Chereads / Me And Psikopat Boy [DEATH] / Chapter 3 - BAB 2 (TRAGEDI)

Chapter 3 - BAB 2 (TRAGEDI)

"Ave, kau harus pergi berlibur denganku dan tak ada penolakan." Abram menatap sahabatnya lekat. Ia tidak menginginkan Avellyn kembali melakukan ritual mengerikan itu.

"Ayolah, Abram. Ayah akan membunuhku jika aku pergi dari pemujaan kali ini." Avellyn mendesah. Ia tak mungkin melawan kehendak ayahnya.

"Aku tak percaya kepada Tuan Besar kalian dan pada Tuhan yang Shu katakan," ujar Abram. 

Avellyn memilih diam. Dia benar-benar tak bisa pergi sekarang. Beberapa menit kemudian, senyum bahagia tersungging di bibir Avellyn. "Abram, aku akan ikut denganmu, jika tugasku telah selesai," ucapnya dengan tatapan yang penuh harap. 

Abram memeluk Avellyn. Gadis yang ia sayangi dan sudah ia anggap sebagai adik. "Ave, jangan terus memaksa dirimu jika kau tak ingin."

"Abram, kadang kita harus berkorban untuk banyak hal. Aku melakukan ini demi melindungi orang-orang yang kusayangi."

Abram menatap Avellyn, dia tak pernah meminta untuk dilindungi Avellyn. Dia tak pernah meminta sahabatnya untuk berkorban. Ruangan yang tadinya luas mendadak terasa sempit.

"Jangan menatapku seperti itu, Abram. Kau membuatku takut."

Abram tak peduli, dia masih menatap Avellyn. Tangannya tak tinggal diam, perlahan terangkat dan membelai surai lembut Avellyn.

"Kau tahu Ave? Aku lebih memilih mati daripada mengorbankan orang yang aku sayangi. Aku tak ingin kau terluka. Kau berhak bebas dan bahagia."

Avellyn terdiam. Gadis berumur dua puluh tiga tahun itu tersenyum canggung. Perlahan wajahnya mendekat dan bibirnya mengecup bibir Abram singkat. "Aku sudah kehilangan satu orang yang paling berharga. Dan aku tak ingin kehilanganmu ataupun Shu."

♣♣♣

Venetian merupakan kasino terbesar di dunia yang berpusat di kota Las Vegas. Kasino ini dimiliki oleh pengusaha Amerika, Xavier Kanae Roulette. Di dalam kasino ini terdapat berbagai macam hiburan yang membuat para pengunjungnya merasa nyaman sehingga enggan untuk kembali ke rumah atau tempat peristirahatan. 

Setiap malam kasino ini selalu ramai dikunjungi para penjudi yang siap mempertaruhkan apa pun demi meraih kemenangan. Bahkan beberapa dari mereka ada yang mempertaruhkan manusia. Pengunjung kasino ini pun bukan hanya berasal dari Amerika atau sekitar kota Las Vegas. Melainkan juga berasal dari berbagai negara.

"Tuan Xavier akan datang malam ini," ucap seorang pria. 

"Tak seperti biasanya. Tuan Xavier pasti ingin membicarakan sesuatu. Cepat siapkan ruangan dan beritahukan hal ini kepada Jack," 

Menjalankan perintah rekannya, pria itu memasuki salah satu ruangan yang berada di lorong sepi.

"Tuan, pertemuan akan diadakan beberapa saat lagi. Apa Tuan ingin kembali ke kamar?"

"Kita akan tunggu di sini. Aku bisa berlibur hari ini dan menikmati kebebasanku. Dia orang yang bertanggung jawab. Berhenti gelisah dan nikmati liburanmu."

"Tuan, Tuan Xavier sudah tiba. Beliau menunggu Anda di ruangannya." 

"Ayo, kita harus segera bertemu Tuan Xavier." Pria tua berdiri dan menatap sang bawahan,  memberi kode agar pria muda yang bersamanya tetap tinggal di tempat.

"Tunjukan jalannya." 

♣♣♣

Avellyn berjalan cepat menyebabkan jubah sucinya terseret di lantai. Di belakangnya hanya ada dua orang. Pemujaan akan segera dilakukan malam ini. Avellyn memegang tanggung jawab sebagai pengganti ayahnya.

"Apa semuanya sudah disiapkan?" ucap Avellyn tak mengalihkan fokus. Ia hanya menatap ke depan dan terus melangkah.

"Sudah, Nona. Para petinggi gereja juga sudah membawa Alkitab suci ke altar persembahan."

Avellyn tak menjawab dan hanya terus berjalan. Ditatapnya pintu besar di depannya. Bayangan masa kecilnya saat pertama kali melakukan pemujaan terlintas di benaknya..Bayangan itu masih terus menghantui dan menjadi mimpi buruknya.

Suara pintu terbuka. Avellyn kembali melangkah dan terfokus pada persembahan di atas altar. Seorang gadis remaja dan seorang gadis kecil berumur tujuh tahun kini terikat dalam posisi berdiri. Mereka menatap Avellyn seakan ingin berteriak, tetapi mulut dibungkam kain hitam.

"Buka kain yang menyumpal mulut mereka. Tuan Besar Lucifer akan senang jika mereka berteriak kesakitan." Ucapan Avellyn menggema di dalam ruangan. Para abdinya terlihat patuh melaksanakan tugas.

"Kau gila! Lepaskan kami! Kau iblis!" Teriakan penuh kutukan itu sudah biasa Avellyn dengar dan ia tak terpengaruh. Matanya hanya menatap tajam kepada kurban persembahan.

"Sudah selesai? Apa masih ada kata yang ingin kalian ucapkan?" tanya Avellyn. Ia menatap gadis remaja yang balas menatapnya tajam. Ia tahu ada banyak kebencian di tatapan itu. Namun, dirinya tak bisa berbuat apa-apa.

Air liur itu mengenai wajah cantik Avellyn. Bukannya marah Avellyn justru tersenyum. Ini hukumanku, kenapa kalian diam? Maki aku, sumpahi aku, katakan kebencian kalian padaku, batin Avellyn.

Avellyn menatap gadis kecil yang hanya diam. Kenapa anak sekecil ini yang harus menjadi kurban? Kenapa dia tak bisa melindungi banyak orang?

"Nona, bayi yang disediakan Tuan Bill akan menjadi penutup pemujaan."

Apalagi sekarang. Bahkan bayi tak berdosa terlibat dalam permainan ayahnya. Apa yang akan terjadi jika terus seperti ini. Lagi, sebagai pemimpin pemujaan dia harus memakan jantung dan hati para kurban persembahan. 

'Hidupmu buruk Ave, bahkan kematian tak cukup untuk menebus dosamu.' Avellyn memaki dirinya. Ia hanya bisa menahan sesak di dadanya. 

"Kita lanjutkan!" titah Avellyn. Ia tak ingin mengulur waktu lebih lama. 

♣♣♣

Abram sangat gelisah. Beberapa saat lalu dia jelas mendengar kabar tak baik. Ia seharusnya tahu apa yang dipikirkan pria tua bangka itu. Namun, sekarang? Jangankan mendengar, mengetahui apa yang akan terjadi saja, ia tak bisa.

Abram meraih ponselnya di saku celana. Mencoba menghubungi Avellyn yang membuatnya gelisah sedari tadi. Namun, panggilannya tak juga dijawab. Seandainya dia tahu tempat pemujaan tersebut, sudah pasti ia akan menyeret gadis kesayangannya itu pergi. Tuan Bill sangat ahli dalam menyembunyikan markasnya dari orang lain. Bahkan, para bawahannya tak bisa melacak tempat tersebut.

"Motherfucker!" Abram menendang pintu kamarnya. Dia benar-benar kesal saat ini. Lagi, ia menghubungi Avellyn, tetapi jawaban yang ia dapat tetaplah sama. Pria itu memutuskan pergi. Membuka pintu rumahnya dan keluar dari sana tanpa memikirkan banyak hal.

Rumah besar Keluarga Deiden, hanya itu yang ia pikirkan. Ia ingat janji yang dibuatnya saat kecil. Sumpah setianya kepada seseorang. Ia rela meninggalkan keluarganya hanya untuk tugas besar itu. Membawa keberhasilan dan berharap semuanya akan menjadi indah. Namun, berita kematian membuatnya ingin berkhianat. Sekarang semua tak akan sama seperti dulu. 

Abram membuka pintu mobil dan masuk. Tangannya masih bermain di layar ponsel. Ia terus menghubungi seseorang. Akhirnya kesabarannya membuahkan hasil saat panggilannya tersambung.

"Kau di mana!?" 

"Venetian."

♣♣♣

Avellyn berdiri tegak dengan belati yang berada di tangannya. Bayi malang masih terbaring di atas meja besar dengan Alkitab Suci yang berada di dekat Avellyn. Masih terbayang jerit sakit saat gadis remaja dan gadis kecil tadi tewas di tangannya. Tatapan yang penuh kebencian dari mereka menambah daftar rasa sakit di hatinya. Avellyn memejamkan mata, diangkatnya tinggi belati tersebut. 

"Malam darah, malam bagi Raja. Malam berdarah penyebar bahagia bagi sang Penguasa umat. Lucifer Yang Mulia. Lucifer Raja bagi umat manusia. Kami datang membawa sesembahan bayi laki-laki. Lambang manusia serakah tanpa sadar dari mimpi. Lambang Mesias palsu penuh dosa."

Dua tusukan belati Avellyn sematkan di dada si bayi. Saat ia membuka mata, cairan bening keluar dengan sendirinya. Ia menunduk, menatap bayi malang yang menjadi kurban kekejaman dunia. Avellyn membelai pipi merah itu yang kini perlahan menjadi pucat. Kaki Avellyn bergetar hebat, bahkan ia tak sanggup berdiri. Avellyn terjatuh dan semua orang terdiam.

'Ave, kau benar-benar iblis yang nyata,' maki Avellyn dalam hati. Rasanya begitu sesak sampai ia tak bisa menyembunyikan kesakitannya lagi. Avellyn menarik napasnya dalam seraya memukul dadanya.

"Nona, Anda harus melanjutkan upacara penyembahan," ujar salah satu petinggi Sixcross.

Avellyn menatap tubuh bayi yang sudah pucat itu. Rasanya begitu mual. Ia sudah memakan jantung dan hati dua orang gadis dan kini ia harus melakukan hal yang sama kepada bayi di depannya.

Avellyn berdiri, menatap lekat pada wajah si bayi. Dia menunduk merasa bersalah, 'Aku mohon, maafkan aku. Aku akan menebus dosaku di neraka. Maafkan aku.'

Tangan Avellyn membelah dan menguliti tubuh bayi kecil di depannya dengan belati. Ia menatap organ-organ di tubuh si bayi yang ukurannya sangat kecil. Tulang-tulang itu masih lemah. Bayi itu bahkan tak sempat melihat dunia yang begitu indah nan mengerikan.

Avellyn meraih jantung dan hati. Ditatapnya agak lama. Dengan cepat Avellyn memasukan organ dalam itu ke dalam mulutnya. Dia tak peduli akan tersedak. Inilah makanan wajibnya setiap bulan. Dia sudah seperti binatang, ia benar-benar menjadi iblis.

"Sembah pada Yang Mulia Lucifer. Kalian boleh memulai jamuan kasih. Aku akan pergi," perintah Avellyn melangkah pergi. Semua orang kini bersama pasangan mereka masing-masing. Avellyn memejamkan matanya saat suara desahan menjijikkan terdengar bersahut-sahutan. 

Perjamuan kasih adalah saat para jemaat Sixcross melakukan hubungan badan. Mereka akan berpesta bersama untuk merayakan pemujaan yang berhasil dilalui. Avellyn tak berniat mengikuti, ia merasa dirinya terlalu berharga dan tak pantas mengikuti pesta itu. Ia melangkah cepat-cepat. Orang-orang bahkan sudah membuka jubah mereka dan bertelanjang tanpa malu. Mereka saling menjamah satu sama lain, bahkan ada pula yang bercinta dengan sesama jenisnya.

'Kapan semuanya berakhir? Apa hanya kematian yang bisa membuatku damai? Ibu, aku merindukanmu.' Avellyn menundukan kepala. Ia hanya bisa mengeluh dalam hati. 

Beberapa kali panggilan terdengar. Orang-orang memintanya untuk ikut dalam jamuan kasih atau hanya melihat perjamuan itu berlangsung. Namun, Avellyn hanya diam dan terus melangkah. 

"Ave, kau akan ke mana?" 

"Ke ruanganku,"  

♣♣♣

Shuxio masuk ke toilet pria. Buru-buru dia meraih ponsel di saku celananya. Dia menelepon seseorang dan berharap orang tersebut tidak berada dalam bahaya. Rasa khawatir menghampirinya.

"Kita harus cepat," ucap Shuxio langsung.

"Ya, aku tahu. Tapi, bisakah kau membantuku sekarang? Ini genting!"

"Kau koki paling manja yang pernah kukenal!" ujar Shuxio. Pria Jepang itu bersandar di dinding dan menatap ke arah kaca.

"Oh, ayolah, bodoh. Jangan bicarakan sesuatu yang menyinggung perasaanku sekarang."

"Bisakah kau diam? Asal kau tahu, aku merasa sedang diawasi." Shuxio menatap ke arah pintu masuk toilet. Bayangan orang di luar sana tampak dari lantai yang mengilap. "Aku mohon, apa pun yang terjadi, kau harus selamat!"

"Dengar, aku akan menjemputmu! Tetaplah bertahan. Gadis dungu itu akan mencincangku jika kau terluka."

"Abram, jangan selamatkan aku. Aku berada di sarang mereka. Aku percaya kau bisa menjaga Avellyn. Katakan kepadanya aku sangat menyayanginya." Shuxio mematikan sambungan telepon lalu menarik napas panjang.

Keputusannya sudah bulat. Apa pun itu dia sudah siap, walaupun kematian yang menjadi jaminannya. Ia tidak akan membiarkan Avellyn menjadi pelindungnya lagi. Ia akan berusaha menyelamatkan Avellyn. 

"Kalian mencariku?" Ucapan itu terlontar dengan mudah dari bibir Shuxio. Pria Asia itu tak mendengar suara siapa pun. Namun, dia cukup yakin ada yang berniat jahat kepadanya. Kakinya perlahan mendekati pintu. Shuxio menatap ke arah lantai, tetapi bayangan di sana menghilang.

Shuxio keluar dari toilet dan bergegas mencari orang yang ia sebut sebagai majikan. Dia tak menemukan apa pun. Namun, hanya ada satu yang dia tahu sekarang, dirinya telah menjadi santapan predator.

Shuxio memegang dadanya, peluru baru saja bersarang di sana dan membuat dirinya kesakitan. Darah mengotori tangan putihnya. Kepalanya terasa pusing dan ia jatuh tak sadarkan diri. 

"Bawa dia. Mage akan senang mendapatkan mainan baru."

♣♣♣

Abram menatap cemas ponselnya. Pria berumur dua puluh sembilan tahun itu memilih pergi ke rumah Avellyn. Dia harus mulai mencari Avellyn dan membawa gadis itu pergi. Ia khawatir Shuxio berada dalam bahaya. 

Abram memasuki pekarangan rumah milik keluarga Deidenbell, setelah itu keluar dari mobilnya. Dia harus berhati-hati. Karena meskipun Avellyn terlihat bebas, tetapi tak ada yang tahu bahwa ada sepuluh orang penembak jitu yang mengawasi Avellyn.

"Mencari siapa anak muda?" Seorang pria tua berdiri di depan Abram dengan tatapan penuh selidik.

Abram balas menatap Tuan Bill. Biasanya akan ada Shuxio di sekitar pria tua bangka itu. Namun, di manakah Shuxio sekarang?

"Mencari Shuxio? Dia sudah berada di neraka." Tuan Bill melemparkan beberapa lembar foto kepada Abram dan sebuah map berwarna merah.

Abram meremas foto di tangannya sesaat setelah melihatnya. Baru saja Abram ingin berdiri, tetapi sebuah pistol kini membidik kepalanya, membuat Abram hanya bisa terdiam.

"Selama kalian masih bersama Avellyn, maka kalian harus dimusnahkan."

"Lelaki tua keparat!" 

Di tempat lain, mata Avellyn tak bisa lepas dari layar ponselnya. Ia memindai video yang dikirimkan ayahnya. Kedua sahabatnya mati dan semua ini karena ayahnya. Tiga orang yang begitu ia sayangi kini telah pergi dan kini ia sendirian.

"Ibu Merina, Abram, dan Shuxio. Selanjutnya siapa lagi?" Bibir Avellyn bergetar, ia ketakutan. Entah siapa lagi yang akan ayahnya kurbankan. 

'Avellyn, pulanglah!'

Bisikan itu terdengar. Avellyn menutup telinganya, tetapi ia masih bisa mendengar dengan jelas.

'Jangan membangkan, Ave. Atau kau ingin para pelayanmu menjadi kurban?'

"Jangan!"

'Maka pulanglah!'

Dengan berat hati Avellyn mengemudikan mobilnya. Ia memutar arah dan mengemudi secepat yang ia bisa. Kepalanya terasa begitu sakit, bahkan darah segar keluar dari hidungnya.