Entah bagaimana mengungkapkannya...
Minggu itu aku yang sedang asyik ber-Wifi ria di salah satu kafe sambil menikmati secangkir coklat dingin... sendiri.
Tidak lama aku sedang berinternet ria, aku mendengar suara dari meja belakang tempat aku berinternet dengan laptopku.
"Maukah kau jadi pacarku?"
"Tidak!"
Baru saja aku mendengar suatu percakapan orang menembak pasangannya namun ditolak seketika dan tanpa ragu.
Terlebih hal yang menarik perhatianku adalah...aku mengenal suara pemilik percakapan tersebut.
Irina dan Tito adalah pemilik suara tersebut. Kami saling tidak melihat satu sama lain karena ada bilik yang membatasi setiap meja sehingga tidak dapat melihat orang yang berada di meja seberang.
"Ahahahaha... buset. Langsung ditolak seketika aku ini. Boleh tahu alasan kenapa kau menolakku?"
Tito yang tertawa terbahak-bahak membuatku kesal.Ia seakan tidak serius dalam menembak seseorang.
"Aku suka sama seseorang."
Jawaban Irina terlalu ketus sampai aku ragu kalau dirinya beneran Irina atau bukan.
"Dan siapakah pria yang beruntung tersebut?"
"Rangga."
Irina menyebut namaku, ia menyebut namaku tanpa ragu.
"Rangga? Rangga teman masa kecil kita? Hah...apa bagusnya dia itu? Kau tahukan dia itu suka sama Rika? Belum lagi dia itu tidak menyadari perasaanmu sama sekali."
Brengsek. Apa-apaan ini Tito tiba-tiba menjelek-jelekkanku?! Namun apa yang ia katakan benar.
Aku sama sekali tidak sadar sampai Irina sendiri yang menembakku waktu itu.
"Aku menghargaimu sebagai teman sejak kecil. Kumohon jangan menjelekkan orang yang aku suka!"
"Iya, maaf maaf."
Baru kali ini aku mendengar Irina berkata dengan nada intimidatif seperti itu. Ia benar-benar marah ketika mendengar seseorang menjelek-jelekkanku.
"Seperti yang sering aku ceritakan padamu. Aku pertama berkenalan dengan Rangga sebelum dirimu. Aku sudah suka sama Rangga sejak kecil. Dia satu-satunya temanku ketika aku dijahili ketika SD. Ia membelaku meskipun akhirnya dia luka-luka dan kena hukum guru karena berkelahi. Ia sama sekali tidak menyesal menolongku. Ia sama sekali tidak peduli dengan cibiran anak-anak lainnya karena selalu dekat denganku. Dan ketika aku menangis karena merasa bersalah atas semua derita yang ia alami waktu itu... Rangga mengelus rambutku sambil berkata..."
Aku mendengar Irina berhenti dan mengambil nafas kemudian.
"Ibuku selalu bilang kalau laki-laki harus kuat karena nantinya ia akan melindungi orang yang ia kasihi. Aku dan Irina kan adalah tetangga dan temanku. Jadi aku harus menjadi orang yang kuat untuk menolong Irina. Kita temenan kan?"
Irina berkata seakan hafal benar apa yang aku ucapkan saat itu. Aku sendiri bahkan tidak begitu ingat. Tapi ya... aku pernah berkata begitu padanya. Aku yang waktu itu hanya merasa dia sebagai teman biasa dan kini aku...merasakan ada yang berubah dalam hatiku.
"Sekali lagi aku katakan, untuk sementara ini aku tidak punya niat untuk menghilangkan rasa sukaku pada Rangga."
"Meskipun Rangga suka sama Rika?"
"Iya... aku akan berusaha mencuri hati Rangga sebelum ia menembak Rika dan sebaliknya!"
"Dan kalau seandainya ia berhasil menembak dan diterima oleh Rika?"
"Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu itu."
"Bagaimana menurutmu...Rangga?"
"!!!"
"..."
Sudah kuduga, Tito tahu aku sedang nguping. Lebih tepatnya, dengan pintarnya ia telah menjebak Irina dan menyarankan kafe ini. Aku tidak yakin ini adalah rencana untuk membuatku baikan pada Irina, karena semua kesalah pahaman itu sudah jelas sewaktu Irina menembakku lalu.
Oh iya, darimana Tito tahu kalau aku sedang nongkrong di café ini?
Ah, entah… itu sudah tidak penting lagi.
Arah rencana Tito cukup baik bagiku, dan mungkin lebih menguntungkan bagiku karena bisa mendengar pengakuan paling berani dari Irina.
Aku yang sudah tidak tertarik untuk menggunakan laptop untuk main internet segera merapikannya dan beranjak menuju bangku di belakangku.
"Ra-Rangga...!"
Irina terlihat kaget melihatku datang dan segera menunduk malu. Ia yang selamainitidak aku lihat langsung, begitu tegas tiba-tiba ciut dan menjadi pemalu kembali. Ia kembali menjadi Irina yang aku kenal.
"Maaf, aku tadinya tidak ada niat mencuri dengar."
"Mungkin sebaiknya aku pergi. Maaf kalau aku terkesan menjebakmu Rangga, Irina."
"Entahlah Tito. Aku tidak bisa marah padamu karena aku sendiri masih bingung darimana kau mendapat info bahwa aku berada di café ini, tapi aku kaget kau bisa membuat jebakan selicik ini."
"Ahahaha... tidak usah pusingkan hal itu. Kan aku sudah janji mau buat agar kau bisa baikan dengan Irina. Cukup bayarkan bill-ku. Dah"
Sebenarnya sih aku dan Irina sudah baikan sejak insiden Irina menyatakan perasaannya waktu itu, tapi sepertinya ia tidak tahu dan tetap berusaha membuat situasi seperti ini.
Seraya pergi secara terburu-buru, ia memberikan bill-nya padaku.
"Rp. 100.000. Ahahahaha..."
Bangsat kau Tito... Itu bukan jumlah sedikit untuk dompet anak SMA! Tapi biarpun begitu... aku bisa mendengar suara hati terdalam seseorang yang telah sangat-sangat lama menaruh rasa padaku. Jadi kurasa harganya pas… meski berbunga bagai bunga rentenir.
Mengenai bagaimana caranya aku bisa melunasi bill ini bisa aku pikirkan nanti
"Uuuu"
Irina langsung menunduk dan menempelkan wajahnya di meja yang dilapisi oleh kedua lengannya. Ia pasti syok karena aku mendengar semua percakapannya.
"Aku malu..."
"Maaf."
"Aku tidak tahu kalau Rangga suka nguping."
"Maaf"
"Aku sangat benci Rangga."
"Maaf"
Hening...
"Yang barusan aku tidak serius...Aku tidak benci Rangga."
"Aku tahu, aku tetap minta maaf."
Perlahan Irina bangkit dan menatapku dengan muka masih merah. Rambutnya yang tidak dikuncir justru membuatnya makin manis dan cantik. Dan mendengar semua percakapan tadi, membuat Irina semakin cantik... Ummm mungkin terkesan aneh, tapi Irina memang entah kenapa terlihat amat manis dengan wajahnya yang terlihat amat malu seperti ini... Super MANIS!!
Merasa tidak punya alasan untuk berlama-lama di kafe, aku mengajaknya pulang. Irina tampak ragu, tapi kali ini aku sedikit memaksakannya agar ikut denganku. Perasaanku kayak gimana gitu karena menggenggam tangannya yang halus dan kecil. Seperti ini ternyata tangan Irina, gadis yang menyimpan rasa suka padaku.
Pada perjalanan pulang di sekitar kompleks tempat kami tinggal,aku dan Irina berjalan bersama. Sepanjang perjalan pulang dari kafe, tidak ada satupun dari kami saling bicara.
"Seandainya aku menembak Rika dan diterima, apa yang akan kau lakukan?"
Irina terdiam mendengar pertanyaanku... Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku...akan...menyerah."
Bulir itu tidak sempat jatuh karena aku menghapusnya dengan sapuan lembut jariku.
"Kurasa kau tidak akan sedih...karena kau baru saja berhasil mencuri hatiku."
Irina terdiam dan menatapku...Sekali kedipan mata dan jatuhlah semua air mata tersebut.
Aku memeluknya hendak menahan air mata tersebut agar tidak jatuh ke ketanah dan menyimpannya di hatiku bersama seluruh perjuangannya.
"Syukurlah... Syukurlah... Aku... Aku berhasil... Akhirnya aku berhasil... Uuuuu... huuuu."
Bersama tangisan tersebut, beban dan rasa khawatir itu telah hilang dari dada Irina. Ia begitu mencintaiku dengan tulus sehingga rasa sukaku pada Irina meningkat tajam dan mengalahkan sukaku pada Rika dan dengan itu, takkan kulepaskan lagi Irina dariku.
Ia adalah pemenang yang mendapatkan hatiku.
…
Ah, mengenai bill di café itu… 50% dari total bill di tanggung Irina. Mukaku serasa merah mallu karena hal itu. Sepertinya aku bisa merasakan perasaan malu yang selalu diderita oleh Irina. Aku sungguh menjadi lelaki yang amat tidak keren karena Tito.