Bel masuk pun berbunyi, seluruh siswa-siswi memasuki kelasnya masing-masing. Termasuk dengan seorang siswa berambut hitam keputihan pendek, seragam putih dengan dasi abu-abu, celana abu-abu panjang, ikat pinggang hitam, sepatu hitam putih, kaos kaki putih panjang sedikit melewati mata kaki, dan matanya meperlihatkan kalau dia sedang malas atau mengantuk. Dengan ekpresi malas atau mengantuk, dia berjalan menuju bangkunya yang terletak paling depan. Setelah duduk, dia menompang dagunya dengan satu tangan, kepalanya melihat ke arah luar jendela. Tak lama kemudian, pak guru masuk ke kelas siswa itu.
Pak guru itu meminta ketua kelas untuk memulai kegiatan dengan berdoa. Ketua kelas yang adalah seorang siswi pun mengucapkan untuk berdoa secara lantang. Tentu, siswa berwajah terlihat malas atau mengantuk itu terpaksa harus menghentikan kegiatan memandangi langit biru dan langsung memenjamkan matanya untuk berdoa. Setelah beberapa detik, semua murid membuka matanya. "Selamat pagi, pak!" teriak mereka bersamaan.
"Selamat pagi, anak-anak. Hari ini karena tidak ada upacara, jadi seperti biasa akan digantikan dengan pembinaan. Sebelum itu, bapak akan mengabsen kalian." Pak guru yang sudah duduk di kursinya itu membuka buku absen. Pak guru itu menyebutkan satu-persatu murid-muridnya. Lalu, pak guru itu sampai di sebuah nama. "Likyter."
Siswa yang duduk di depan dengan wajah malas atau mengantuk itu pun mengangkat tangan kanannya. Setelah pak guru menyebut nama murid lain, siswa bernama Likyter itu menuruni tangannya dan memandangi kembali langit, kali ini tidak menompang dagunya.
Selesai mengabsen, guru itu pun berdiri. "Ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan, karena sebentar lagi adalah ulangan semester. Bapak harap kalian semua belajar dengan giat, dan menyelesaikan tugas-tugas yang kosong. Bapak harap juga kalian semua saat menghadapi ujian nanti jujur."
"Baik, pak," jawab mereka.
Kemudian, bapak guru itu memulai kegiatan pembinaan kelasnya. Likyter, dia terlihat seperti menyimak perkataan gurunya itu, tapi sebenarnya pikirannya tidak fokus.
***
Waktunya istirahat. Likyter, dia masih duduk di bangkunya, menatap langit. Tanpa dia sadari, sesosok makhluk berkepala serigala, seluruh tubuhnya berbulu putih lebat, tangan berbulunya memiliki cakar kecil tapi runcing, memakai seragam sama dengan Likyter, dan ada ekor kecilnya yang berbulu menembus celana belakangnya. Dia berjalan mendekati Likyter, lalu dia duduk di sebelah Likyter yang kebetulan kursinya kosong.
"Woi, Likyter. Masih memikirkan menjadi petualang?" tanya siswa manusia serigala itu dengan suara agak menakutkan.
"Begitulah," jawab Likyter.
"Memangnya apa enaknya menjadi petualang? Memburu monster, berkelana, atau mencari pekerjaan untuk berburu. Pasti sangat melelahkan," terang siswa manusia serigala.
"Sudahlah, Basch. Pendapat orang itu beda-beda," ucap seorang siswi bertelinga runcing yang mendekati mereka. Siswi ini adalah elf, rambutnya hijau panjang, mata hijau cerah, berkulit putih, dan berwajah cantik. "Aku yakin bagi Likyter itu adalah hal yang menyenangkan. Iya, kan, Likyter?"
"Entahlah," jawab Likyter.
"Lucy, kau selalu saja membela Likyter. Apa jangan-jangan kau suka dengan Likyter?" goda Basch.
"A-Aku tidak me-menyukai Likyter!" bentak Lucy.
"Benarkah?" goda Basch lagi.
"Benar!!"
Selanjutnya akibat Basch terus menggoda Lucy, pertengkaran adu mulut pun terjadi. Likyter, dia meninggalkan mereka berdua karena merasa risih.
***
Likyter sekarang sedang berjalan menuju rumahnya. Tangan yang dimasukkan di kedua saku celanannya, sedikit membungkukkan badannya ke depan, wajahnya mengukir kalau dia seorang pemalas, dan matanya terlihat mengantuk. Tak lama kemudian dia sampai di depan pintu rumah yang tidak terlalu besar. Perlahan dia membuka pintunya.
"Aku pulang," ucap Likyter.
"CEPAT KEMARI, LIKYTER!!" teriak seseorang yang terdengar lantang dan keras.
Likyter membuka sepatunya, lalu menyimpannya di rak sepatu di sampingnya. Dengan kepala yang menunduk, ekpresinya berubah menjadi tegang. Likyter pun berjalan menuju ruang tamu yang berada di pintu samping beberapa langkah dari pintu masuk rumah. Di sana, seorang pria berambut hitam pendek, kumis tipis, badan gemuk, kemeja putih dengan dasi merah, jas hitam, celananya hitam panjang, dan di kedua tangannya ada pedang kayu. Pria itu sedang berdiri dengan ekpresi wajah marah.
"Kau berlatih lagi, ya?!!" Pria itu langsung melempar pedang kayu itu, mengenai kaki Likyter. "Sudah kubilang, jangan berlatih pedang atau apapun itu yang berhubungan dengan petualang!! Kau seharusnya fokus belajar supaya bisa meneruskan perusahaan ayah!!" bentak pria yang mengaku ayah Likyter. "Kenapa kau selalu saja melawan ayah?!! Kau tidak puas hidup aman seperti ini?!! Kau ingin mencari masalah seperti para petualang yang mencari mati?!!"
Likyter hanya bisa diam seribu bahasa, membiarkan telinganya diserang oleh amarah ayahnya. Kemudian, dari belakang seorang wanita berambut hitam panjang sebahu, baju rajut kuning berlengan panjang, rok abu-abu selutut, wajahnya terlihat cukup dewasa. Wanita itu mendekati ayah Likyter dengan koper hitam di tangannya.
"Ayah, sudahlah, jangan terlalu kasar," bela wanita itu.
"Anak seperti dia memang harus dididik dengan keras, ibu!"
"Sudah-sudah, sekarang ayah sebaiknya segera pergi. Ayah ada meeting, kan?"
Dengan wajah yang masih memperlihatkan kemarahan, pria itu mengambil koper yang diberikan oleh wanita itu. Lalu berjalan dengan langkah keras, dan menabrak lengan Likyter. Likyter hanya diam saja setelah mendapatkan hal itu, bahkan dia masih saja berdiri di pintu setelah ayahnya pergi. Melihat hal itu, wanita itu mendekati Likyter. Wanita itu menaruh kedua tangannya di kedua bahu Likyter, dia mendongak kepalanya untuk melihat wajah Likyter karena tinggi mereka beda cukup jauh.
"Likyter, ayahmu hanya ingin yang terbaik untukmu, jangan terlalu dibawa ke hati, ya? Oh iya, hari ini ibu akan membuatkan makanan kesukaanmu. Sekarang kau ganti dulu baju, dan langsung mandi," ucap ibu Likyter dengan nada lembut. Likyter hanya menjawab dengan anggukan dan pergi ke lantai atas.
Setelah mengganti baju dan mandi, Likyter pun berjalan kembali ke ruang tamu. Di sana, di atas meja sudah tersedia hidangan makan untuk Likyter dan ibunya. Selesai makan, Likyter kembali ke kamarnya. Dengan wajah yang terlihat murung, dia duduk di kursi meja belajarnya. Dia terlihat sangat tertekan, karena keinginannya dan harapan orangtuanya bertolak belakang. Seperti yang kalian ketahui, kedua orangtuanya ingin sekali Likyter menjadi anak yang berprestasi, tapi berbeda dengan keinginannya menjadi petualang. Likyter bahkan harus berlatih sembunyi-sembunyi, terus berlatih walau sudah ketahuan dan dimarahi, itulah tandanya kalau Likyter bersungguh-sungguh.
Lalu suara ketukan terdengar dari pintu kamar Likyter. "Likyter, ini ibu. Ibu boleh masuk?"
Likyter pun berdiri dan berjalan ke pintu untuk membukakan pintunya. "Ada apa, bu?" tanya Likyter dengan nada murung.
Ibu Likyter tidak menjawabanya, dia memasuki kamar Likyter dan duduk di ranjang Likyter. Ibu memberikan isyarat supaya Likyter duduk di sampingnya. Likyter mengerti, dia langsung duduk di sebelah ibunya. "Likyter, jujur ibu sangat setuju sekali menentang kau menjadi petualang. Ibu tidak mau hidupmu terancam, kesulitan mencari uang karena pekerjaannya sulit, jalan jauh-jauh dan nantinya tersesat… Ibu ingin kau hidup aman, dan layaknya seperti orang biasa. Tapi, ibu tidak ingin juga melihatmu bersedih seperti ini terus…" Tiba-tiba kedua mata ibu Likyter mengeluarkan air mata. "Tanpa ibu sadari, ternyata apa yang ibu dan ayah lakukan adalah selalu menekanmu. Apa gunanya menjadikanmu sebagai boss yang hidupnya terjamin, tapi tidak nyaman. Apa enaknya menjadi seseorang yang berpengetahuan luas, kalau tidak bisa menggunakannya dengan baik karena tidak menyukainya. Apa…" Air mata ibu Likyter semakin sering keluar dari matanya.
Likyter yang melihat itu pun langsung mengambilkan tisu yang ada di meja belajarnya, lalu mengusapkan air mata ibunya. "Ibu…" panggil Likyter halus.
"…Likyter, umurmu sudah 16 tahun, berarti kau sudah mulai besar. Kau harus memilih jalan hidupmu mulai sekarang… Apapun pilihanmu, ibu akan tetap mendukungmu."
"Terima kasih, ibu." Likyter pun memeluk ibunya dengan berlinang air mata, begitu juga dengan ibunya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang kencang. Sontak mereka berdua langsung terfokus ke arah pintu. Ternyata, ayah Likyter datang dengan wajah terkejut.
"Ada monster! Ada monster memasuki tempat ini!! Kita harus pergi!" teriaknya.
Tentu saja ibu Likyter langsung menarik lengan Likyter dan membawanya pergi. Mereka bertiga pun dengan sekuat tenaga lari mencari tempat aman atau mungkin ada tempat pengungsi. Setelah di luar, ternyata banyak sekali orang-orang yang berlari seperti mereka dan monster-monster kecil mengejar. Bahkan, suara tembakan, benturan besi, atau teriakkan terdengar.
Ayah Likyter yang memimpin. Mereka terus berlari tanpa mempedulikan ada orang yang tertangkap oleh monster di sekitar mereka, atau mungkin mereka ingin membantu tapi tidak bisa melakukannya. Tiba-tiba, seekor monster berlengan batu, bertubuh besar namun tidak dilapisi batu, kedua mata merahnya menempel di badan itu, dan cukup tinggi. Monster itu menghadang mereka bertiga di depan.
Ayah Likyter berbalik. "Ibu, bawa Likyter ke tem-" Belum selesai kalimatnya, ayah Likyter sudah dipukul dari samping. Dia terhempas cukup jauh sampai punggungnya menabrak tembok rumah.
"Ayah!!" teriak ibu Likyter. Dia pun mendorong Likyter menjauh. "Likyter, cepat pergi cari tempat aman."
"Tapi…"
"Sudah cepat!! Nanti ibu menyusul bersama ayahmu!"
Dengan gemetar, Likyter berlari menjauh. Bersamaan dengan itu, ibu Likyter langsung dipukul dari samping juga sama seperti ayah Likyter. Mereka berdua sekarang hanya bisa duduk dengan seluruh tubuh yang terasa sangat kesakitan sekali, bahkan ada darah yang keluar dari mulut mereka. Monster itu membiarkan Likyter pergi, karena Likyter sudah berlari cukup jauh. Tapi, sebagai gantinya monster itu mendekati ibu dan ayah Likyter yang sudah kelelahan.
Perlahan Likyter menurunkan kecepatannya, dan akhirnya berhenti. Likyter berbalik, dia bisa melihat monster tadi berjalan dengan pelan menuju kedua orang tuanya. Sekarang Likyter sedang diambang kebingungan, antara mencoba menolong orangtuanya atau lari mengikuti perintah orang tuanya.
Bila dia menolong orang tuanya, apakah ada jaminan mereka akan selamat? Kalau dia lari, perasaannya akan hancur karena mengingat dirinya yang menjadi pecundang membiarkan orangtua mati. Itulah yang melanda di pikiran Likyter.
Lalu, dia teringat dengan kalimat ibunya. 'Ibu akan mendukungmu apapun pilihanmu'. Setelah itu, Likyter memasang wajah senyum kecil, kemudian dia berlari dengan cepat menuju monster itu. Setelah dekat, Likyter meloncat dan mengunci tubuh monster itu… Kurasa kurang tepat disebut mengunci, karena tubuh monster itu besar jadi malah terlihat seperti Likyter memeluk monster itu.
"LIKYTER!! Kenapa kau tidak lari?!!" teriak ayahnya.
"Aku…Aku tidak ingin kehilangan kedua orangtuaku lagi!!" teriak Likyter, lalu dia menutup kedua mata monster itu dengan tangannya sambil menguatkan kunciannya.
Tentu saja monster itu merasa terganggu dengan 'pelukan' Likyter, jadi dia menggoyang-goyang tubuhnya sendiri supaya Likyter terlepas.
"BODOH!! Cepat lepaskan monster itu dan pergi!!" teriak ayahnya lagi.
"Tidak! Aku tidak akan melepaskannya! Karena aku adalah seorang PETUALANG!!" balas Likyter yang sedang berusaha tetap mengunci monster itu supaya tidak terlepas.
Tentu ayah Likyter yang mendengar itu ingin sekali membantahnya, tapi karena tubuhnya sudah mulai lelah dan rasa sakitnya semakin terasa. Beda dengan ibunya, dia malah tersenyum kecil melihat anaknya yang sudah memutuskan keputusan.
Monster ini semakin kesal, jadi dia memutuskan untuk meloncat ke belakang, lalu ke samping, dan terus meloncat kesana-kemari supaya Likyter terlepas. Likyter semakin kesulitan untuk mempertahankan 'pelukan'-nya. Sebuah ide terlintas di pikiran Likyter, yaitu menusuk mata monster itu. Likyter pun menusuk mata monster itu dengan jarinya.
Tapi, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Malah, monster itu semakin mempercepat loncatannya. Likyter mulai lemah, jadi saat monster itu meloncat, 'pelukan' Likyter terlepas dan tubuhnya melayang di atas. Monster itu sudah mendaratkan kakinya, dan Likyter sekarang terjun ke arah monster itu. Mendengar teriakkan Likyter, monster itu menyadari kalau Likyter sedang terjun ke arahnya. Jadi, dengan mata yang masih kesakitan, monster itu berbalik dan mengayunkan tangannya. Berhasil mengenai perut Likyter.
"Argghhh!!" Likyter pun terhempas cukup jauh.
"LIKYTER!!" teriak kedua orangtuanya.