Chereads / Hingga Akhir Waktu / Chapter 22 - Episode 23

Chapter 22 - Episode 23

Episode 23

Ketiga Mahasiswa tersebut terlihat sangat marah, wajah mereka merah padam seakan darah sudah mencapai ubun-ubun, tatapan mereka seakan ingin membunuh siapapun yang datang menghalangi.

Erika bersama ketiga teman lainnya menatap heran dan takut dengan ketiga Mahasiswa tersebut, sedangkan Soici terlihat sangat santai sekalipun bersiap untuk melarikan diri.

"Mau apa mereka?" bisik Erika pada Soici.

"Mana ku tahu, Sayang," balas Soici tidak peduli.

"Heh! Tidak perlu berbisik-bisik, seperti sebuah lagu saja dengan judul bisik-bisik tetangga," bentak pria yang bernama Rico.

"Bisik-bisik pacar, Rico," sahut Soici membenarkan ucapan Rico.

"Diam!" bentak Rico membuat Soici terkejut.

"Soici Sugami, aku ingin membuat perhitungan denganmu. Gara-gara ulahmu, kami semua masuk rumah sakit kemarin," kata Rico menuntut Soici.

Soici mengerutkan kening, ia tidak merasa melakukan apapun bahkan tidak masuk kelas lantaran Fransis menyuruhnya menggantikan di rumah sakit.

"Masuk rumah sakit? Kapan aku melakukan itu? Apakah kemarin mereka bertemu dengan Kak Fransis? Jangan bilang kalau kemarin mereka membuat ulah pada Kak Fransis lalu kena hajar," batinnya dengan bibir senyum-senyum sendiri.

"Hehe … aku yakin mereka mengira kalau Kak Fransis adalah aku, tapi bagus juga. Dengan begitu mereka bisa merasakan rasa sakit seperti yang sering ku alami akibat ulah mereka." Soici membayangkan bagaimana sengsaranya ketiga pria tersebut dihajar oleh sang Kakak.

Rico mengerutkan kening melihat ekspresi Soici."Kamu mengejekku?" tanyanya curiga.

"Hehe… tentu tidak, Rico. Baiklah aku minta maaf, lalu sekarang apa maumu?" balas Soici dengan senyum pura-pura.

"Membalas kekahalan ku kemarin," jawab Rico tegas.

Soici membelalakkan matanya,"Gawat, kalau Rico benar-benar menantangku lagi, dia bisa membuatku masuk rumah sakit atau mungkin liang lahat. Kak Fransis, aku berharap kau datang kemari dan menyelamatkanku," batinnya dengan ekspresi seperti orang hampir menangis.

"Aku menunggumu di belakang kampus, jangan sampai kabur." Rico menunjuk Soici menggunakan jari tengah, setelah itu ia bersama kedua temannya meninggalkan kantin.

Soici mengangguk, setelah kepergian Rico ia sangat panik dan tidak tahu harus berbuat apa, tidak mungkin juga dirinya bisa menang melawan mereka bertiga.

"Kenapa tidak minta bantuan Kakakmu saja?" tanya Nadza.

Soici mengalihkan perhatiannya pada Nadza, dari mata kecoklatanya gadis itu berjalan menghampirinya kemudian duduk di depannya.

"Soici, aku tahu kalau kemarin itu bukan kamu. Aku rasa Erika juga tahu kalau kemarin itu bukan kamu." Nadza tersenyum membayangkan sosok pria yang sangat mirip dengan Soici.

Soici menoleh pada Erika seakan ingin memastikan kebenaran ucapan Nadza, Erika mengangguk.

"Kakakmu sangat tampan, bahkan lebih tampan darimu. Tapi dia sangat menakutkan, dingin bahkan mulutnya sangat pedas."

Soici menghela nafas cemburu mendengar Erika memuji Fransis, jelas-jelas dirinya pacarnya tapi justru memuji pria lain.

"Tapi bagaimana caranya aku bisa minta tolong pada Kak Fransis? Kalian tidak menyuruhku untuk berkata jujur, bukan?" Soici menatap kedua wanita itu tidak yakin.

"Dengan mengatakan kalau aku ditantang berkelahi berkelahi oleh tiga preman kampus," lanjut Soici.

"Memangnya kenapa harus jujur?" tanya Nadza heran.

"Ya Tuhan." Soici menepuk jidatnya sendiri, ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran kedua gadis itu. Mana mungkin seorang Fransis akan datang hanya karena dirinya ditantang oleh preman kampus, kecuali dirinya babak belur dan sekarat.

"Dia akan mendiamkan ku selama satu bulan dan uang sakuku akan dipotong! Semua fasilitas yang diberi akan ditarik kembali. Aku bisa miskin mendadak, aku tidak mau menjadi miskin." Soici sangat frustasi membayangkan apa yang akan dilakukan saudaranya itu jika mendengar dirinya kembali berkelahi.

"Kau tidak perlu khawatir, pergilah! Temui mereka, aku akan telpon Kakakmu, aku pastikan semua fasilitasmu tidak akan ditarik, percayalah padaku." Nadza tersenyum meyakinkan pria yang pernah disukainya tersebut.

Soici memikirkan sejenak ucapan Nadza, kemudian menoleh pada Erika. Setelah itu bangkit dari tempat duduknya kemudian membelai lembut rambut pirang kekasihnya tersebut.

"Baiklah, Erika … kamu tunggu di sini." Soici kembali mengalihkan perhatiannya pada Nadza.

"Nadza, aku pegang ucapanmu."

Nadza mengangguk penuh keyakinan, setelah itu Soici pun pergi untuk memenuhi tantangan dari Rico dan kawan-kawannya.

Nadza tersenyum ketika melihat punggung Soici semakin menjauh, gadis itu segera mengeluarkan ponsel miliknya. Melihat Nadza mengeluarkan ponsel seperti hendak menghubungi seseorang, Erika bertanya karena penasaran.

"Untuk apa?"

"Menghubungi Tuan Muda Lonenlis, kau tidak mau bukan kalau kekasihmu babak belur?" balas Nadza mengerling pada Erika.

"Aku yakin kau jauh lebih tidak ingin lagi," jawab Erika.

"Itu dulu, tapi sekarang aku lebih tertarik pada Tuan Muda Lonenlis, dia lebih bisa diandalkan." Nadza tersenyum mengejek, setelah itu ia menghubungi Fransis.

**

Fransis dan Sonia barus saja keluar dari ruang pemeriksaan, gadis itu terlihat murung mendengar ucapan Dokter yang mengatakan bahwa penyakit jantungnya semakin parah dan tidak bisa diselamatkan selain dengan transplantasi jantung.

"Kau akan baik-baik saja." Fransis berusaha menenangkan sang Istri, meski dirinya sendiri merasa khawatir akan kondisi gadis tersebut.

Sonia mendongakkan matanya menatap sang Suami yang lebih tinggi darinya, mereka berjalan menuju salah satu kursi yang ada di ruang tunggu.

"Tapi Dokter bilang, kalau dalam satu tahun ini aku belum mendapatkan donor jantung, aku sudah tidak akan bisa diselamatkan lagi." Air mata gadis itu menggenang di pelupuk mata, takut dan sedih bercampur menjadi satu.

"Itu hanya ucapan Dokter, jika Tuhan menghendaki besok kau akan mendapatkan seorang pendonor dan kau akan sembuh," balas Fransis.

"Kau benar, harusnya aku tidak putus asa seperti ini. Karena Tuhan tidak menyukai orang yang berputus asa," balas Sonia mulai tenang, ia tersenyum menatap sang Suami. Meski pria itu terkadang menyebalkan dan menjengkelkan, tapi di saat dirinya membutuhkan sandaran makan sosok pria dingin itu yang selalu ada untuk dirinya.

Fransis ikut tersenyum, namun senyum itu lentuk ketika nyeri kembali menyerang hatinya. Keringan dingin mulai membasahi tubuh, wajah pucat bagai tiada darah yang mengalir.

Melihat sang Suami terlihat menahan sakit bahkan nyaris tersungkur kalau dirinya tidak segera menangkap tubuh ringkih itu, senyum itu seketika memudar berganti dengan raut kecemasan.

"Kau kenapa? Kenapa wajah Kak Fransis sangat pucat?"

Fransis menggeleng lemah, ia tidak ingin sang Istri tahu tentang kondisi tubuhnya. Gadis itu sudah dibuat khawatir dengan penyakit jantung yang dideratinya, tidak ingin lagi ditambahi dengan kondisi dirinya.

"Kak Fransis sakit? Maag Kakak kambuh lagi?" tanya Sonia khawatir.

Pria itu hanya mengangguk pelan, Sonia menghela nafas lalu membawa sang Suami menuju deretan kursi tunggu.

"Kenapa Kak Fransis tidak bilang?" Entah sejak kapan gadis itu memanggil Suaminya dengan manis, biasanya suka ribut.

"Sebaiknya kita duduk di kursi itu dulu."