Xavier menatap wajah cantik Avellyn. Beberapa saat lalu mereka baru saja tiba di mansion mewah miliknya. Xavier menyadari satu hal, sulit untuk menahan diri saat ini. Tubuh Avellyn tertutup selimut tanpa mengenakan apa pun di dalamnya. "Kau akan mendapat hukuman." Xavier menatap gemas Avellyn yang masih saja menutup mata. Tak ingin menyiakan kesempatan, Xavier membuka laci meja di kamarnya.
Wajah Xavier menyeringai jahat saat melihat apa yang dicarinya. Tak menunggu lebih lama Xavier meraih jarum suntik dan cairan obat di botol kecil. Xavier meletakkan kedua benda tersebut di atas meja dan kembali mencari benda lainnya.
Ia kembali dengan dua borgol dan dua potong tali dalam ukuran panjang. Dengan sabar, Xavier mengikat kedua kaki Avellyn di tiang ranjang. Xavier beralih ke tangan Avellyn dan memborgolnya di tiang ranjang. Ia benar-benar akan menghukum Avellyn.
Setelah selesai, Xavier meraih jarum suntik dan obat. "Welcome, Dear," ujar Xavier. Pria itu memilih duduk menunggu reaksi obat. Ia membakar rokok lalu menghisapnya perlahan.
Hari telah menjelang siang. Avellyn bangun dan merasa kepanasan. Ia menatap ke segala arah dan dia tak bisa menggerakan tangan dan kakinya. Avellyn bahkan berbaring dengan posisi membentuk huruf X.
"Panas." Avellyn memejamkan mata menahan rasa panas yang menyiksa. Dia merasa ingin menyentuh bagian-bagian tertentu pada tubuhnya, tetapi tangan dan kakinya terpasung. Avellyn mendesah. Tubuhnya benar-benar ingin disentuh. Dia membayangkan adegan percintaan di video yang pernah Abram perlihatkan. Buah dadanya mengeras. Bagian kewanitaannya terasa gatal.
Xavier masuk ke kamar menatap Avellyn yang menggigit bibirnya sendiri. Peluh mengucur deras, membuat kulit Avellyn terlihat mengilat. Xavier benar-benar menyuntikkan obat perangsang dalam dosis besar pada gadis di depan matanya.
"Tuan." Avellyn mendesah. Tubuhnya gelisah dan bergerak tak keruan.
Xavier tersenyum menatap Avellyn. Ia mati-matian menahan gairahnya. Dia harus memberi pelajaran kepada Avellyn dan membuat gadis itu kuat dalam menerima rangsangan. Ia benar-benar ingin menjadikan Avellyn budaknya. Gadis itu benar-benar langka bahkan bisa digunakan sebagai mesin pembunuh.
"Tolong!" Mata Avellyn menatap Xavier penuh permohonan dan serat akan nafsu berahi yang memuncak.
"Bagaimana, Bell? Apa itu nikmat?" Pertanyaan Xavier membuat dirinya mendapat tatapan tajam dari Avellyn. Gadis itu bergerak bagai cacing kepanasan di atas ranjang. Matanya terpejam lalu terbuka kembali. Bibirnya mendesah dan sesekali kalimat makian terdengar. Suara Avellyn terdengar serak menahan berahi dan itu sangat menyiksa. Xavier menatap kewanitaan Avellyn yang kini basah dengan cairan hangat yang terus mengalir dari sana tanpa henti.
Avellyn merintih sambil menutup matanya saat merasakan sentuhan di selangkangannya. Terasa begitu nikmat dan memuaskan. Tidak, ini tak cukup. Dia ingin lebih dan lebih. Dia ingin dimasuki dan dimanjakan.
Xavier menyeringai. Diambilnya cambuk lalu memukulkannya pada tubuh Avellyn.
Avellyn mendesah pasrah. Dia merasa cambukan itu tak cukup memuaskan. Bahkan ia tak merasakan sakit, yang ada hanya rasa geli. Dia merasa ingin dicambuk lagi.
"Memohonlah, Bell. Kau harus berlaku sebagai budak." Xavier kembali memainkan cambuknya. Dia sangat puas saat Avellyn tersiksa. Ia puas saat memberi cambukan pada tubuh Avellyn.
"Tuan, aku mohon." Avellyn memohon kepada Xavier. Dia ingin pria itu menyentuhnya dan memasukinya.
"Memohonlah untuk keuntunganmu, Sayang." Suara Xavier kembali terdengar. Bahkan suaranya menggelitik Avellyn dan membuat Avellyn mendesah pasrah.
Xavier meletakkan handycam di atas meja dan membuka pakaiannya. Ia bergerak menindih tubuh Avellyn. Dijilatinya bagian leher dengan tangannya yang bermain di payudara Avellyn.
Avellyn meracau menyuruh Xavier meneruskan kegiatannya. Dia tak bisa bergerak dan hanya menikmati. Sedangkan Xavier, terus menjilat leher dan beralih ke bagian dada Avellyn. Digigitnya gemas bagian itu lalu dijilat.
"Panggil namaku, Bell. Daddy. Desahkan nama itu!" Xavier kembali menjilat tubuh Avellyn. Tangannya sangat lihai memainkan daerah selangkangan Avellyn.
"Xavier," desah Avellyn memenuhi ruangan.
"Panggil aku, Daddy, dan kau akan mendapatnya." Xavier terus menggoda Avellyn menyentuhkan tangannya ke kewanitaan Avellyn dengan kasar. Jari telunjuk masuk dan benar saja terasa penghalang di sana. Xavier menyeringai. Dia benar-benar mendapat mainan bagus dan langka.
"Dad." Avellyn terus mendesah, memohon pertolongan dari Xavier.
"Wait, Baby. Kita lakukan dengan perlahan." Xavier tersenyum. Suara seraknya menggoda dan membuat semakin Avellyn terbakar. Sentuhan, remasan, jilatan, bahkan tusukan dari jemari Xavier terasa semakin nikmat.
"Please, Daddy." Avellyn memejamkan matanya, Xavier tak juga mengabulkan permintaan Avellyn.
Xavier memilih bangun dan menatap Avellyn. Gadis itu menatapnya penuh permohonan. Sedikit terkekeh Xavier menatap kewanitaan Avellyn. Perlahan dia menjilatnya dan memasukkan lidahnya sambil meraba paha dalam Avellyn.
Avellyn kembali mendesah, tetapi Xavier tak juga peduli. Pria itu lebih senang menyiksa Avellyn. Tubuh Avellyn benar-benar menggoda dan dia tak rela melepaskan mainannya itu untuk sekarang. Kembali Xavier menjilat dan mengecup kewanitaan Avellyn. Cairan berwarna bening keluar dan Xavier langsung memasukkan dua jarinya. Memaju mundurkannya perlahan, dia menikmati desahan Avellyn.
Pintu terbuka, Nero masuk dan melihat tingkah Xavier. "Astaga, seharusnya aku membawa yang lain," ujar Nero. Xavier sama sekali tak peduli, dia hanya menikmati permainannya.
Setelah merasa cukup, Xavier kembali menindihi Avellyn. Avellyn memandang Xavier lagi penuh permohonan.
"Sa-sakit," ujar Avellyn penuh kesakitan.
Xavier memasuki Avellyn dengan kasar, menikmati hangatnya surga milik Avellyn. Darah mengalir dan Xavier merasa luar biasa bangga mendapat keperawanan Avellyn. Perlahan Xavier memaju mundurkan pinggulnya dan matanya menatap Avellyn. Gadis itu benar-benar tersiksa, bahkan Xavier harus berusaha mengimbangi pinggul Avellyn. Dia sangat kagum pada kekuatan Avellyn.
Nero yang merasa bosan keluar, dia terlalu malas melihat kelakuan Xavier.
"Katakan, kau ingin apa dariku, Bell?" tanya Xavier.
"Puaskan aku. Aku mohon, Daddy."
Xavier tersenyum, ia langsung mengentak dengan kasar. Avellyn hanya bisa mendesah dan menikmati. Xavier benar-benar memuaskannya, bahkan rasa sakit di tubuhnya tak terasa, semua berganti dengan nikmat.
"Lica," desah Xavier.
Avellyn menarik napas. Semburan sperma di rahimnya terasa begitu hangat. Beberapa kali ia harus mengatur detak jantungnya. Merasakan kepuasan untuk kali pertama, membuatnya ingin terus mencoba. Pengalaman pertamanya begitu menegangkan. "Tuan," panggil Avellyn pelan.
Xavier mantap Avelly. Rambut putihnya basah oleh keringat, tubuhnya terasa begitu lelah.
"Bisakah, bisakah kita …" ucapan Avellyn terpotong. Kejantan Xavier kembali masuk ke lubang kewanitaannya.
Pria itu menyeringai. "Kita lanjutkan, Dear."
♣️♣️♣️
Xavier sedang menikmati makanan di sore hari yang cukup dingin. Ia duduk bersama wanita-wanita cantik, para jalangnya. "Kalian harus berteman baik dengan Bell. Dia adalah budak kesayanganku sekarang."
"Ada apa denganmu, Caline?" tanya Xavier saat mengetahui ada seorang yang memandangnya tak terima. Dia tahu wanita itu cemburu dan Xavier sama sekali tak peduli. Sejak awal ia sudah mengatakan tak ada cinta dalam kerajaan haremnya.
"Maafkan saya, Tuan." Caline merunduk. Dia berada dalam bahaya jika sampai Xavier tahu emosinya saat ini.
"Aku tak ingin ada keributan di sini." Xavier kembali berucap. Pria itu memotong daging di piringnya. Pisau kecil yang digunakan terlihat tajam.
"Kami mengerti, Tuan," jawab para wanita itu serentak.
Xavier tersenyum. Dia sudah selesai dengan acara makannya. "Siapkan makanan untuk Bell. Aku menunggu di kamar. Ingat, jangan memancing emosiku!" Ia berdiri, lalu melangkah pergi.
"Shit!" Caline mengumpat pelan. Dia benci kepada Avellyn. Bahkan Xavier memberi nama panggilan sayang kepada gadis baru itu. Adanya Rose saja sudah merepotkan, kini ditambah dengan Avellyn. Caline marah karena Avellyn mendapat perlakukan yang baik dari Xavier. Bahkan kamar tidur pribadi Xavier di mansion diberikan kepada Avellyn. Sedangkan dirinya hanya mendapatkan kamar tidur biasa.
"Jangan berbuat hal gila, Caline. Kau akan mati jika mengganggu Bell. Dan jangan lupa segores saja kau melukai wanita itu, maka kau akan berakhir di laboratorium Tuan Nero." Rose menatap Caline. Ia cukup tahu jika Caline bukanlah wanita yang berwatak baik.
"Kita lihat saja nanti." Caline melangkah pergi dan tak memedulikan pandangan teman-temannya.
"Rose, aku khawatir Caline akan gegabah dan memancing amarah Tuan Xavier," ujar Lexy.
"Aku akan mengurusnya. Kalian jangan pernah terpengaruh rencananya." Rose berjalan pergi.
♣♣♣
Xavier masuk ke kamarnya. Pandangan matanya jatuh kepada wanita yang masih terlelap di atas ranjang. Sedikit rasa puas, tetapi ada juga rasa sesak karena berbohong kepada gadis kesayangannya.
Xavier menarik napas dan memilih duduk bersandar di sofa empuk di sudut ruangan. Tangannya memegang bagian mata kirinya dan membuka eyepatch yang selalu ia gunakan. Ingatan tentang kejadian itu terulang, begitu nyata bahkan membuat mata kirinya terasa berdenyut.
Suara ketukan pintu mengakhiri lamunannya. "Masuk!"
Pintu terbuka. Seorang pria tampan berjalan masuk dan duduk di hadapan Xavier. "Papa menunggumu Xavier." Deto memberikan amplop berwarna cokelat kepada Xavier. "Dia memintamu datang besok." Deto melanjutkan ucapannya. Deto berdiri dan menatap ke arah Avellyn yang sedang memejamkan mata. "Aku khawatir. Sepertinya wanita itu berbahaya untukmu, Xavier."
"Dia hanya budak. Lica adalah cinta sejatiku, Deto." Xavier menatap Deto, meminta pria itu keluar dari kamarnya. Dia hanya ingin menikmati beberapa budaknya sebelum bertemu Lica yang dicintainya.
Sepeninggalan Deto, Xavier membuka amplop. Terdapat sebuah kertas dan dua lembar foto Avellyn. Dia cukup kagum saat membaca informasi data pribadi Avellyn. Selanjutnya, Xavier mengalihkan pandangannya pada dua foto yang berhasil didapatkan orang kepercayaannya. Walaupun telah menyelidiki organisasi itu, tetapi tak ada satu pun hasil yang didapatkan. Xavier masih perlu banyak berpikir bagaimana cara mengungkap semua informasi tentang Sixcross. Ia telah memiliki Avellyn dan ia akan berusaha menggali semua informasi dari wanita itu.
Xavier menatap wajah Tuan Bill pada salah satu foto itu. Pria tua itu juga memiliki rambut yang sama sepertinya. Dia jelas saja tak pernah bertemu Tuan Bill secara langsung. Ia hanya tahu bahwa beberapa waktu lalu Tuan Bill menemuinya di Venetian dan meminta bantuannya. Xavier menyeringai, beruntung baginya karena Deto selalu ada dan bersedia menyamar sebagai dirinya.
Suara ketukan pintu terdengar sekali lagi. Seorang wanita sedang berjalan masuk. Dengan cepat, ia menutup mata kirinya menggunakan eyepatch.
"Tuan, saya membawa makanan untuk Bell."
"Letakkan di meja dan segeralah keluar!"
Wanita tersebut meninggalkan Xavier yang masih memandangi foto dan berkas di tangannya. Xavier memijat keningnya. Kepalanya sering sakit akhir-akhir ini. Banyak hal yang harus ia korbankan demi kasus Avellyn atas perintah ayah angkatnya.
Avellyn membuka mata, menatap langit-langit kamar mewah milik Xavier. Baru saja dia ingin bergerak, tetapi selangkangannya terasa sakit. Tubuh Avellyn juga terasa hancur.
"Kau sudah bangun, Bell." Xavier menyeringai menatap Avellyn di tepi ranjang. Dia senang karena Avellyn benar-benar memuaskannya. Rasanya dia tak akan bosan bercinta dengan wanita barunya.
"Makan atau kau akan menjadi bahan percobaan Nero!" titah Xavier menatap wajah datar Avellyn. "Kau tak perlu memintaku menghabiskan mereka. Itu sudah menjadi tugas baruku. Termasuk dirimu," ujar Xavier sambil menyeringai
Avellyn tak menjawab, wanita itu hanya diam. Dia memang wanita dingin, tak tersentuh, dan pembunuh.
"Jika kau setuju, ka …"
"Ya," jawab Avellyn memotong ucapan Xavier.
Xavier menatap Avellyn, tak menyangka akan menemukan boneka hidup lainnya.
"Habiskan makananmu. Aku akan keluar dan menemui jalang-jalangku." Xavier membiarkan Avellyn sendiri.
Avellyn menatap datar makanan yang diberikan Xavier. Dia merasa hidupnya seperti manusia yang lain. Tak ada darah di dalam gelas, tak ada potongan tubuh manusia di makanannya. Rasa haru itu menyeruak membuat Avellyn menangis dalam diam.
Ave, kau tak ingin pulang? Kau ingin ayah menghancurkan mainan barumu?
Avellyn kembali mendengar bisikan sang ayah, mati-matian ia tak menanggapi. Sendok yang Avellyn pegang terlihat bergetar, kepalanya terasa begitu sakit.
Ave, pulanglah! Atau ayah akan membunuh semua orang di dekatmu! Ingat pelayanmu, Sayang."
"Tidak! Hentikan!"
Mereka akan mati, Ave.
"Jangan!"
Pulang atau mereka mati.
Avellyn memejamkan mata. Tubuhnya bergetar melawan perintah ayahnya. Mangkuk dan sendok terjatuh. Avellyn menggenggam erat tiang ranjang dan berdiri sambil menutup mata.
Berdiri, Ave, lalu pergi! Bunuh siapa saja yang menghalangimu, Sayang.
Tangan Avellyn melemparkan gelas kaca di dekatnya dan bahkan menendang meja di hadapannya. Tubuh Avellyn menggelepar, menahan diri untuk tidak menuruti perintah sang ayah.
Berdirilah, Sayang. Kau harus menuruti Ayah.
Pintu kamar terbuka, para mafioso menatap Avellyn yang berjalan di atas pecahan gelas. Wanita itu terlihat begitu tersiksa.
Bunuh!
Avellyn menggelengkan kepala. Bisikan sang ayah terus menggema. Avellyn mencoba berhenti, tetapi ia tak bisa. Napasnya terasa sesak dan tulangnya dipaksa untuk bergerak.
Bunuh mereka!
"Tidak!"
Para mafioso masih berjaga menatap Avellyn yang kini bergerak cepat. Wanita itu meraih pistol yang ada di atas meja. Avellyn tak peduli pada kakinya yang tertancap kaca.
Avellyn menyeringai saat suara tembakan terdengar. Wanita itu berdiri tegak dan menatap tajam para mafioso.
"Hentikan!" teriak Xavier. Ia menatap Avellyn yang balas menatapnya. Ada banyak hal yang tak bisa Xavier mengerti, ia begitu bingung.
"Xavier Kanae Roulette. Kau merebut keperawanan anakku!" teriak Avellyn.
Xavier menatap Avellyn tak mengerti dengan ucapan wanita itu. Bola mata Xavier tertuju pada kening Avellyn. "Aku mengerti sekarang," ujar Xavier. Pria itu dengan cepat menyerang Avellyn, berusaha melumpuhkan wanita itu dan memasung Avellyn di kamarnya. Ia harus mendiskusikan hal ini dengan Nero lalu memanggil Candy dan Bear.
Beberapa jam kemudian, suara tembakan terdengar dari arah kamar tidur Xavier. Tembakan Nero berhasil melumpuhkan Avellyn dan membuatnya jatuh tak sadarkan diri.
"Budak yang cukup menarik," ujar Nero. Ia melempar pistol di tangannya lalu meraih pisau di balik pakaiannya. Tembakan tadi hanya obat bius ringan, beruntung saja Xavier memanggilnya beberapa jam lalu.
"Dia sungguh merepotkan. Kau harus memanggil teman-teman geniusmu untuk menangani wanita ini." Xavier menarik napas. Ia terengah dan menatap kamar tidurnya yang kini hancur berantakan.
"Kau mengingat gadis gila berkaca mata tebal itu lagi?" tanya Nero.
"Kudengar dia menjadi ketua agen rahasia NIS. Apa itu benar?" Xavier balik bertanya dan menatap Nero.
"Kita tunggu waktu yang tepat. Aku tak sabar melihat siapa di antara kalian yang berhasil memenggal kepala orang itu." Nero mengangkat tubuh Avellyn dan meletakkannya di atas ranjang.
"Semanis apa buah ceri itu sekarang?"
"Xavier, terakhir aku bertemu dengannya ia sudah begitu cantik. Tapi, ia semakin gila," jawab Nero.