Tanvir menghentikan mobilnya di depan rumah, tangannya terulur membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Setelah itu ia masuk ke dalam rumah, langkah kaki kuat seperti hati yang penuh dengan emosi.
Pria itu masuk ke dalam lift lalu, setelah keluar dia berjalan menuju kamarnya tanpa sengaja ia melihat sosok sang Ayah berdiri menatap taman samping rumah.
Tanvir segera berlari menghampiri Ayahnya tapi tidak berani melakukan apapun hingga sang Ayah menoleh ke arahnya.
"Tanvir, kamu kenapa?" Tanya Maulana heran, buah hatinya itu tidak terlihat dalam keadaan baik-baik saja. Matanya merah seperti habis menangis, pipinya sedikit bengkak seperti terkena pukulan.
"Ayah, aku ingin menikah," jawab Tanvir tanpa basa-basi.
Maulana tercengang mendengarnya, dia tahu kalau sang buah hati hingga sekarang masih menggilai Faeyza, tapi kenapa tiba-tiba ingin menikah?
"Anakku, katakan pada Ayah, apa yang sebenarnya terjadi! Bukankah kamu tidak punya pacar? Ya meski tadi pagi Kakakmu bilang kalau kamu sudah punya, tapi menurut Ayah kamu tidak terlalu menyukainya. Apakah kamu bertengkar dengan Kakakmu?" Lembut dan penuh kasih sayang.
"Ayah, aku memang mencintai Faeyza. Tapi dia sudah menikah, seperti apapun aku berusaha mendapatkannya kembali, dia sepertinya sangat mencintai kak Zein," jelas Tanvir putus asa.
Maulana tersenyum lembut, ia merangkul bahu buah hatinya membawanya ke tempat yang lebih nyaman. Dia memang tegas urusan agama tapi membantu anaknya juga kewajiban, mereka berjalan menuju taman belakang menyuruh Tanvir duduk di kursi panjang di taman tersebut.
"Ayah, tumben Ayah baik padaku," kata Tanvir memandang paras rupawan namun sudah tidak muda lagi itu.
"Kapan Ayahmu ini bersikap jahat padamu? Ayah adalah orang tuamu, Ayah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidikmu. Kalau sampai kamu melakukan sesuatu yang melanggar norma agama dan hukum, di hadapan Allah, Ayah juga harus bertanggung jawab. Jika Ayah tegas padamu, bukan berarti Ayah jahat. Ayah hanya tidak ingin kamu terjerumus ke lembah dosa."Maulana menepuk pelan bahu Tanvir, dia tahu kalau ujian terberat seorang pria adalah wanita karena itu ia berusaha untuk menyadarkan anaknya.
Tanvir mengangguk, meski usianya sudah 30 tahun tapi Ayahnya itu menasehati dirinya seperti anak TK, tetap lembut dan penuh kasih sayang.
" Ayah, kalau begitu besok aku akan melamar Nita. Tapi aku akan jujur padanya tentang perasaan ku, kalau dia bersedia menerima dan menjadi Istri ku, aku akan menikahinya."
Maulana mengangguk, dia merasa itu lebih baik, karena kejujuran dalam suatu hubungan itu adalah landasan utama. Mengaku cinta tapi tak pernah jujur, bisa jadi hubungan mereka tidak akan pernah bertahan lama.
"Baiklah, kalau dia setuju. Ayah akan memberikan hadiah pernikahan sebuah mobil mewah, atau saham di perusahaan Mizuruky."
"Jangan, Ayah. Nita itu temannya Faeyza, dia jurusan PGMI. Mana bisa mengurus perusahaan," tolak Tanvir.
"Oh, jadi kamu maunya apa?" Tanya Maulana penasaran.
" Aku hanya ingin Ayah izinkan aku tinggal di rumah Kak Zein," jawab Tanvir penuh harap.
Maulana tersenyum tipis, kalau itu dibiarkan dia yakin kalau anak keduanya itu bukan akan mengurus istri dengan baik tapi justru akan mengurusi Istri kakaknya.
Rumah orang tua Faeyza …
Ahodiq menghentikan menghentikan mobilnya di depan rumah mertuanya, sebuah hunian sederhana dengan pintu model kupu tarung berwarna kuning, lantainya terbuat dari keramik kecoklatan bermotif bunga.
Faeyza merasa sedikit malu pada sang Suami, rumah pria itu sangat besar bagai istana, rumah mertuanya juga tidak kalah besar sedang rumah orang tuanya sangat sederhana.
"Maz, maaf ya kalau rumah orang tua ku tidak besar. Bahkan mungkin tidak ada setengah kamar kita di rumah Maz."
Zein tersenyum, dia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan itu, baginya rumah di dunia ini hanya sebagai persinggahan karena pada akhiranya semua akan kembali ke akhirat.
"Iza, Maz sama sekali tidak keberatan. Kamu jangan merasa rendah diri seperti itu, Maz yakin orang tua mu membuat rumah ini juga dengan sepenuh hati, kita sebagai seorang anak harus menghargainya."
Wanita itu mengangguk, dia merasa sangat bersukur karena sang Suami tidak mempermasalahkan hunian orang tuanya.
Shadiq turun dari mobil lalu membukakkan pintu mobil untuk majikan dan Istri majikannya.
Sementara itu, Ulfi mengamati mobil lemosin mewah dari jendela rumahnya. Dia tidak merasa kenal dengan seorang pria yang turun dari mobil tersebut, tapi kalau diperhatikan pria itu seperti seorang supir pribadi, artinya ada orang kaya yang berkunjung ke rumahnya.
"Apakah itu tamu Ayah dan Ibu? Karena tidak mungkin itu tamuku, semua teman-teman sekelas ku tidak ada yang memiliki mobil semewah itu, memang si ada yang punya mobil tapi tidak jenis limosin."
"Ulfi, apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Yasmin melihat anaknya terus memperhatikan ke arah jendela, seingatnya sang buah hati itu tadi pamit mau pergi menyaksikan acara lomba agustusan di mushola.
Gadis itu 17 tahun itu menoleh pada sang Ibu, dia tersenyum lalu melambai tangan meminta agar Ibunya mendekat.
Wanita paruh baya itu berjalan menghampiri buah hatinya, rasa penasaran membuat dirinya tidak bisa berhenti untuk berjalan. Ia ikut mengintip ke jendela, terlihat seorang pria tampan membantu seorang wanita keluar dari mobil.
Ulfi dan Yasmin terkejut melihat Faeyza adalah seorang wanita yang keluar dari mobil tersebut, itu artinya seorang pria yang beesamanya itu adalah Zein.
"Ibu, ternyata itu kak Zein dan kak Faeyza. Wah, sekarang kak Faeyza hidup dengan sangat nyaman. Mobil saja sangat bagus, punya Suami juga sangat tampan. Aku juga mau nikah muda kalau seperti itu." Ulfi manyun melihat kehidupan saudarinya tersebut, perasaan dulu dirinya hidup jauh lebih baik tapi sekarang justru berbeda.
"Sudah, Ibu yakin kalau nanti kamu juga akan mendapatkan Suami yang pas untuk mu. Sekarang Ibu mau buka pintu, nanti kan Kakak mu itu punya banyak uang, ajak main saja suruh traktir," sahut Yasmin bercanda, dia hanya ingin menghibur anak keduanya yang sedang bad mood.
Ulfi masih manyun, dia sangat iri dengan kakaknya. Sang Kakak menikah karena mertuanya menganggap hubungan mereka terlarang daripada menimbulkan dosa lebih baik menikah, tapi meski orang tua Kakak iparnya itu kolot tapi tetap saja punya anak yang sangat tampan dan baik hati.
"Maz, apa Ayah dan Ibu tidak ada di rumah ya?" Tanya Faeyza melihat pintu rumah orang tuanya tertutup rapat.
"Maz juga tidak tahu, Sayank. Lebih baik kita kesana saja, siapa tahu mereka ada di dalam," balas Zein. Gadis itu mengangguk, ia berjalan sambil memeluk lengan sang Suami seperti dunia milik berdua dan yang lain ngontrak.