"Kayaknya quote ini cocok buat lo, Fay. Ya itu pun kalo ini bisa dibilang quote."
"Apaan?"
"Selektiflah dalam memposting foto di social media. Seseorang di luar sana mungkin saja menyimpan bahkan mengoleksi fotomu. Dengan banyak alasan dan juga banyak kemungkinan, apalagi bagi yang punya rasa. Karena seperti yang kita ketahui, kebanyakan orang kalau suka itu stalking, bukan talking."
Chesta menyudahi ucapannya sambil mengangguk sok bijak. Sontak ketiga pasang mata yang lain menatap cewek itu dengan pandangan melongo. Terlebih lagi Fayra. Ia yang dari tadi duduk anteng sambil mainin ponsel, lekas merasa tertohok.
Chesta ini benar-benar deh. Iya, dia tahu quote itu lagi pas sama dia. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu lebih memilih memainkan sosmednya, tahu benar apa maksud Chesta. Setelah memesan makanan di kantin ini, sambil menunggu, ia dari tadi lihatin ponsel mulu. Sontak hal itu membuat Chesta mengeluarkan celetukannya.
Dia emang dari tadi buka-buka sosmed untuk lihatin foto-foto Regan yang ada di instagram. Senior itu memang tidak terlalu banyak mengepost foto, tapi setidaknya cukup untuk membuat Fayra mantengin akun ig tersebut. Udah bagus Regan aktif di instagram tersebut, jadi bisalah ia sedikit mengeluarkan ilmu stalking-nya.
"Terkadang omongan lo benar juga, Ches," timpal Sisil sambil tersenyum mengejek ke Fayra.
"Kamfret ya kamu. Ya tapi meskipun berat diakui, omongan lo benar, Ches," sahut Fayra sambil nyengir. "Tapi gue cuma liatin fotonya doang kok. Gak macem-macem."
"Iya gak macem-macem, tapi Cuma satu macem yaitu nyimpen foto itu di galeri. Benar, kan?" Kali ini Dira yang bersuara.
"Nah Dira tahu banget tuh," ucap Fayra yang masih memasang cengirannya.
"Iyalah," sahut Dira malas, lalu kembali ia menatap sekeliling kantin yang padat ini. Saat pandangannya bertemu dengan ibu penjaga kantin yang mengantarkan pesanan mereka, ia yang semula menopang kepala dengan sebelah tangan di atas meja, menjadi menegapkan badannya. "Tu makanannya udah nyampe. Makan dulu, entar lagi ngestalk-nya."
Fayra pun menyimpan ponselnya ke dalam saku. Untuk beberapa saat mereka mulai sibuk dengan makanan masing-masing, tapi kemudian suara Sisil kembali terdengar.
"Fay, lo kemaren enak banget. Di saat kita semua lagi sakit dan sibuk, lo malah pedekate sama Regan. Rasa kebersamaan lo kurang nih," cibir Sisil pura-pura bete.
Mengingat kejadian kemarin kembali membuat Fayra jadi senyum-senyum lagi. "Ya kan gue juga nggak nyangka bakal kayak gitu. Kak Regan makin baik ke sini," ujarnya sambil tersenyum lebar. Lalu setelahnya ia pasang muka judesnya, "Pret kebersamaan. Yang namanya rezeki jangan ditolak."
"Eh tapi terus lo sama Rivay gimana, Fay?" tanya Chesta setelah menelan nasi gorengnya.
Fayra mengerutkan dahi sekilas. "Sama Rivay?" Ia berpikir sejenak sebelum menajwab. "Ya gak gimana-gimana."
"Rivay kan naksir sama lo dodol," timpal Sisil.
"Tapi gue sukanya sama Kak Regan," balas Fayra.
"Ah lo beruntung banget sih ditaksir Regan. Lo apain dia emangnya, Fay?" tanya Chesta kemudian.
"Gak gue apa-apain. Dasar emang tu cowok rada-rada. Baru dua kali ketemu udah langsung bilang suka aja," ucap Fayra ketika mengingat kembali kejadian di mana Rivay baru masuk di hari pertamanya di sekolah ini.
"Terus habis dia bilang kayak gitu, dia ada bahas apa-apa lagi gak?" tanya Sisil menuntut jawaban.
Fayra termenung sesaaat. Lalu menggeleng pealan. Ah iya benar juga ya. Tu cowok abis seenak udelya bilang suka, ya udah gak ada bilang apa-apa lagi.
"Tuh orangnya baru masuk ke kantin," tunjuk Dira dengan dagunya ke arah segerombolan siswa yang baru melangkah memasuki kantin.
Fayra sempatkan untuk menoleh ke belakang. Benar, di sana ada Rivay dan beberapa cowok lain yang tidak terlalu Fayra kenal. Sambil berjalan, terlihat mereka mengobrol seru, lalu Fayra arahkan kembali pandangannya pada Rivay. Dari semua teman-temannya yang asyik saling melontar kata, hanya Rivay yang tetap diam sambol berjalan, tidak ikut-ikutan ke dalam obrolan tersebut.
Fayra tersentak saat sadar kalau ia tertangkap basah oleh salah satu dari kawanan itu. Orang yang berjalan di samping Rivay ini menangkap tatapan Fayra yang tertuju pada Rivay. Menyadari itu, dengan cepat Fayra tolehkan kembali kepalanya ke depan.
"Eh eh kok mereka jalan ke arah sini, Fay?" tanya Sisil yang melihat mereka berjalan seperti ingin menghampiri meja mereka.
Fayra bergerak gelisah. Duh kenapa kok tiba-tiba mau ke sini sih? Apa ini karena ia tadi ketahuan sedang mengamati Rivay? Fayra tidak berani lagi menoleh ke belakang. Ia diam sambil terus berpura-pura fokus memakan baksonya.
"Iya, Fay. Mereka jalan makin dekat ke sini," timpal Chesta dengan berbisik.
Kok Fayra jadi gugup gini sih? Duh biasa aja dong. Iya maunya sih gitu, tapi entah kenapa reaksi tubuhnya malah lain. Dia tiba-tiba jadi salah tingkah begini. Badannya rasanya mendadak kaku.
"Halo, calon sepupu ipar."
Fayra jelas tersentak kaget saat sebuah suara berat terdengar begitu dekat di telinganya. Mau tak mau Fayra gerakkan matanya untuk melihat. Dan makin kaget saat sadar siapa yang mengucapkan kalimat itu. Cowok di sebelah Rivay yang tadi rupanya berucap seperti itu.
Cowok itu berujar dengan santai sambil berhenti sesaat di samping Fayra. Lalu tanpa menunggu reaksi Fayra, ia kembali lanjutkan langkah mengikuti kawanannya yang terus berjalan mencari tempat kosong di sekitar mereka. Belum cukup sampai di situ, Fayra melihat Rivay yang berada di samping cowok tadi melempar senyum padanya. Dan sama seperti cowok yang tidak Fayra ketahui itu, setelahnya Rivay juga berjalan begitu saja melewatinya.
"Apa katanya tadi, Fay?" tanya Chesta cepat setelah mereka sudah cukup jauh.
Fayra tersadar dari keterkejutannya, kemudian menggeleng dengan gugup. "Ah bukan apa-apa kok. Itu cowok yang di samping Rivay tadi siapa sih?"
"Lo gak tau? Dia itu Dani, sepupunya Rivay," Sisil yang mengambil alih untuk menjawab. "Gue kira mereka mau nyamperin kita, eh rupanya enggak hehe."
Oh... sepupu. Pantas saja dia tadi bilang begitu. Lalu detik selanjutnya Fayra menggerutu dalam hati. Pantas aja tingkahnya aneh, sepupuan sama Rivay sih. Hah gak Rivay-nya, gak sepupunya, sama-sama aneh bagi Fayra.
***
Ruang kelas XI IPA 3 mendadak hening sejak beberapa saat yang lalu. Semua murid yang ada di sana mengatupkan mulut rapat-rapat dengan pandangan yang dipaksa fokuskan ke buku yang terpampang di meja masing-masing. Hal ini karena Bu Dalimah –guru matematika mereka– memberi sebuah soal trigonometri yang ribetnya membuat kepala mereka nyut-nyutan.
Hanya satu soal, tapi sanggup membuat yang semula berisik menjadi diam seketika. Jelas saja mereka terdiam sambil berpura-pura fokus mencari jawabannya, ya berpura-pura fokus katena nyatanya mereka tidak tahu soal macam apa ini. Jenis soal ini bisa dibilang jenis soal untuk olimpiade, berbeda jauh tingkat kerumitannya dengan yang diajarkan di kelas. Bisa dipastikan sebagaian besar murid menggerutu dalam hati kenapa Bu Dalimah memberikan soal ini.
Mereka juga diam, tidak berani membuka suara. Hal ini karena kalau ada yang berani membuka mulut membuat keributan, orang tersebut pasti akan ditunjuk Bu Dalimah untuk maju ke depan mengerjakan soalnya. Karena mereka tidak bisa mengerjakan, jadi hanya mampu diam saja sambil berharap ada yang bisa mengejarkan atau Bu Dalimah menyerah dan mengerjakan sendiri soal tersebut.
Fayra juga sedari tadi hampir sama seperti yang lain, diam di tempatnya, Tapi ada bedanya, dia tidak hanya diam bengong-bengong saja. Ia sibuk mengerjakan soal itu. Namun sayangnya, sudah hampir satu lembar kertas ia corat-coret untuk mencari jawaban, tetap saja ia belum mendapat hasilnya. Fayra bingung sendiri soal ini mau dikerjakan dengan cara apa.
Keheningan kelas itu terpecah saat Rivay mengangkat tangan kanannya sambil berucap, "Bu, saya mau coba mengerjakan soalnya."
Bu Dalimah mengangguk sekilas, mempersilakan.
Rivay pun segera maju ke depan kelas dengan santainya. Semua mata di kelas ini terperangah melihatnya. Terlebih lagi Fayra. Ia mengikuti pergerakan cowok itu hingga sampai ke depan papan tulis. Saat Rivay mulai menuliskan jawabannya di papan putih itu, Fayra sibuk mengoreksi apakah jawabannya dengan Rivay sama. Beberapa langkah awal memang ada yang sama, tapi selanjutnya bisa dibilang jawabnnya cukup ngawur, melenceng jauh dari apa yang dituliskan Rivay.
Beberapa menit berada di depan, Rivay akhirnya selesai mengerjakan. Semua pasang mata menatap Rivay dan Bu Dalimah bergantian, menunggu reaksi dari guru tersebut. Bu Dalimah berjalan mendekat dan mengoreksi jawaban Rivay. Keheningan kembali melanda kelas itu.
Muka serius Bu Dalimah dan juga tampang meyakinkan dari Rivay menjadi pusat perhatian mereka sekarang. Rivay masih berdiri di sana, menunggu kepastian apakah jawabannya benar atau tidak. Tapi menurut sepengatuannya, seharusnya jawabannya benar. Soal ini sudah pernah ia temui saat ia belajar soal-soal yang ada di buku kumpulan soal yang sering ditemui di olimpiade.
Bu Dalimah meneliti dengan cermat jawaban Rivay. Lalu setelahnya, ia tersenyum senang. "Bagus, jawabnnya benar."
Kelas mendadak jadi riuh akan berbisik-bisik membicarakn Rivay. Bukan kali ini saja Rivay bisa mengerjakan soal sulit yang diberikan guru. Beberapa waktu lalu cowok itu juga bisa mengerjakan soal tersulit dari pr kimia mereka. Di mata mereka, nilai plus terhadap Rivay semakin bertambah.
Fayra dibuat terperangah akan hal itu. Kalau begini, bisa-bisa peringkat Rivay bisa di atasnya. Ternyata cowok aneh ini mempunyai otak yang cerdas juga.
"Kok lo pintar banget sih?" ucap Fayra langsung saat Rivay sudah kembali ke tempat duduknya.
Rivay menatap Fayra dengan mengangkat salah satu alisnya. "Huh?"
Fayra tergagap sendiri. Ia keceplosan langsung bilang begitu. "Ah, ehm maksudnya kok lo bisa gitu ngerjain soal yang sulit kayak gini? Karena lo mampu ngerjainnya, ya bisa dibilang cukup pintar, kan?" Ia segera membenahi kata-katanya.
Rivay tersenyum kecil. "Ya karena gue sadar, Fay, selain kemampuan otak, apalagi yang bisa gue andalin?"
Fayra mencibir. Rivay mengucapkan hal tersebut seolah-olah ia mempunyai tampang di bawah rata-rata aja. "Lo kan punya tampang yang bagus." Ups, lagi-lagi Fayra tidak bisa menahan omongannya.
"Tampang aja gak cukup buat hidup, Fay."
Mendengar kalimat tersebut, lagi-lagi Fayra dibuat terperangah. Cowok ini... tumben-tumben bersikap bijak