Tapi lebih kepada perasaan tidak nyaman yang selalu ia rasakan setiap kali ia menaiki kendaraan umum ini. Tak hanya karena ia tidak suka jika harus mengalami kepanasan dan berdesakan dengan sejumlah orang yang tak dikenal.
Tapi ia juga kelap kali mendapatkan beberapa tatapan tak mengenakkan dari sejumlah penumpang yang juga berada dalam satu transportasi dengannya. Mereka cenderung menatap Monica dari atas hingga ke bawah. Dan tentunya, Monica tahu apa arti dari tatapan mereka itu dan selalu mencoba untuk mengabaikannya.
Seperti saat ini, saat ada beberapa siswi yang terus melemparkan tatapan penuh minat ke arahnya.
"Hei lihat! Deabak!! Bukankah wanita yang ada di sebelah sana itu sangat cantik?" seru salah seorang diantara siswi pada temannya yang lain.
Siswi itu mengunakan kata 'deabak' yang dalam bahasa korea berarti hebat, luarbiasa, atau kata lainnya yang mengartikan ketakjuban atau kekagumannya.
"Yang mana?" tanya salah seorang temannya yang lain sambil mencari-cari sesosok yang dimaksud temannya itu.
"Itu loh... yang berdiri dengan highheels dan berambut panjang bergelombang warna coklat sedikit kemerahan itu. Kalian lihat, bahkan pakaiannya itu juga terlihat sangat mahal. Dan lihat tasnya itu, itu pasti adalah salah satu merek tas ternama dan limited. Apa aku tidak salah lihat?"
"Darimana anak smp sepertimu bisa tahu mana barang yang mahal?"
"Tentu saja aku tahu karena aku pernah lihat itu di majalah. Kau tahu 'kan aku suka sekali membaca majalah fashion?"
"Ya, ampun! Serius wanita yang itu? Apa aku tidak salah lihat wanita secantik dan sekeren itu naik busway sendirian? Ow... lihat gayanya. Dia benar-benar sangat cantik dan anggun! Aku belum pernah melihat ada wanita sekeren itu dalam busway yang pernah aku tumpangi,"
"Apa dia seorang artis?" tanya salah seorang yang lain.
"Tidak-tidak. Jika dia seorang artis, dia pasti sudah akan menutupi wajahnya dengan penutup masker. Dan lagi aku juga belum pernah melihatnya di tv."
"Apa dia model?"
"Bisa jadi. Liat tinggi badannya itu? Dia patut untuk masuk ke dalam salah satu agensi terkenal yang ada di Indo. Lihat pakaiannya itu. Aku yakin tidak akan ada pakaian yang tidak bagus, jika sudah ia kenakan."
"Uhmm... dia benar-benar terlihat seperti artis korea. Cantik, manis dan bening. Apa kalian berpikir aku berlebihan dalam mendeskripsikannya?"
"Tentu tidak. Bahkan dia lebih cantik daripada itu,"
"Tapi, apa kalian tidak merasa kalau wanita ini sedang mengenakan busana wanita kantoran masa kini? Sangat stylist dan waw,"
"Jadi dia bukan artis atau model, tapi seorang wanita karir?"
"Waw, jika ada wanita karir sekeren itu. Aku juga mau jadi seperti dia,"
"Aku juga,"
Monica berusaha mengabaikan semua bisik-bisik itu dengan menatap keluar jendela. Rasanya ia ingin sekali menenggelamkan dirinya masuk dalam jubah yang ia kenakan sekarang agar tidak ada seorangpun yang bisa memperhatikannya.
Ia tahu dirinya memang sangat cantik. Dan dia juga tahu bahwa dirinya juga punya bentuk tubuh yang hampir seluruh wanita yang ada di muka bumi ini dambakan. Belum lagi dengan kepintarannya dalam memadupadankan setiap pakaian yang ia kenakan.
Semua itu membuat dirinya terlihat sangat berkilau diantara sejumlah kerumunan orang-orang biasa. Tidak heran jika itu menyebabkan ia sering mendapatkan pandangan mata dan perhatian dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Padahal hari ini ia sudah sengaja mengenakan coats yang panjang untuk menutupi pakaiannya yang mencolok. Dan ia sengaja hanya mengerai begitu saja rambut panjangnya tanpa menambahkan aksesories apapun yang sekiranya akan menarik perhatian.
Tapi memang dasar anak-anak zaman sekarang. Mereka cenderung lebih cepat dan peka terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penampilan, fashion dan mode.
Tapi.. tidak bisakah anak-anak yang masih dibawah umur ini, jika ingin menggosipkan seseorang, apalagi bila orang tersebut itu berada di dekat mereka, setidaknya mereka bisa mengecilkan sedikit volume suara mereka dan mengurangi sejumlah tatapan yang terus ditunjukkan padanya?
Syukurlah karena suara pintu busway terbuka tepat ketika Monica melihat nama tujuannya tertera di monitor busway. Dengan langkah cepat, ia berjalan keluar dan melewati kembali palang pintu keluar halte dan melesatkan dirinya menjauh dari kerumunan siswi tadi dengan perasaan lega.
Setelah berhasil melewati beberapa anak tangga dan jalanan yang sedikit berbelok, ia akhirnya sampai di restoran tempat ia dan Daddy-nya janjian untuk bertemu.
***
Restoran De Luna.
Itu adalah salah satu restoran terkenal, yang bukan hanya karena harganya yang mahal, tapi juga karena rasanya yang sangat luar biasa. Semua rasanya itu setimpal dengan harga yang akan dibayar. Karena itu tempat ini sering menjadi tempat favorit bagi sejumlah pebisnis dan petinggi lainnya untuk mengadakan perjamuan makan dengan para kolega atau kerabat dekat mereka yang lain.
Seperti halnya Monica yang kelap kali juga melakukan beberapa meeting dan makan siang atau makan malam di restoran ini.
Dan ia juga yakin Daddy-nya pasti sengaja membawanya kemari karena ia tahu restoran ini adalah restoran terfavoritnya. Hampir semua menu yang ada di restoran ini merupakan kesukaan Monica sejak lama karena menurutnya ini adalah salah satu restoran terbaik yang pernah ia kunjungi.
Monica tidak tahu bagaimana pemilik restoran ini bisa begitu handal dalam merekrut sejumlah koki yang sangat berbakat dalam menyajikan setiap menu yang ada di dalam daftar menu makanan mereka. Ia bahkan tidak tahu bagaimana semua koki itu bisa begitu telaten dan hebatnya dalam memasak.
Bahkan jika diingat kembali, ia dulu bahkan sampai pernah sempat berpikiran untuk menawari salah seorang atau beberapa koki dari mereka itu untuk bekerja di rumahnya.
Tapi, karena ia merasa itu terlalu berlebihan dan tidak diperlukan mengingat semua pekerja yang ada di rumahnya itu telah direkrut semua dengan sangat baik oleh Kakek, maka Monica mengurungkan semua niat penuh minatnya itu dalam-dalam.
Ya, ia tidak bisa seenaknya saja memberhentikan salah satu koki yang ada di rumahnya hanya untuk memuaskan keinginan pribadinya sendiri. Atau ia juga tidak bisa seenaknya menambahkan orang untuk bekerja padanya di rumah tanpa persetujuan dari Kakek.
Bisa dibilang Kakek punya rasanya sendiri soal makanan. Ia sangat mengutamakan kesehatan dan gizi dari makanan itu sendiri. Dan itu kelap kali menjadi perdebatan antara dirinya dengan Kakek, karena mereka berdua memiliki selera makan sangat jauh berbeda. Atau bahkan sangat bertolak belakang.
Jika ia sangat menyukai sepiring udang penuh mayonaise dengan campuran wasabi di dalamnya, kakek justru sangat tidak menyukai itu. Atau sebaliknya, jika Kakek sangat menyukai semangkuk sup tomyam dengan sedikit racikan bumbu khusus, Monica justru tidak menyukainya.
Karena itu, begitu Daddy mengajaknya untuk makan di sini, Monica sudah membayangkan berbagai macam menu yang akan membuat air liurnya meneteskan dengan tanpa henti.
***