Chapter 50 - Strawberry

"Manis banget!" ujar Mayang yang baru saja menggigit strawberry yang dipetik sendiri olehnya.

"Aku bisa bikin pie atau cake buah pakai ini." ujarku saat melihat keranjang di tanganku yang hampir penuh.

"Makanya sering ke sini dong. Kalau lagi panen kan kalian bisa bawa strawberry pulang." ujar Denada.

Kami sedang berada di lantai paling atas rumah Denada, yang diubah menjadi rumah kaca dengan belasan deret pohon strawberry hidroponik yang sedang matang. Nanny Tris yang memiliki ide memanfaatkan lahan di lantai ini karena sering mengikuti perkembangan pertanian hidroponik dari internet.

Perutku sudah terasa kenyang karena sarapan lima lembar pancake dan salad, maka aku hanya memakan dua buah strawberry saja. Strawberry yang sudah kupetik ini akan kubawa pulang untuk Oma dan Opa.

"Udah metiknya? Kita turun yuk." ujar Denada.

Aku dan Mayang mengikutinya menuju dapur karena sudah merasa puas bermain di area hidroponik sejak pagi. Kami memindahkan strawberry di tempat baru yang terbuat dari rotan dengan penutup di atasnya, lalu menentengnya ke kamar Denada agar tak lupa untuk membawanya pulang sore nanti.

"Nanti bareng aku aja, May. Aku di jemput Pak Said. Kita bisa anter kamu dulu ke rumah." ujarku pada Mayang yang sedang membereskan barang-barangnya.

"Thank you." ujar Mayang.

"Kita mau ngapain lagi? Aku kenyang banget. Mager ih kalau udah di kasur begini." ujar Denada yang sedang merebahkan tubuh di tempat tidur.

Tak lama, terdengar suara pintu diketuk. Aku dan Mayang saling bertatapan dan sepertinya aku lah yang akan membukanya.

Aku beranjak untuk membuka pintu dan terkejut saat menemukan Ibu Astro berada di sana, "Ibu?"

Aku menyalami dan mencium tangannya seperti yang biasa kulakukan. Denada dan Mayang melakukan yang sama saat menyadari siapa yang datang.

Ibu tersenyum padaku, "Ibu ada urusan sama mama Denada, tapi ada Astro di bawah kalau Faza mau ketemu."

Aku menoleh pada kedua sahabatku dan meminta pendapat dalam diam.

"Ga pa-pa, Za. Nanti Mayang biar aku yang anter sekalian keluar. Kamu ketemu Astro aja." ujar Denada.

Aku terdiam. Sepertinya Denada benar-benar akan menjodohkanku dengan Astro, mengingat apa yang dikatakannya di percakapan rahasia kami tadi pagi yang tak diketahui Mayang. Aku beralih menatap Mayang untuk meminta keputusannya, Mayang hanya mengangguk.

"Ibu tinggal ya. Ibu ada kerjaan sama mama Denada. Faza langsung ke Astro aja." ujar Ibu yang segera berlalu.

Aku membereskan barang-barangku ke ransel dan memakainya, lalu menenteng strawberry yang baru saja kupetik sebelum berpamitan pada Denada dan Mayang. Walau sebetulnya aku ragu apakah aku akan benar-benar menemui Astro saat ini.

"Udah. Sana."ujar Denada sambil mendorongku keluar kamar.

"Hati-hati ya, Za." ujar Mayang dengan senyum terkembang di bibirnya.

"Sorry ya aku duluan. Nanti kita bikin jadwal nginep lagi." ujarku sambil beranjak meninggalkan kedua sahabatku dengan berat hati. Entah kapan kami akan saling menginap lagi.

Menuruni tangga rumah Denada tak pernah terasa seberat ini sebelumnya. Namun membayangkan Astro di bawah sana semakin membuatku merasa tertekan. Apa yang harus kukatakan jika kami bertemu?

Kakiku menginjak ruang tamu, tapi tak ada siapapun di sana. Bagaimana jika Astro ternyata sudah pulang karena masih marah padaku?

Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Ada mobil Astro di sana, dengan sosok Astro berada di balik kemudi. Lengannya terlipat di kemudi, dengan wajah tertelungkup di sela lengan hingga aku tak bisa melihat wajahnya.

Apakah dia sakit? Dia tak biasanya bersikap seperti itu.

Aku membuka pintu tengah perlahan untuk menaruh barang-barangku. Aku sempat berniat akan duduk di jok tengah andai saja tak melihat Astro mengangkat kepala dan menatapku dalam diam. Dengan berat hati, kutututup pintu tengah dan duduk di sebelah Astro dalam diam.

Kenapa jantungku berdetak kencang sekali? Aku ingin sekali menoleh, tapi tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Dadaku bahkan terasa sesak.

Aku mengalihkan tatapan pada jendela di sebelahku dan menatapi pantulan sosok Astro dari sana. Kenapa matanya sayu sekali? Benarkah dia sakit? Kenapa pula dengan tangannya yang terluka? Aku ingin sekali bertanya, tapi kenapa justru menghindarinya?

Astro menatapku dalam diam, cukup lama hingga akhirnya menyalakan mobil. Hening di antara kami karena tak ada satu pun yang bicara. Aku pun tak tahu akan dibawa ke mana. Ini bukan arah jalan pulang. Aku ingin bertanya, tapi tenggorokanku tercekat dan tak ada suara yang keluar.

Aku ingat Opa pernah berkata bahwa aku akan aman bersama Astro. Sepertinya aku akan percaya saja. Astro tak mungkin membuat Opa kecewa, bukan? Setidaknya kuharap begitu.

Kami berkendara melewati hutan dengan deretan pepohonan yang tinggi menjulang. Aku ingin membuka jendela agar udara segar bisa masuk dan membantuku bernapas dengan lebih baik, tapi membatalkan niatku karena tak ingin membuat gerakan yang tak perlu.

Entah sudah berapa lama kami berkendara hingga Astro menghentikan mobil di dekat sebuah jurang. Sepertinya sejak tadi kami berkendara di deretan bukit dan sekarang sedang berada di salah satu tebingnya.

Astro keluar dan menyandarkan tubuh pada kap mobil. Dia berdiam diri tanpa melakukan apapun dan hanya menatap jauh ke ujung pandangannya.

Sebetulnya aku enggan sekali keluar. Bahkan rasanya aku ingin pulang saja, tapi ada sesuatu yang harus diselesaikan. Aku tak ingin berlama-lama memiliki jarak dengannya.

Aku keluar dengan membawa salep luka yang selalu ada di ransel dan sekotak strawberry yang kupetik di rumah Denada. Aku meletakkan strawberry di kap mobil dan mengamit tangan Astro sebelum mengoleskan salep di jari-jari tangannya yang berwarna merah kebiruan. Aku tahu dia sedang menatapku walau tak mengatakan apapun.

"Tangan kamu kenapa luka begini?" aku bertanya sambil terus mengoles salep di tangannya. Setidaknya, kegiatan ini memberiku alasan untuk tidak menatapnya.

"Empat hari kita dieman dan yang pertama kamu tanya cuma tanganku?" Astro bertanya dengan nada tersinggung yang jelas sekali.

"Jawab aja kenapa sih?" ujarku sambil menekan lukanya dengan kencang karena kesal, tapi aku melihat tangannya bergetar dan membuatku tak tega, "Sorry, sakit ya?"

Entah bagaimana tiba-tiba saja aku refleks menatapnya. Matanya sayu sekali, seolah tak tidur selama beberapa hari. Namun ada tatapan menderita yang sulit kupahami.

Sebetulnya ada apa dengannya?

"Tangan kamu kenapa?" aku bertanya lagi dan memberanikan diri terus menatap matanya kali ini. Matanya yang menatapku tajam itu terasa mengganggu.

"Cuma ngeluarin energi berlebihan pakai samsak dua jam ..."

"Seriously?"

"Karena ada perempuan ga peka yang bercandanya ga lucu." Astro melanjutkan kalimatnya yang tersela olehku dan membuatku menelan kalimat yang baru saja akan kulontarkan padanya.

Kenapa dadaku terasa sangat berat?

"Kamu pikir aku sebodoh itu ya?" aku karena merasa tersingung dan sepertinya aku akan mengakuinya kali ini. "Aku bisa nunggu kalau emang kamu butuh waktu. Aku juga suka sama kamu, kamu tau?"

Pupil matanya yang berwarna coklat gelap melebar dan entah bagaimana tatapannya berubah lebih lembut. Bibirnya bergetar seolah akan mengatakan sesuatu, tapi dia menahannya.

Aku sudah mengatakannya dan dia tak bereaksi. Situasi ini membuatku merasa canggung. Aku melepas tatapanku padanya dan kembali mengoles salep di kedua tangannya yang terluka.

Apa yang sebenarnya dia pikirkan saat memukul samsak hingga terluka seperti ini?

Bahkan setelah aku selesai mengoleskan salep, dia masih bergeming. Sepertinya aku akan kembali ke mobil saja dan tidur sampai dia mengantarku pulang. Entah kenapa, tubuhku tiba-tiba terasa lelah.

Baru dua langkah aku beranjak darinya, Astro mengamit tanganku dan entah bagaimana aku sudah berada dalam pelukannya, dengan jantungnya yang berdetak kencang di telingaku.

"Aku cuma akan begini sama kamu kali ini. Akan butuh waktu lama kalau kamu mau begini lagi. Kamu minta pun aku ga akan kasih." ujar seolah keheningan kami sebelum ini tak pernah ada. Entah kenapa, terasa nyaman dan hangat. Detakan jantungnya di telingaku semakin kencang. Napasnya yang berhembus di puncak kepalaku terasa hangat.

"Kenapa?"

"Meluk kamu gini bikin aku sakit. Aku laki-laki yang sehat banget, kamu tau?" ujarnya dengan tangan kanannya membelai kepalaku dengan lembut.

Aku mendongak untuk menatapnya, "Kamu bisa lepas kalau emang aku bikin kamu sakit."

Astro menaruh dahinya di dahiku dan sebuah belaian terlepas dari tangannya, "Sebentar lagi. Ini yang terakhir. Aku mau semuanya siap sebelum waktunya. Kamu udah bilang kamu mau nunggu. Kamu harus janji."

Aku tahu betapa kuat dia menahan diri, maka aku akan membiarkannya kali ini, "Aku masih single ya."

Astro menatapku dengan tatapan nanar, "Aku udah janji sama Opa buat jaga kamu baik-baik. Aku ga akan langgar janjiku. Aku akan nahan diri sampai waktunya tepat. Tolong jangan bercanda begitu lagi."

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Regards,

-nou-