Prolog
"Melewati kekosongan hidup di tempat ke dua. Mereka mengabaikan ku dan membuat ku hidup hanya sebagai bayangan.
Aku selalu melakukan yang terbaik untuk mereka tapi mereka tidak pernah melakukan hal yang sama untuk ku.
Seperti pemain figuran, kehadiranku di sekitar mereka hanyalah penambah cerita. Aku tidak berati bahkan jika aku mendadak menghilang maka mereka tidak akan menyadarinya."
***
Namaku Laura Milanov yang terlahir sebagai anak kedua membuatku hanya mendapatkan sedikit perhatian dibandingkan dengan kakak ku yang pintar dan adik ku yang sangat cantik. Aku seperti itik buruk rupa yang terjebak dalam keluarga angsa.
Selalu dibandingkan seolah tidak diinginkan.
Di sekolah jika aku tidak menyapa maka tidak akan ada yang menyapaku lebih dulu. Aku berteman dengan tiga orang gadis populer di sekolah tapi bukan untuk menjadikanku sama terkenalnya dengan mereka.
Diantara mereka yang bersinar, aku tidak pernah terlihat. Si pintar Ratna, si kaya Susy, dan si cantik jelita Wendy sementara aku adalah si pesuruh Laura.
Orang yang selalu menjadi bahan olok-olokan dan tertawaan mereka, tapi aku yang bodoh, tidak cantik dan kaya ini hanya bisa menahannya walaupun setiap detiknya aku hancur.
Aku bertahan, tapi aku merasa mati perlahan oleh pertemanan beracun ini.
Setiap tengah malam ketika mereka berulang tahun, aku selalu membuatkan mereka kue dan dengan uang jajan yang aku sisihkan, aku membelikan mereka hadiah yang terbilang mahal yang aku tidak pernah bisa membelinya untuk diriku sendiri tapi aku tetap membelinya untuk mereka dan berharap status ku sebagai "badut" dalam pertemanan kami menghilang.
Tapi harapan hanyalah harapan karena setelah apa yang aku lakukan, yang aku dapatkan hanyalah kekecewaan karena saat aku berulang tahun tidak ada satupun dari mereka yang memberikanku hadiah. Jangankan hadiah mereka bahkan tidak pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
Mereka hanya mengucapkannya sambil lalu ketika waktunya sudah terlewat berhari-hari tanpa merasa menyesal sedikitpun.
Tapi bertahun-tahun berlalu, aku yang bodoh ini tetap bertahan bersama mereka. Menjadi yang paling pertama menjenguk mereka saat sakit bahkan merawat mereka namun ketika aku sakit dan tidak masuk sekolah beberapa hari, tidak ada satupun diantara mereka yang mencari ku dan menanyakan kabar ku dan bahkan setelah aku sembuh dan akhirnya kembali masuk sekolah, tidak ada siapapun yang bertanya aku kemana saja.
Kecewa berkali-kali dengan persahabatan yang menyakitkan ini tapi aku tidak pernah terbiasa dengan rasa sakitnya karena selalu membuatku diam-diam menangis dan berharap mereka akan bertanya kenapa mataku sembab namun mereka tidak pernah menanyakannya sekalipun malah mengejek mataku terlihat seperti mata seekor katak padahal katak sangatlah menggemaskan.
Sejujurnya aku hanya menghibur diriku sendiri!
Mereka tidak membutuhkanku, mereka tidak menghargai ku, tapi dengan bodohnya aku tetap bertahan menjadi badut mereka.
Aku pikir hidupku akan terbebas ketika aku mulai masuk universitas.
Aku berpikir tidak akan bertemu dengan mereka tapi mereka masuk di universitas yang sama denganku dan membuatku kembali terjebak dalam pertemanan yang beracun ini.
Tapi aku sudah lelah, aku ingin menjadi pemeran utama! Keluarga dan pertemananku selalu menjadikan ku sebagai figuran hingga aku lebih banyak diam dan aku tidak tahu sejak kapan aku kehilangan senyuman ku yang pasti aku sudah tidak bisa tersenyum lagi tanpa berpura-pura.
Sampai pada suatu hari aku tidak sengaja bertemu dengannya. Dengan seorang pria yang sangat baik dan juga perhatian. Namanya Dimas Dirgantara, dia memberi harapan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya apalagi ketika kami menjadi dekat karena kami berada di kelas melukis yang sama.
Pria tampan, kaya dan yang terpenting sangat baik seperti pemeran utama pria yang sering aku baca dalam novel romantis.
Bersamanya membuat hidupku yang seperti bayangan akan berubah berada di bawah cahaya karena akhirnya ku memiliki kisah ku sendiri dengan aku sebagai pemeran utamanya.
Khayalanku sudah setinggi langit...
Dia seperti bintang jatuh yang aku temukan.
Aku yakin dia memiliki perasaan yang sama dengan ku karena dia mengajakku untuk menonton film hanya berdua dengannya. Aku menganggapnya sebagai kencan pertama kami.
Semuanya berjalan lancar seperti khayalan yang menjadi nyata tapi hari itu kami bertemu dengan Wendy tanpa sengaja dan tanpa ragu aku memperkenalkannya pada Dimas. Aku yakin jika Dimas memiliki perasaan yang sama denganku dan perkenalan mereka tidak akan mempengaruhi hubungan kami.
Tapi ternyata aku salah besar!
Hujan turun deras di hatiku ketika mereka mengumumkan jika mereka berpacaran dan mereka tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun padaku dan semua orang memberikan selamat kepada pasangan populer baru di kampus.
Aku hancur!
Aku merasa di khianati!
Tapi aku menyembunyikan luka ku sekali lagi. Aku bahkan tetap berteman dengan mereka.
Siapa yang menyangka jika hubungan mereka akan bertahan lama, selama aku memendam rasa sakit hatiku.
Tapi aku terus hancur dari dalam, aku muak terus-menerus tersingkirkan dan menjadi seseorang yang tidak memiliki arti apapun.
Aku ingin bahagia, aku ingin dihargai karena aku juga manusia yang memiliki perasaan apalagi hatiku sudah rapuh.
Aku hanya ingin memiliki kisah ku sendiri. Sedih dan bahagia yang berimbang layaknya pemeran utama.
Jika aku mati apakah aku akan hidup kembali menjadi wanita utama dalam sorotan?
Jika iya maka aku ingin mati sekarang juga karena rasanya sangat menyakitkan.
Aku melangkah ditengah keputusasaan. Berharap jika mobil akan menyambar tubuh ku dan membuatku menghilang dari semesta yang seolah tidak menyukaiku ini.
Lampu mobil itu menyorot terang menyilaukan mataku dan kemudian aku hanya melihat kegelapan dan rasa sakit di seluruh tubuhku.
...
Apa aku sudah mati?
Tapi aku masih bisa mendengarnya, aku mendengar suara mereka tertawa? Apa mereka sedang menertawakan kematian ku?
Perlahan aku membuka kedua mataku, dan melihat sekitar ku dan bau obat menyadarkan ku jika aku berada di rumah sakit sekarang dengan tubuh yang masih penuh luka dan kepala yang di perban serta kaki yang di gipsum. Sepertinya aku belum mati, bahkan langit tidak menerima kematian ku.
Suara tawa serta bisikan-bisikan itu kembali terdengar sampai akhirnya aku menoleh dan melihat pemandangan sahabat dan cinta pertamaku yang sedang berciuman mesra.
"Apa tidak ada tempat lain untuk melakukannya?"
Wendy dan Dimas terperanjat mendengar suaraku tapi tidak terlihat penyesalan di wajah mereka justru mereka menatapku jengkel dan setelah itu pergi meninggalkanku.
Sikap mereka membuatku mendadak ingin memisahkan mereka!
Aku akan melakukannya!
Setelah sembuh aku mulai mencari informasi tentang keluarga Dimas dan setelah lulus aku langsung melamar kerja di perusahaannya.
Aku memaksa otak ku bekerja lebih keras hingga aku menjadi lulusan terbaik dan mengalahkan Ratna, dia jelas tidak senang karena dikalahkan olehku hingga ia tidak mengucapkan selamat kepadaku.
Memang itu tujuanku, menjadi lulusan terbaik jadi aku bisa bekerja di perusahaan milik keluarga Dimas dan menjadi sekretaris ayahnya dan di saat itu lah aku tidak sengaja mendengar ayahnya mengumpat.
"Tinggalkan kekasihmu, atau aku akan mencoret mu sebagai ahli waris ku!"
Itu adalah kalimat terindah yang pernah aku dengar sepanjang hidupku setelah namaku di panggil saat kelulusan dulu.
Demi Dewa Neptunus aku sangat bahagia!
Aku bekerja dengan sangat baik dan giat, tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun meskipun aku masih menjabat sebagai seorang asisten sekretaris utama dan itu membuatku naik jabatan menjadi sekretaris utama dengan mudah begitu sekretaris yang sebelumnya mengundurkan diri karena ingin fokus merawat anaknya.
Posisiku membuatku tahu segalanya tentang Dimas dan kehidupan sempurnanya yang selalu Wendy bicarakan karena Dimas mungkin putra tunggal pewaris Grup Mandala yang bergerak di bidang real estate tapi Dimas sangat buruk dalam bekerja sehingga ayahnya selalu memarahinya kapanpun tidak perduli meskipun aku berada di situ dan menyaksikan pemandangan memalukan itu dan membuat hubungan ku dan Dimas semakin buruk dan aku yakin sikap Dimas juga setengahnya dipengaruhi oleh Wendy yang seperti parasit hanya meminta uang kepada Dimas dan sampai detik ini masih belum lulus kuliah. Dia mungkin cantik tapi dia bodoh! Hahaha kapanpun aku mengingatnya, aku selalu ingin menertawakannya!
Perlahan tapi pasti aku mulai memasuki lingkungan keluarga Dimas dan menjadi dekat dengan ibunya yang kebetulan menyukai aliran musik yang sama dengan ku padahal aku memang mencari tahu informasi tentang kegemarannya dulu sehingga apa yang menjadi tujuanku semakin dekat aku gapai salah satunya dengan sikap ibunya yang setiap akhir pekan selalu meneleponku dan mengajak ku berbelanja. Memperlakukan ku seperti putrinya dan membuat Dimas semakin membenciku.
Tapi persetan dengan Dimas, semakin dia membenciku semakin aku menyukainya.
"Ibu ku terlihat tidak sehat sejak kemarin, jangan ajak dia pergi kemanapun hari ini!" Ucap Dimas yang berdiri di hadapan ku yang sedang duduk menunggu ibunya merias diri karena hari ini adalah jadwal kami pergi ke salon.
"Kenapa tidak kamu saja yang melarangnya, kamu kan putranya. Seharusnya dia lebih mendengarkan mu dibandingkan diriku kecuali jika aku sudah menjadi menantu di rumah ini, aku mungkin akan berani menasehati ibu mu tapi sayang sekali kita masih belum menikah."
Seperti dugaan ku, Dimas langsung terpancing dengan kata-kataku dan langsung menoleh kearah ku dan menatapku dengan tajam lalu tanpa sungkan mendorong tubuhku dengan kasar hingga aku berbaring di sofa lalu dia mulai bergerak mendekat hingga deru nafas kami saling beradu.
"Secantik apapun kamu sekarang, aku tidak akan jatuh cinta padamu..."
Aku tersenyum mendengar kata-katanya yang menyakitkan, mungkin dulu aku sudah terbiasa tersakiti hingga aku tidak mudah gentar sekarang.
"Sayangnya tipe mu hanya wanita cantik karena aku adalah wanita pintar dan cantik jadi sepertinya sulit bagimu jatuh cinta padaku, mungkin kamu takut jika aku jauh lebih pintar dari mu seperti apa yang ayah mu selalu katakan."
Menuang bensin di atas bara api, itulah yang sedang aku lakukan karena Dimas sorot mata Dimas yang semakin menggelap menandakan kemarahannya yang semakin membumbung.
"Jaga bicaramu atau kamu akan menyesal..."
Mungkin Dimas tidak menyadari langkah kaki ibunya yang menuruni tangga karena ia sudah di selimuti oleh kemarahan tapi aku sangat menyadarinya sehingga aku langsung mengubah ekspresi ku menjadi ketakutan, air mataku bahkan sudah menetes.
"Tolong jaga sikap anda pak..."
"Aku tidak akan menjaga sikapku pada wanita sepertimu!"
Aku memejamkan kedua mata ku karena mengira Dimas akan menciumku dengan membabi-buta seperti terakhir kali ia melakukannya saat marah karena ayahnya memarahinya dan seperti yang ayahnya lakukan padanya waktu itu, kali ini ibunya yang menarik bajunya sehingga tubuh Dimas menjauh dari tubuh ku dan langsung menamparnya.
"Apa yang kamu lakukan?!"
Aku masih berpura-pura menangis ketika ibunya Dimas memeluk ku sementara Dimas masih memegangi pipinya dan menatap ku tajam sebelum pergi meninggalkan ku.
"Bye..." Aku sengaja mengejeknya begitu ia menoleh kearah ku sekali lagi dan aku dapat menduga jika besok aku tidak akan baik-baik saja tapi masa bodoh dengan besok, setidaknya hari ini aku berhasil menang darinya.
***