Chereads / Calon Imamku (Tamat) / Chapter 82 - Episode 83

Chapter 82 - Episode 83

ZEM Corporation

Deretan angka serta nama-nama orang yang telah melakukan kecurangan dalam perusahaan menyita perhatian Tanvir, rahangnya mengeras begitu dirinya mendapatkan teguran dari Zein, sebagai seorang CEO dirinya dianggap lalai dalam menjalankan tugas.

"Kenapa bisa ada pengeluarkan 5000$ tidak jelas seperti ini? Rupanya mereka menyalah gunakan kekuasaan untuk melakukan tindak kecurangan pada perusahaan ini. Jangan-jangan ini karena menganggap Kak Zein itu terlalu baik hingga mereka berani berbuat curang." Iris kecoklatan tersebut memandang sinis saudaranya yang sekarang duduk di sofa ruang kerjanya.

Zein melepaskan kacamata miliknya, ia tersenyum tipis menanggapi ucapan Adiknya. Pria itu meletakkan berkas di tangannya, lalu bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju meja kerja sang Adik.

Iris safir itu menatap rendah Tanvir."Bukankah Kakak mempercayakan perusahaan ini padamu? Kau sendiri yang ingin menjadi CEO di sini, kau juga menjadi CEO di ZTM. Kalau ada kesalahan seperti ini, bukankah aku harus meminta pertanggung jawaban darimu?"

Tanvir mendongak menatap sang Kakak, ia membalas ucapan itu dengan senyum sinis."Aku memang CEO di sini, tapi aku juga tidak menyangka kalau ada orang yang bisa melakukan kecurangan seperti ini."

Zein mememasukkan ke dua tangan ke dalam sakunya, menyeringai tipis pada sang Adik."Itu satu orang korupsi 5000$, apakah kau tahu? Aku menemukan beberapa orang sudah melakukan kecurangan seperti itu, dengan jumlah yang lebih besar. Tanvir, kau memang Adikku, tapi bukan berarti kau bisa seenaknya. Kalau kau terus seperti ini, sibuk dengan urusan lain, lebih baik kau serahkan saja posisi ini padaku. Aku bisa mencari penggatimu, seorang yang jauh lebih kompeten."

Tanvir tidak terima dengan perkataan Zein, ia bangkit dari tempat duduknya menatap pria itu tajam."Aku akui kali ini aku salah, tapi jangan harap bisa memecatku. Aku tidak mau, lalgipula ... seorang yang bisa sepadan dengan kemapuan ku itu hanya Kakak sendiri. Dengan tubuhmu yang semakin lemah, kau tidak akan bisa mengurus perusahaan. Jadi lebih baik berikan aku kesempatan lagi."

Awalnya berkata sinis tapi berikutnya dia berkata dengan nama memohon dan berharap Zein tidak memecatnya apalagi harus mencarikan orang untuk menggantikan posisinya.

Zein tersenyum, ia mengeluarkan kedua tangannya lalu menepuk bahu sang Adik."Baik, aku akan memberimu satu kali lagi kesempatan. Gunakanlah dengan baik, aku tidak main-main. Kalau kejadian semacam ini terulang lagi, aku akan langsung memecatmu."

Kedua alis Tanvir menyatu, ia mengepalkan kedua tangannya menahan amarah."Terserah kau saja, tapi ... aku juga bisa menggantikan posisimu sebagai Suami bagi Faeyza."

"Itu tidak akan, selama aku masih hidup aku tidak akan pernah membiarkannya bersamamu." Zein menatap Adiknya tajam.

Tanvir hanya mengangkat sebelah alisnya tidak peduli, setelah itu dia kembali duduk di kursi kebesarannya dan memulai mengerjakan kembali berkas yang belum selesai.

Zein menarik nafas panjangm setelah itu ia membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan ruang kerja sang Adik, ia lupa kalau tadi Faeyza meminta dijemput.

Universitas Madangkara ...

Faeyza menunggu dengan gelisah di depan gerbang, duduk di teras menunggu kedatangan sang Suami, hampir 1 jam namun pria tersebut belum juga datang. Berulang kali melihat ponsel, tapi tidak ada pesan dari pria tersebut.

"Apa Maz Zein bohong? Aku sudah menunggu hampir 1 jam, aku yakin jarak antara perusahaannya Maz Zein tidak akan sampai memakan waktu 1 jam. Apa mungkin dia lupa?"

Wajah gadis itu sudah cemberut seperti kertas usang."Lebih baik aku telpon Maz Zein saja, siapa tahu dia lupa. Aku sudah kelaparan pula."

Faeyza segera mengambil ponsel miliknya lalu menghubungi sang Suami, tak beberapa telpon tersebut telah tersambung.

"Maz, kok Maz belum sampai? Katanya tadi mau menjemputku?! Aku sudah menuggu berjam-jam di depan kampus."

Zein menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya, ia sungguh lupa kalau tadi sang Istri meminta untuk dijemput, sekarang Wanita itu sangat marah padanya dan itu semua karena dirinya tidak tepat waktu.

"Iza, Maz minta maaf ya? Sekarang Maz akan langsung menjemput Iza."

"Baiklah, aku akan menuggu Maz di depan pitu gerbang." Faeyza segera mematikan sambungan telponnya setelah mengatakan kalimat tersebut. Rasanya kesal sampai di ubun-ubun, ia kepalaran dan ingin makan tapi sang Suami belum juga datang. Tak sengaja matanya melihat warung bakso, bibir yang tadi cemberut kini kembali tersenyum.

"Lebih baik aku makan bakso saja, sambil menunggu Maz Zein. Aku harus minta maaf padanya atas sikapku tadi pagi, juga sikapku tadi malam. Sebagai Istri, aku harus mendukungnya bukan justru bersikap tidak sopan terhadapnya."

Wanita itu bangkit dari tempat duduk lalu pergi menuju warung bakso tersebut, siang hari tidak terlalu ramai meski juga ada beberapa orang yang datang berkunjung untuk makan. Faeyza mendekati pemilik warung bakso untuk memesan dua mangkuk bakso.

"Mbak, aku pesan dua mangkuk. Mienya kasih yang banyak, pentol kecilnya juga yang banyak."

"Baik, Mbak."

Faeyza tersenyum senang, ia mencari tempat duduk dekat jalan raya agar bisa menikmati udara segar, dia segera mendudukkan diri di kursi tersebut sambil menunggu baksonya datang.

Tak lama kemudian, Zein datang. Pria itu seakan sudah tahu bawa dirinya ada di warung bakso, tanpa bertanya pada siapapun langsung masuk dan berjalan menuju mejanya.

Bakso juga datang, penjual itu dengan ramah menyerahkan dua mangkuk bakso di atas meja setelah itu meninggalkan meja tersebut.

Faeyza menarik satu mangkuk bakso lalu menyerahkannya pada sang Suami."Ini untuk Maz, maaf semalam dan tadi pagi aku sudah tidak baik padaMaz."

Zein tersenyum lembut."Tidak apa, Sayank. Maz mengerti, Maz tidak marah."

Faeyza tersenyum, ia sangat beruntung karena memiliki seorang suami yang sangat baik."Terimakasih, aku tadi lapar. Jadi aku sengaja memasan bakso terlebih dulu, Maz tidak marah bukan?"

"Tidak, Istriku. Maz tidak marah, Maz juga lapar. Ayo kita makan bersama," balas Zein..

Faeyza mengangguk, ia meraih caos lalu mengeluarkan isinya di atas mangkuk berisi bakso.

Lalu meraih kecap dan hanya setetes mirip bunga, tak lupa menaruh sambal sangat banyak.

Zein tercengang melihat selera makan sang Istri, bakso mirip darah seperti itu bagaimana rasanya?

"Sayank, itu bagaimana rasanya?"

"Asam pedas, Maz. Aku sangat suka makan bakso seperti ini, sebenarnya... Aku jarang makan bakso. Aku tak ada uang untuk beli bakso." Faeyza mulai menceritakan tentang masalalunya yang susah, beberapa orang memandang wanita itu iba hingga seorang pria berusia 20 tahun datang menghampiri.

"Mbak, bagaimana kalau Mbak kerja saja sama saya? Kalau untuk makan bakso seperti ini, mbak tidak perlu khawatir. Aku kasih setiap hari."

Faeyza dan Zein mengalihkan perhatiannya pada pria tersebut, sepertinya ada yang salah paham di sini.

"Eh, kak. Maaf ya, tapi itu dulu sebelum aku menikah. Tapi sekarang aku tidak butuh pekerjaan, Suami ku sudah kaya. Jangankan hanya semangkuk bakso, beli sewarungnya juga bisa."

Pria 20 tahun itu mengalihkan perhatiannya pada Zein, ia melihat penampilan pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, setelah itu membalikkan tubuh dengan perasaan malu.