Sonia duduk gelisah di atas bangku sekolah, pagi-pagi berangkat sekolah ia merasa ada yang aneh dengan sikap sang Suami, meski biasanya pria itu memang pendiam tapi juga tidak sependiam pagi tadi.
"Hari ini tidak mendengar dia bicara, aku sudah seperti orang yang mau mati saja. Tapi .... Kenapa tiba-tiba dia sangat dingin padaku? Aku benar-benar bingung."
"Sonia, apa tugas kali kau sudah menyelesaikannya?" Tanya Sieru saat melihat sahabatnya melamun sambil bicara sendiri, ia berdiri di belakang sang sahabat sambil mengeluarkan buku tugas miliknya.
Untuk beberapa detik Sonia tidak merespon pertanyaan dari gadis itu, ia memutar bola matanya bosan melihat sikap sang sahabat yang sudah seperti orang kesurupan.
"Sonia!" Seiru mencoba memanggil kembali gadis itu dengan suara lebih nyaring.
"Ya Kak Frans." Sonia tersenyum kaku ketika menyadari bahwa dia salah dalam memberikan jawaban, sekarang sahabatnya itu pasti menyadari kalau sedari tadi dirinya melamun.
"Kau melamun?" Tanya Sieru sedikit jengkel.
Sonia menundukkan kepalanya, pagi ini ia benar-benar tidak fokus pada sekolah, pikirannya terus tertuju pada sang Suami. Dia ingin pergi menemui pria tersebut, mendengarkan suaranya meski kemungkinan besar kata yang keluar dari mulutnya itu seperti racun.
Sieru mengamati ekspresi wajah sang sahabat, tidak biasanya gadis itu tertunduk sedih, biasanya selalu ceria meski terkadang suka diganggu banyak orang.
"Sonia, kau kenapa? Apakah ada masalah?"
Sonia menggelengkan kenapa, Sieru semakin yakin kalau gadis itu memang ada masalah.
"Tapi wajahmu menunjukkan seperti itu," sahut Sieru, ia mendudukkan dirinya di kursi.
Sonia menghela nafas panjang, ia mengangkat kepala kemudian memutar tubuh menghadap Sieru.
"Baiklah, aku menyerah. Aku sedang bingung."
"Bingung kenapa?" Tanya Sieru penasaran.
"Orang yang ku cintai mendiamkan ku, aku tidak tahan kalau dia mendiamkan ku. Aku lebih suka mendengar suaranya meski setiap yang keluar dari mulutnya itu seperti racun." Sonia menghela nafas, ia kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan memunggungi sang sahabat.
"Kenapa tidak kau temui saja dia? Lalu bertanya, apa masalahnya. Kalau seperti itu, nanti kamu akan jelas dan tidak kebingungan seperti ini," kata Sieru memberi masukan.
"Benar juga, aku akan temui dia lalu bicara padanya. " Sonia segera bangkit dari tempat duduknya, wajah yang tadi murung kini berubah ceria, ia segera mengambil tas lalu pergi meninggalkan ruang kelasnya.
***
Ruang Kerja CEO
Sebuah ruangan mewah bernuansa putih bersih, terdapat sebuah meja besar dengan tumpukan dokumen di atasnya. Di sudut kanan terdapat lampu hias, di depan meja ada dua buah kursi.
Di salah satu sudut ruangan tersebut terdapat sebuah sofa mewah berwarna putih tulang, seorang pria duduk di atas kursi kebesarannya.
Dan seorang wanita duduk di depan pria tersebut, tatapan mata wanita tersebut tertuju pada pria dengan kemeja marun serta jas biru gelap.
Ia kesal karena sudah hampir 30 menit duduk tapi sang pria hanya sibuk dengan laptop yang ada di depannya, tidak sedikit pun menoleh padanya.
"Kenapa kau diam saja? Dari tadi aku terus berbicara panjang lebar padamu, kau hanya diam dan sibuk dengan pekerjaan mu. Ayolah, aku hanya ingin meminjam uang 250 juta darimu. Aku yakin uang seperti itu tidak termasuk banyak untuk orang dengan harta kekayaan triliunan seperti mu, aku sudah bosan duduk di sini." Wanita 25 tahun itu terus mengeluh, tapi pria tersebut seakan tidak peduli.
Jemari lentik itu sibuk menari di atas laptop miliknya."Aku tidak bisa memberikan pada sembarang orang," sahut Fransis tanpa memandang gadis itu. Iris safir itu masih fokus menatap layar laptop di depannya, jemari lentik itu menarik lincah di atas keyboard.
Gadis itu menaikkan sebelah alis ketika disebut sebagai sembarang orang, artinya dirinya adalah orang yang sembarangan.
"Kau ini perhitungan sekali! Aku bukan sembarang orang! Aku ini adikmu! Meski bukan Adik kandung, tapi semenjak Ibuku menikah dengan Ayahmu, uang belanja ku berkurang drastis. Aku tidak bisa pergi ke mall bersama teman -temanku! Ayahmu benar-benar tidak bisa mencukupi ku," katanya dengan nada mengeluh.
" Kau bisa meminta uang pada Ayahmu," balas Fransis lagi.
"Meminta uang pada Ayahku, sama saja mengibarkan bendera perang pada Ibu tiri dan Adik tiriku, dia mirip seperti Nenek sihir. Kau tahu? Belum apa-apa, dia sudah mengajak ribut denganku." Gadis itu sedikit memajukan wajahnya mendekati Fransis, kemudian menyanggah kepala dengan telapak tangannya.
***
Sonia berjalan penuh dengan semangat menuju ruang kerja sang Suami, langkahnya terlihat santai namun semua hanya untuk menyembunyikan debaran dalam jantung. Ia mengulurkan tangan ketika sampai di depan ruangan sang Suami, tanpa mengetuk pintu, gadis itu langsung mendorong pintu tersebut.
"Sayank, aku minta maaf . Aku tidak peduli kalau kau akan mengeluarkan kata -kata pedasmu lagi, tapi tolong jangan diamkan a-." Ucapan Sonia menggantung di udara ketika dia memutar tubuh dan melihat seorang gadis cantik duduk di depan meja Suaminya.
Gadis 25 tahun itu mengalihkan perhatiannya pada Sonia, setelah itu kembali fokus pada Fransis.
"Siapa itu?" Batin Sonia penasaran, ada rasa cemburu dalam hati melihat sosok itu. Ia berjalan menghampiri sang Suami, lalu memeluk pria itu dari belakang.
Seakan dipaksa untuk menegakkan tubuh dan mendongakkan kepala saat lengan mungil itu melingkar dengan kuat di lehernya, iris safir itu melebar saat rasa tercekik menghampiri pernapasan.
"Kau siapa? Apakah kau Adiknya?" Tanya gadis 25 tahun penasaran, ia menegakkan kembali tubuhnya dan memperhatikan Sonia dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Aku bukan Adiknya!" Balas Sonia galak, ia bahkan mengeratkan pelukannya hingga membuat Fransis semakin keusilan untuk bernafas, pria itu mencoba untuk melepaskan lilitan lengan sang Istri di lehernya, namun bukannya lepas justru semakin mengerat.
" Oh, tapi lebih baik kau lepaskan dulu pelukan mu itu. Kau hampir membuat Kakak tiriku tidak bisa bernafas, pelukan mu terlalu over." Gadis 25 tahun itu menahan senyum melihat seorang Istri yang cemburu hanya karena ada seorang wanita duduk di depan meja kerja sang Suami.
Sonia terkejut, ia langsung melepaskan pelukannya dan terlihat Suaminya terbatuk-batuk sambil memegangi leher. Dia merasa sangat bersalah karena sudah membuat sang Suami menderu.
Sonia berjalan ke depan Fransis lalu berjongkok di depan pria tersebut, kepalanya menengadah memandang paras pucat dan masih berusaha untuk menormalkan nafasnya.
" Maaf, aku sungguh minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mencekik mu. Aku hanya ..." Ucapan Sonia terhenti, ia merasa malu untuk mengatakannya. Pandangan mata gadis itu beralih ke arah lain."Hanya ingin menunjukkan pada wanita itu bahwa kau adalah milik ku," batinnya.
Fransis mendelik tajam, hampir saja dirinya berakhir di sini karena kehabisan nafas.