Siang telah berganti malam, Faeyza membantu Fira menyiapkan makanan. Meski telah dibantu beberapa maid tetap saja wanita empat puluh tahun tersebut tidak merasa puas sebelum membuat makanan untuk dirinya sendiri.
Diam-diam Faeyza melirik sang Ibu Mertua, wanita itu terlihat baik-baik saja dan tidak seperti mengalami KDRT, padahal subuh-subuh nangis bombay di depan kamar dan meminta agar dirinya membantu masak karena tubuhnya sakit semua akibat kekejaman sang Suami.
"Ibu."
Fira menoleh sejenak pada menantunya."Faeyza, apakah kamu mau menanyakan tentang KDRT? Paman Maulana bukan seperti itu, tadi dia itu selalu saja menyiksa ku di atas tempat tidur."
Faeyza syok, dia bahkan kaku mendengar ucapan mertuanya, begitu frontal seperti itu adalah sebuah hal yang mudah untuk diumumkan.
Fira cengengesan, wanita tetap seperti anak kecil, polos dan lugu bahkan tidak pernh berpikir yang macam-macam selain bermanja-manja pada suaminya.
"Tapi, tadi subuh Ibu datang ke kamar ku dan Maz Zein. Ibu bilang Ibu sudah dianiaya dan disiksa oleh Ayah," balas Faeyza heran.
"Benar, karena masalah kalian bertiga. Semalaman Ibu diceramahi dan tidak boleh tidur sebelum menyesal dan mengaku salah," jawab Fira santai. Faeyza tercengang dengan sikap mertuanya tersebut, sepertinya Fira adalah orang yang sangat beruntung memiliki Suami yang baik meski terkadang suka jahil dan bercanda pada Istri sendiri.
Gadis itu tersenyum sendiri."Ibu, sepertinya Ayah adalah orang yang sangat baik. Aku sangat iri pada Ibu."
Fira menghentikan kegiatannya, menatap menantunya heran."Bukankah Zein juga sangat baik padamu? Apakah dia pernah bersikap kasar padamu?"
Faeyza menggeleng cepat."Bukan, Maz Zein adalah orang yang sangat baik. Aku hanya khawatir kalau suatu hari nanti, Maz Zein akan berubah padaku."
"Jangan berburuk sangka pada suami sendiri, Zein bukan anak yang seperti itu. Aku adalah Ibunya, aku yang sudah merawatnya. Meski aku bersikap kasar terhadapnya, dia tidak pernah membalas perbuatanku. Bukan karena tidak berani, tapi karena Zein sayang padaku." Tatapan mata Fira sendu ketik menceritakan tentang buah hatinya, anak pertama dari pernikahan itu tidak pernah sedikit pun membantah atau marah sekalipun sudah diperlakukan tidak adil.
Faeyza tertegun, ternyata di balik sikap seorang Ibu yang tega ternyata tetap percaya pada anaknya. Tapi orang tuanya beda, dirinya bahkan tidak pernah ada baiknya, selalu dianggap beban karena tidak menghasilkan uang.
Tak lama kemudian, Maulana turun bersama Zein. Mereka menghampiri kedua wanita pujaan hatinya tersebut, Maulana berjalan mendekati sang Istri lalu memeluk tubuhnya dari belakang, menaruh kepalanya di bahu wanita tersebut.
Sedangkan Zein duduk di salh satu kursi memperhatikan sang Istri yang sedang membuat hidangan.
"Paman, aku sedang masak. Kenapa Paman tidak duduk saja di meja makan? Nanti masakan ini tidak matang," protes Fira kesal karena sang Suami bermanja-manja.
Maulana memperhatikan tangan sang Istri, wanita itu tidak melakukan apapun selain memainkan sayur karena semua pekerjaan sudah dikerjakan koki."Sayank, masakan apa yang kamu masak? Perasaan dari tadi aku lihat hanya membelai sayur? Bukankah lebih baik membelai suamimu ini saja?"
Faeyza menahan diri untuk tidak tertawa, dia membalikkan tubuhnya menghadap sang Suami lalu memeluk pria itu secara tiba-tiba. Menyembunyikan wajahnya di balik punggung Suaminya, tubuh bergetar karena tertawa tanpa suara.
Zein menautkan alis melihat sikap sang Istri, dia tahu kalau gadis itu mungkin sedang menertawakan kedua orang tuanya. Mereka memang sudah berumur tapi sikapnya seperti anak remaja.
"Ayah, Ibu. Aku dan Istri ku permisi dulu, kalian berdua bersenang-senanglah." Pria rupawan itu bangkit dari tempat duduknya lalu membawa sang Istri lalu menyingkir dari tempat tersebut, tidak enak melihat sepasang suami istri sedang bermesraan.
Fira melotot galak, dia yakin kalau buah hatinya tersebut malu melihat dirinya dan sang Suami bermanja-manja ria."Paman, kamu lihat! Akibat perbuatan mu, mereka semua pergi."
Maulana tersenyum tipis, dia melepaskan pelukannya terhadap sang Istri, jemari lentiknya meraih mangkuk dan menaruh bakso di dalamnya. Ia yakin kalau sang istri meminta para koki untuk membuatkan bakso meski ada makanan yang lain.
Fira mengikuti pergerakan sang Suami, setahunya pria itu tidak terlalu suka makan bakso tapi sekarang malah banyak sekali mengambil pentol.
" Paman, itu buat siapa?" Tanyanya penasaran.
"Untuk Istri ku, sekarang dia lagi ngambek gara-gara anaknya tahu dan pergi," balas Maulana sambil menyerahkan bakso tersebut pada sang Istri.
Fira menerima bakso tersebut lalu membawanya ke meja makan, rupanya di sana sudah ada Tanvir. Anak keduanya itu terlihat jengkel melihat Zein dan Faeyza bermesraan.
Fira menarik kursi paling ujung lalu membantu sang Suami duduk, dia yakin sebentar lagi akan ada pertengkaran lagi antara Zein dan Tanvir, ia harus memperlakukan sang Suami seperti Raja agar pria itu tidak curiga ketika dirinya ingin membela Tanvir.
"Sayank, duduklah. Kita makan bersama."
Maulana menoleh pada sang Istri, ia curiga kalau ada yang diinginkan wanita tersebut. Bukan sehari dua hari mereka hidup bersama, Fira akan melakukan sesuatu yang sangat baik demi untuk menyenangkannya setelah itu meminta sesuatu yang hampir tidak masuk akal.
Pria itu menerima niat baik sang Istri, duduk dengan nyaman di kursi yang telah disiapkan oleh pujaan hatinya.
"Nah, Fira. Aku sudah duduk, sekarang kamu ingin apa?"
Fira menelan ludah sendiri, pria itu selalu saja tahu maksud dan tujuannya. Dia duduk di kursi samping sang Suami, di depan Tanvir dan Zein."Suamiku, jangan curiga seperti itu padaku. Aku hanya tidak ingin kalau sampai kamu buruk sangka pada anak kita."
Maulana memandang sang Istri, menatapnya sangat dalam."Istriku, mana mungkin Suamimu ini berburuk sangka pada Tanvir dan Zein. Aku yang membesarkan mereka, aku yang menjaga mereka dari kecil hingga dewasa. Kalau aku selalu buruk sangka pada anak-anak ku, untuk apa aku merawat mereka, mendidik dan menyekolahkan mereka. Biarkan saja mereka hidup di jalanan."
Fira merengut sebal mendengar ucapan sang Suami, semakin tua pria itu semakin suka menggoda dan selalu membuatnya kesal."Paman, kamu mana boleh seperti itu. Dulu kamu sudah berjanji, kalau nanti aku hamil dan melahirkan, kamu akan bertanggung jawab dan akan menjaga anak-anak ku, kenapa sekarang mau menaruhnya di jalanan." sewotnya.
Zein menyuapi Istrinya, tidak ada yang baru pertama melihat kedua orang tuanya berdrama. Tanvir tidak ada bedanya dengan Zein, pria itu menikmati makanan dengan tenang, seakan perdebatan kedua orang tuanya tidak berpengaruh. Sang Ayah yang sangat suka menggoda dan sang Ibu mudah sekali emosian.
"Sayang, kedua anakmu sehat wal afiat. Mereka menjalani kehidupan yang baik, bagaimana kalau kita membuat anak lagi? Daripada kamu menjadikan ku teman ribut? Bukankah kau akan punya kesibukan ribut dengan anakmu nanti?" balas Maulana membuat Fira kesal juga malu, usia sudah tidak muda lagi tapi malah mau diajak buat anak lagi.
"Paman, sebaiknya makan saja makananmu. Setelah itu ayo kita ke rumah Nita." Fira mengalihkan pembicaraan sebelum sang Suami justru akan membahas hal yang lebih masuk ke arah sensitif.
Maulana tersenyum, ia meraih piring berisi nasi dan lauk dari sang Istri. Tapi dia merasa sangat heran pada Istrinya, baru juga sore tadi bertemu Nita, tapi sekarang sudah ingin bertemu lagi seperti kekasih ingin bertemu pujaan hatinya.
"Sayank, apakah kalian berdua itu sudah mulai belok?"
"Belok apanya?! aku dan Nita mau ada arisan, lagi pula aku tidak mungkin meninggalkan suami yang begitu memanjakanku meski untuk seorang sahabat," balas Fira sewot.
Faeyza diam mengamati, dia merasa kalau mertuanya itu sangat imut dan menggemaskan. Di usia yang tidak muda lagi tidak membuat wanita itu berubah menjadi orang yang serius atau kaku.