Raffli merasa tidak tega melihat Yumna menangis. Yumna menutup matanya dengan kedua tangannya, menangis sesenggukan. Raffli mengusap punggung Yumna untuk menenangkannya.
"Andai Tata tau bakal seperti ini, Tata nggak akan izinkan mas Dicky mas"
"Sudahlah Ta, ikhlaskan dia biarkan dia tenang di sana. Dan berbahagialah, buat dia tersenyum. Lakukan apa yang dia wasiatkan sama kamu"
Yumna hanya mengangguk, perasannya tidak bisa di ungkapkan.
"Kamu jangan nangis lagi, nanti Arsya kira aku ngapa-ngapain kamu Ta"
"Iya mas, Allah lebih sayang sama dia"
Beberapa saat kemudian mereka sampai di RS. Yumna langsung masuk ke ruang perawatan Arsya. Arsya yang sedang diduk di ranjang pasien dan membaca buku tersenyum dengan kedatangan Yumna. Sedangkan di luar sana Salsa tampak kesal dengan Raffli.
"Loh mas kok nggak istirahat malah baca buku?"
"Kamu sudah datang? ini juga dari tadi istirahat. Habis bosen, nunggu kamu lama banget si"
Arsya menjawab tapi dengan masih dengan membaca bukunya. Karena merasa di abaikan, Yumna menutup buku yang sedang di baca oleh Arsya.
"Maaf sayang, nanggung" dengan muka memelas.
Yumna tidak menghiraukan Arsya, masih sibuk membuka masakannya.
"Aa mau yang itu" Yumna memberikan kepada Arsya tanpa menoleh
"Tapi maunya di suapin sama yang bikin"
"Manja" sambil menyuapi Arsya yang sedang menunggu makanannya
"Kan mas lagi sakit, lagian jarang-jarang kamu mau suapi mas" Yumna menyuapi Arsya tanpa berkata apapun. Arsya merasa bingung dengan sikap Yumna kepadanya.
"Kamu kenapa sayang"
"Mas itu ya, bikin khawatir saja. Yumna sudah bilang mas enggak usah jemput, tapi maksa dan lihat sekarang"
Arsya tersenyum dan memegang tangan Yumna untuk menenangkannya.
"Sudah kamu jangan sedih lagi, kan mas masih di sini"
"Tapi mas nggak tau kan perasaan Yumna kaya apa, mas dua minggu nggak ada kabar. Pas taunya ada kabar ternyata mas nggak sadarkan diri" sambil menyeka air matanya.
Melihat kesedihan di wajah Yumna, Arsya meminta maaf dan kemudian mengusap air mata Yumna.