Tok… tok… tok…
Suara ketukan pintu terdengar tidak lama sebelum akhirnya seseorang membukakan pintu dari dalam.
"Cari siapa?" Tanya Jesica dengan nada dingin sambil menatap bingung pada dua orang yang terlihat seumuran dengan orangtuanya namun mereka sama sekali bukan teman ataupun kerabat kedua orangtuanya karena kedua orangtuanya selalu mengajaknya kemanapun mereka pergi sehingga ia mengenal siapa saja yang kenal dengan orangtuanya.
"Kami mencari Laura." Jawab Dita dengan ramah, ia memang nekat mencari tahu dimana Laura tinggal meskipun dokter belum mengijinkannya untuk keluar dari rumah sakit namun karena Laura yang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar setelah kepergiannya dari rumah sakit membuat Dita memaksa suaminya untuk membujuk dokter agar mau mengijinkannya keluar dari rumah sakit agar bisa menemui Laura dan Pratama yang cinta mati dengan istrinya itu tentunya tidak bisa menolak permintaanya meskipun ia merasa khawatir sehingga ia tidak membiarkan Dita menemui Laura sendirian.
"Laura?"
"Benar, apa kami bisa bertemu dengannya?"
Sikap sopan dan ramah yang ditunjukan oleh Dita dan Pratama sama sekali tidak membuat Jesica balik bersikap ramah kepda mereka, ia malah dengan terang-terangan melipat kedua tangannya di dadanya dan memutar kedua bola matanya dan menjawab dengan ketus, "Dia kabur dengan seorang pria."
Tentunya jawaban Jesica membuat Dita dan Pratama terkejut dan saling menatap tidak percaya.
"Kabur? Bagaimana mungkin?"
"Tentu saja mungkin, dia bukanlah wanita baik-baik jadi sebaiknya kalian jangan mencarinya lagi disini, dia bukan bagian dari keluarga kami."
Dita dan Pratama sangat terkejut mendengar apa yang telah Jesica ucapkan tentang Laura, gadis muda itu bahkan langsung menutup pintu dengan kasar dan membuat Dita dan Pratama terperanjat.
Sikap Jesica sungguh jauh berbeda dengan Laura, mungkin jika Jesica tidak membicarakan tentang Laura maka mereka akan menganggap jika mereka telah pergi ke alamat yang salah.
"Bagaimana ini, sayang? Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Laura…"
Pratama hanya bisa merangkul Dita dan menenangkannya, "Aku akan mencaritahu keberadaannya, kamu tenang saja, kita pasti akan menemukannya."
***
Laura membuka kedua matanya yang terasa berat, ia menangis hingga ketiduran dan sekarang ia tidak tahu sudah jam berapa yang ia tahu sekarang ia lapar. Sambil merangkak turun dari atas tempat tidurnya, Laura mencari-cari keberadaan ponselnya agar ia bisa memesan makanan cepat saji tapi ia tidak menemukan ponselnya dimanapun sampai akhirnya ia ingat jika ia meninggalkan ponselnya bahkan dompet dan semua kartu ATM-nya di rumahnya.
"Bagaiamana ini?" Gumamnya pelan sambil terduduk lemas, jika begini maka mau tidak mau ia harus pergi ke bank untuk mengurus kartu baru karena ia tidak ingin kembali ke rumah orangtuanya.
"Oh sial!" Sekali lagi Laura menggerutu ketika ia baru akan membuka pintu kamar mandi dan berniat untuk mandi agar ia bisa segera mengurus kartu-kartunya tapi ia baru sadar jika kartu identitasnya juga tertinggal bersama dompetnya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Apalagi selain mandi? Mungkin mandi akan membuatnya mendapatkan ide agar ia bisa mendapatkan kartu Identitas baru agar ia bisa mengurus semua kartu ATM-nya dan tentunya membeli ponsel baru.
Laura kemudian bergegas mandi tapi ia tidak langsung mengenakan pakaiannya dan hanya menggunakan jubah mandi karena perutnya sudah sangat kelaparan dan semoga saja di dalam lemari pendinginnya tidak hanya ada air putih, setidaknya susu mungkin.
Sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, Laura keluar dari dalam kamarnya dan betapa terkejutnya ia melihat Dimas berada dibalik meja dapurnya dan menatapnya dengan ekspresi yang tidak kalah terkejutnya.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Laura dengan suara yang melengking karena begitu terkejut sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanyan setelah menjatuhkan handuknya di lantai.
Dimas terlihat gelagapan, ia kemudian melangkah menghampiri Laura dan berniat untuk menjelaskan.
"BERHENTI DISANA!!!" Teriak Laura kencang membuat langkah kaki Dimas langsung terhenti.
"Jangan coba macam-macam dengan ku atau aku akan lapor polisi!"
Sepertinya Laura lupa tentang ciuman panas yang pernah ia lakukan bersama dengan Dimas sehingga ia bersikap seperti gadis suci yang tidak pernah tersentuh.
"Apa kamu gila? Siapa yang ingin macam-macam dengan mu?" Sahut Dimas yang tidak terima dengan tuduhan Laura apalagi Laura sudah mengacungkan sandalnya ke arahnya dan kapan saja sandal itu bisa mendarat ke wajahnya.
"Lalu apa yang kamu lakukan disini? Apa kamu ingin curi kesempatan saat tubuhku lemah dan tidak berdaya? Apa kamu melakukan sesuatu saat aku tidur? Apa kamu memperkosaku?" Laura semakin menjadi, ia terus melontarkan tuduhan dengan ekspresi seolah ia adalah wanita yang baru saja di sakiti.
Semua rentetan tuduhan yang Laura lontarkan membuat Dimas tidak dapat menjawabnya karena ia sama sekali tidak memikirkan jika wanita licik dihadapannya dengan penampilannya yang menggoda namun gila ini sampai hati menuduhnya seperti itu.
"Aku tidak melakukan apapun padamu!" Hanya itu yang bisa Dimas katakan untuk menyangkal.
"Aku…"
"Bohong!"
"Aku bahkan belum menjelaskan apapun kenapa aku ada disini, tapi kamu menyela dulu ucapanku dasar wanita gila!"
Itu benar, sejujurnya Laura sedikit malu karena ia terlalu menggebu-gebu menuduh Dimas namun ia sudah terlanjur menuduh jadi ia tidak bisa mengendur begitu saja atau Dimas akan menertawakanya.
"Alibi!"
"Oh Tuhan! Kenapa engkau ciptakan makhluk sejenis dia!" Dimas berteriak frustasi.
"Makhluk apa kamu bilang?" Laura mendekat karena tidak terima sementara tangannya masih memegangi sandal yang selalu siap untuk memukuli pria brengsek dihadapannya ini.
"Makhluk gila yang menyebalkan dan tidak tahu diri!" Sahut Dimas yang juga mendekat karena begitu geram.
"Ha… ha… ha…" Laura tertawa jengkel karena ucapan Dimas.
"Dan satu lagi, manipulatif!"
Laura sudah tidak tahan lagi, ia akhirnya benar-benar mendaratkan sandalnya pada tubuh Dimas dan terus memukulnya.
"Makhluk gila huh? Akan aku tunjukan seberapa gila, tidak tahu diri dan manipulatif diriku!"
Seperti wanita yang sedang kerasukan, Laura terus memukul Dimas dengan sandalnya tanpa ampun membuat Dimas harus berlari untuk menghindari pukulan Laura namun Laura terus mengejarnya kemanapun Dimas berlari pergi.
"Berhenti memukul ku dasar wanita gila!" Teriak Dimas sambil melemparkan bantal sofa ke arah Laura namun Laura sama sekali tidak perduli, ia malah semakin kesal saat bantal itu berhasil mengenai wajahnya dan Dimas menertawakannya.
"Pria brengsek!!!" Teriak Laura frustasi sambil melemparkan sandalnya ke arah Dimas.
"Tidak kena!" Sambil menjulurkan lidahnya, Dimas mengolok-olok Laura yang tidak berhasil melemparkan sandalnya ke arahnya sementara ia sekali lagi berhasil melemparkan bantal sofa hingga mengenai wajah Laura sekali lagi.
"Dimas stress! Tunggu sampai aku mendapatkanmu! Aku akan mencekikmu hingga mati!"
"Cekik aku kalau bisa!"
Laura memutar kedua bola matanya tanda jengah, ia kemudian berlari menaiki sofa agar lebih cepat menggapai Dimas dan tentunya membuat Dimas sangat terkejut karena Laura menjadi dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia sama sekali tidak terlihat seperti wanita yang habis operasi.
"Apa kamu gila? Kamu lupa luka operasi mu?" Ucap Dimas yang mulai gentar karena Laura selalu hampir menangkapnya jika ia tidak menghindar dengan cepat.
"Aku bisa ke rumah sakit dan mengobati luka operasi ku setelah aku berhasil mencekik mu! Jangan harap kamu bisa kabur!"
Dimas menelan salivanya, ia hanya bisa berlari lebih cepat tapi apartemen Laura tidak begitu luas sehingga ia merasa seperti terperangkap dan akhirnya Dimas memilih memasuki kamar Laura dan berhasil telapas dari cengkraman kuku wanita itu yang sempat berhasil menarik punggung bajunya.
"Apa kamu tidak lelah? Aku membuat bubur, kita bisa bertengkar setelah makan." Ucap Dimas berusaha membujuk Laura yang saat ini berada di sisi lain tempat tidur yang membatasi mereka berdua sekaligus membantunya agar Laura tidak menyergapnya dengan mudah.
"Bubur? Jangan gila, kamu bahkan tidak bisa membuat kopi sendiri!"
"Aku serius! Aku memasaknya, apa kamu tidak mencium aroma lezatnya? Emm aromanya lezat sekali, bukan?" Sambil menarik nafas seakan-akan ia mencium bau bubur, Dimas kembali membujuk Laura.
"Ya lezat sekali aroma pestisida ini…" Sahut Laura yang masih tidak percaya, ia bahkan tidak sungkan naik ke atas tempat tidurnya dan berlari ke arah Dimas lalu menjambak rambutnya hingga Dimas berteriak kesakitan.
"Wanita gila, lepaskan rambutku!"
"Tidak akan sebelum kamu mengakui apa yang sudah kamu lakukan kepadaku dan tarik ucapanmu jika aku adalah wanita gila tidak tahu diri dan juga manipulatif!"
"Aku memang tidak melakukan apapun, sungguh… percayalah padaku, Laura!"
Ucapan Dimas terdengar serius sehingga Laura perlahan mengendurkan cengkramannya dari rambut Dimas namun ia masih belum melepaskannya.
"Lepaskan sekarang, aku bisa botak, bodoh!"
"Tarik dulu ucapan mu!"
"Apa yang harus aku ralat? Kamu memang wanita gila tidak tahu malu dan juga manipulatif! Itu adalah fakta! F.A.K.T.A!!!"
"Dasar Sialan!" Teriak Laura sambil terus menarik rambut Dimas dengan sangat kuat hingga wajahnya memerah menahan sakit dan akhirnya dengan satu hentakan Dimas berhasil melepaskan kedua tangan Laura dari atas kepalanya lalu mendorong tubuh Laura hingga ia jatuh terbaring.
"Sepertinya kamu memang ingin aku melakukan sesuatu padamu…" Ucap Dimas sambil memegangi kedua tangan Laura dan menahan pergerakannya, menatapnya seakan ia adalah serigala buas yang siap memangsanya sekarang juga membuat Laura seketika bungkam.
***