Chereads / Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs / Chapter 12 - Hari Pertama

Chapter 12 - Hari Pertama

"Dua ya, Pak." ujar Astro sambil menghentikan kayuhan sepedanya untuk membeli dua botol sari kedelai. Dia menyodorkan satu botol padaku dan memasukkan satu ke ranselnya sebelum melanjutkan mengayuh sepedanya kembali.

Lima tahun berlalu.

Banyak yang berubah di pasar ini. Namun kios sari kedelai itu tetap sama, dengan penjual yang sama dan rasa sari kedelai yang sama yang membuatku penasaran bagaimana dia membuat sari kedelainya memiliki rasa yang selalu konsisten. Dengan kenaikan harga baku selama bertahun-tahun ini, bagaimana dia bisa mengelolanya?

Pertama kali Astro mengajakku melewati pasar ini, kami hanya sedang berkeliling. Namun hari ini berbeda, ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolah formal. Setelah lima tahun bersikeras melanjutkan kegiatan belajar dengan sistem homeschooling pada Opa, akhirnya aku memutuskan untuk bersekolah. Seperti yang bisa ditebak, keputusanku membuat Opa sangat senang. Opa bahkan berjanji akan mengabulkan satu permintaanku. Permintaan apa saja.

Aku melirik jam di lengan, pukul 06.14. Kurasa kami masih memiliki cukup banyak waktu untuk mengganti pakaian nanti.

"Nervous (Gugup)?" Astro bertanya sambil berusaha mengayuh sepeda di sisiku. Dengan wajah dan caranya membawa diri, aku tak akan terkejut jika selalu ada perempuan yang tiba-tiba menoleh dan terpesona.

Berbeda dengan dirinya lima tahun lalu saat kami pertama bertemu, saat di wajahnya masih tersisa raut khas anak-anak. Saat ini tubuhnya tumbuh tinggi sekali, sekitar 170 sentimeter mungkin?

"Sedikit." ujarku singkat.

"Nanti aku kenalin ke temenku, mereka di kelas bahasa juga. They will take a good care of you while I'm not around (Mereka yang jagain kamu kalau aku ga ada)."

"Thank you."

"Kelasku ga jauh kok. Nanti kamu tau."

Selain Opa, Astro lah yang terlihat sangat bersemangat saat tahu aku memutuskan untuk bersekolah. Entah dengan cara apa dia berhasil membujuk Opa untuk memasukkanku ke sekolah yang sama dengannya. Opa menerima saran darinya bahkan sebelum aku sempat mengutarakan niat untuk bersekolah di sekolah yang sama dengan Mayang.

Tak lama, setelah melewati kantor-kantor pemerintahan, kami sampai di depan sekolah dengan plang: SMA AMRETA TISNA, Akreditasi A. Lima tahun lalu saat kami melewati sekolah ini, Astro berkata akan bersekolah di sini. Saat itu aku berpikir bahwa dia adalah anak yang visioner sekali. Coba lihat sekarang, dia benar-benar membuktikan ucapannya.

Mayang memberitahuku beberapa hal saat tahu aku akan bersekolah di sini. Sekolah ini adalah sekolah swasta yang banyak menampung anak orang kaya. Walau ada juga anak-anak yang bisa masuk dengan jalur beasiswa.

Dengan akreditasi A, tak mengherankan jika sekolah ini menjadi sekolah favorit pilihan banyak orang. Aku bahkan mulai bertanya-tanya bagaimana bisa aku masuk ke sini? Apakah karena Opa termasuk orang kaya? Kaya menurut standar siapa?

Mayang juga memberi nasihat untuk sedikit merapikan diri. Aku yang biasanya hanya akan memakai pakaian apa saja yang kuambil dari dalam lemari dan mengepang rambut dengan asal, atau hanya akan memakai topi saat sedang malas merapikan rambut. Dengan kondisi baruku yang harus bersekolah, Mayang menyempatkan diri mengajakku ke salon untuk memotong rambut. Dia juga menemaniku membeli beberapa pakaian baru dan berbagai perlengkapan yang kubutuhkan.

"Kamu mau masuk SMA AMRETA TISNA. Kamu ga boleh keliatan gampang diintimidasi, Faza." kalimat favoritnya saat kami berbincang saat itu bahkan masih terngiang di telingaku.

Sebetulnya kalimatnya itu membuatku gugup. Aku yang biasanya akan menghindar dari kerumunan, kurasa tak bisa lagi menghindarkan diri dari sosialisasi mulai sekarang. Aku bahkan sempat bergidik saat Mayang menggunakan kata "intimidasi". Aku hanya akan bersekolah dan bukan bertempur di medan perang, bukan?

Astro yang mengarahkan rute sejak kami memasuki gerbang sekolah. Kami berbelok dan sampai di sebuah lahan parkir sepeda dengan deretan tiang besi khusus yang terlihat baru. Entah apakah kami yang datang terlalu pagi, tapi sepertinya di sekolah ini hanya kami berdua murid yang baru datang.

Dia mengajakku berganti pakaian. Tak jauh dari tempat parkir sepeda ada dua pintu toilet yang terpisah laki-laki dan perempuan. Saat aku memasuki toilet perempuan, ada tiga keran khusus cuci tangan dan empat kubikal toilet yang terlihat cukup besar. Aku memilih satu kubikal dan mengelap tubuh yang berkeringat sebelum memakai seragam baru.

Aku mencuci wajah setelah keluar dari kubikal, merapikan rambut dan memakai sedikit parfum di pergelangan tangan. Kemudian melipat kaos dan celana yang kupakai untuk bersepeda dan memasukkannya ke dalam tas khusus pakaian ganti.

Astro sedang bersandar pada dinding di seberang toilet dengan ransel di bahunya dan tas jinjing di tangan kirinya. Dia memandangku dari atas, ke bawah dan kembali, "Kamu cocok pakai seragam."

Aku mengangguk. Kami memakai seragam dengan corak yang sama. Kemeja putih tulang berpadu jingga hangat di kerah dan ujung lengan. Rok panjang dan celana panjang dengan warna jingga hangat yang sama. Sebetulnya ada blazer sekolah berwarna jingga senada, tapi aku menyimpannya di dalam ransel. Sepertinya Astro juga malas memakainya.

"Belum ada jam tujuh, kita bisa keliling sebentar. Biasanya anak-anak baru dateng jam setengah delapan." ujarnya sambil mengajakku masuk dari pintu utama. Kami menyusuri koridor panjang dan berbelok ke sebuah kantin berukuran besar. Ada banyak deret kursi dan meja, juga deret etalase dengan berbagai penjual yang sedang menyiapkan makanan.

"Tumben dateng pagi, Den?" sapa salah seorang pria di belakang etalase bertuliskan gado-gado.

"Iya, Pak. Lagi nemenin anak baru." ujar Astro sambil melirik padaku.

Aku menundukkan bahu dalam diam sebagai tanda perkenalan. Pria itu tersenyum dan mengangguk. Entah kenapa ini terasa canggung bagiku hingga aku memilih untuk mengikuti Astro saat dia duduk di kursi terdekat.

Dia membuka ransel dan mengeluarkan dua buah kotak makan, lalu menyodorkan satu padaku, "Jam segini belum ada yang jualan. Sarapan dulu."

"Thank you. Kalau gitu besok aku bawa bekal sendiri."

"Bawa dua ya." ujarnya setelah menelan suapan pertamanya.

Aku hanya mengangguk. Nasi goreng kornet dengan telur dan tumis brokoli sosis di hadapanku ini enak sekali. Aku menghabiskannya tak lebih dari lima belas menit dan meneguk sari kedelai saat ada beberapa murid lain datang. Aku menyadari mereka melirik ke arah kami dan berbisik entah apa.

"Udah?" Astro bertanya. Aku hanya mengangguk dan dia merapikan kotak makanan kembali ke ranselnya. "Kita keliling sambil aku anter kamu ke ruang guru. Kamu harus lapor dulu kan."

Kami beranjak dan meninggalkan tatapan semua orang yang ingin tahu. Kemudian Astro mengajakku menyusuri koridor yang tadi kami lewati dan kami tiba di sebuah ruang lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk upacara dan berbagai kegiatan. Dia menjelaskan berbagai gedung dan kegunaannya. Dia memberitahu letak ruang musik, laboratorium dan aula yang besar sekali yang ternyata terpisah dengan bangunan utama. Dia juga memberitahu letak lapangan olahraga indoor di sisi lain di belakang gedung utama. Dia akan mengajakku ke sana saat jam istirahat atau pulang sekolah.

Kami melewati satu dinding yang penuh dengan tempelan berbagai macam ukuran dan bentuk. Yang paling menarik minatku adalah sebuah poster berukuran besar dengan tulisan: Mau hidup sehat? Ayo ke sekolah bawa sepeda.

"Kelas kita ada di lantai tiga. Kelas kamu ada di sana (menunjuk lantai tiga ujung gedung), kelasku ada di deret ini (menunjuk tepat ke atas kami). Kita masih satu lantai. Kelas kamu keliatan dari kelasku kok." Astro menjelaskan.

Kami masuk ke sebuah ruangan besar dengan banyak rak buku berderet, juga banyak kumpulan meja dan kursi di berbagai sudut. Terdapat beberapa murid di ruangan ini, dua perempuan dan satu laki-laki sedang duduk berkerumun di meja yang sama. Kurasa kami sedang menghampiri mereka.

Astro menepuk bahu laki-laki yang terlihat terkejut. Laki-laki itu segera merapikan buku-buku dihadapannya. Aku sempat melihat beberapa buah komik di antara buku-buku itu.

"Sialan! Kirain ketauan bu Jun." ujarnya sesaat setelah melihat Astro. Kurasa dia berniat memukul Astro dengan salah satu bukunya, tapi dia membatalkan niat saat melihatku.

"Ini Faza." ujar Astro sambil melirik ke arahku. "Itu Tasya (menunjuk ke perempuan dengan rambut kuncir kuda), Donna (menunjuk ke perempuan dengan rambut ikal panjang), yang ini Beni (menunjuk ke laki-laki di depanku)."

"Faza." ujarku sambil menyalami mereka satu-persatu. Mereka tersenyum padaku dan kembali memperkenalkan diri.

"Tasya sama Donna sekelas sama kamu. Beni di kelas bahasa juga, tapi di kelas sebelah kamu." Astro menjelaskan dan tatapannya terpaku pada Beni seolah merasa aneh. "Ngapain di sini, Ben?"

"Biasa ... ketemu bebeb bentar." ujar Beni sambil melirik ke arah Donna, yang langsung memutar bola matanya.

"So, is she the one you've been talk so much before (Jadi, dia yang kamu omongin terus belakangan ini)?" Donna bertanya.

Astro hanya mengangguk.

"Duduk sini, Za." ujar Tasya sambil menepuk kursi di sebelahnya.

"Sorry, tapi dia harus lapor dulu ke ruang guru." ujar Astro sambil menghalangi langkahku saat aku akan mendekat ke Tasya.

"Nanti kita ketemu lagi di kelas. Aku punya banyak pertanyaan." ujar Donna padaku dengan senyum lebar.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. Astro mengajakku keluar dan kami melewati beberapa ruangan lain sebelum sampai di ruang guru. Dia mengetuk dan memberi salam sebelum masuk, lalu mengajakku ke salah satu meja yang sepertinya sudah sangat dia kenali.

"Pagi, Bu Gres." sapa Astro.

"Pagi, Astro."

"Astro mau nganter anak baru."

"Mafaza?"

Aku mengangguk dan mengulurkan tangan untuk menyalaminya, "Mafaza Marzia, Bu."

"Gresiana Hanindya. Saya home teacher (wali kelas) kamu." ujar Bu Gres sambil menyambut uluran tanganku. "Kita lapor ke kepala sekolah dulu ya. Astro bisa kembali ke kelas."

Astro mengangguk dan undur diri. Dia memberi isyarat padaku dengan menunjuk ke handphonenya. Aku tahu dia memintaku untuk menghubunginya, maka aku mengangguk.

Bu Gres menatapku dengan tatapan seperti sedang menimbang sesuatu, "Sebelumnya, I have some questions (Ibu punya beberapa pertanyaan). Kenapa milih kelas bahasa? Apalagi semester pertama kelas sebelas udah jalan sekitar sebulan. Kebanyakan anak baru akan ambil kelas sosial buat cari aman."

"Itu karena saya baca satu buku beberapa bulan lalu. Katanya, bahasa adalah sarana utama untuk berpikir dan bernalar. Saya mau belajar lebih banyak tentang itu."

"Begitu, ya? Ibu udah lihat catatan nilai kamu selama kamu homeschooling, nilai eksakta kamu bagus sekali. Kenapa ga ikut Astro ambil kelas sains? Looks like both of you are close enough (Kayaknya kalian berdua deket)."

=======

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte

Novel ini TIDAK DICETAK.

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!

Hati-hati kebaperan kalian dimulai di sini. Hati-hati! Jangan bilang nou ga ngasih peringatan ya ^^

Enjoy your journey with Faza & Astro ♡

Regards,

-nou-