Hari ini dua tahun setelah kecelakaan yang menewaskan Harsya, aku menaburkan mawar di atas pusara Harsya. Kesedihan selalu saja menyergapku setiap ingatan tentang Harsya membayang di benakku. Harusnya aku sudah menjadi istrinya sekarang kalau saja kecelakaan itu tidak merenggutnya. Aku menghapus air mata yang menetes di pipiku. Setelah kematian Harsya, aku merasa ada yang hilang dalam hidupku, aku membenamkan diriku dalam kesibukan dengan bekerja di sebuah klinik dan menutup diri dari yang namanya laki-laki.
Sebuah tangan mengelus bahuku dengan lembut, itu adalah tangan mama Harsya. Perempuan setengah baya itu mengusap pipiku kemudian memelukku. Dia bahkan lebih tegar dariku sekarang meski saat mengetahui kematian putra tercintanya, dia pingsan berkali-kali.
"Sudah satu tahun sejak kepergian Harsya, kamu harus mencari pengganti Harsya, Nak. Mama gak tega melihatmu sedih setiap hari. Ayo move on! Cari pengganti Harsya dan beri mama cucu!" mama mencoba menghapus sedihku.