Chereads / ATNIL / Chapter 22 - RUTE SHIINA PENYELESAIAN: PERASAAN APA INI?

Chapter 22 - RUTE SHIINA PENYELESAIAN: PERASAAN APA INI?

Shiina POV

Hmm… ini aneh. Benar-benar aneh. Setelah dipikir baik-baik ini memang aneh sekali. Kenapa Laura mau dekat dengan Kiki-san? Aku bisa mengerti kalau Kiki-san yang dekat atau tepatnya berusaha mendekati Laura, karena memang sudah sewajarnya laki-laki bodoh yang mengutamakan nafsu untuk mendekati gadis secantik Laura. Buktinya saja hampir semua murid laki-laki di sekolah mendekati bahkan sampai menembak Laura, selain itu aku dengar di luar sekolah pun ada yang melakukan itu juga. Namun, dari sekian banyak laki-laki yang mendekatinya tidak ada satu pun yang menarik perhatian Laura. Mereka berakhir ditolak dan diabaikan.

Aku dengar dari Laura, kalau dia sendirilah yang mendekati dan memperkenalkan diri kepada Kiki-san. Lalu, aku menanyakan alasan kenapa dia ingin mendekatinya. Dan jawabannya adalah…

Karena dia menarik.

Kiki-san tidaklah tampan atau pintar, bahkan tidak memiliki hal yang spesial. Laki-laki seperti dia bisa ditemui di mana saja. Yah, yang berbeda hanya asal dia lahir dan warna kulitnya yang kuketahui namanya hitam sawo. Tapi, tetap saja itu bukanlah hal yang menarik karena orang asing banyak berkeliaran di mana-mana. Bahkan ada yang lebih tampan, pintar, dan kaya dari dia.

Sudah dua minggu sejak mereka berkenalan dan perkembangannya cukup besar daripada disebut hanya sekedar 'kenal'. Kadang-kadang, di sela-sela waktu istirahat aku lihat Laura memainkan handphonenya. Setelah kutanya, katanya dia sedang kirim pesan atau disebut chatting dengan Kiki-san sambil menunjukkan buktinya. Ini benar-benar menjadi bukti kalau mereka bukan hanya sekedar 'kenal' tapi bisa menuju yang lebih tinggi lagi.

Hal ini hanya diberitahukan kepadaku saja, Laura tidak memberitahu kepada yang lain. Katanya, ini harus dirahasiakan karena cukup memalukan dan supaya teman-teman tidak mengolok-ngoloknya, terutama agar tidak membuat para laki-laki di sekolah ribut besar. Alasan hanya aku yang tahu adalah karena aku dan Kiki-san terlihat dekat, jadi Laura bisa menanyakan hal-hal tentang Kiki-san.

Tentu aku yang merupakan sahabat terbaiknya tidak akan membohonginya, apapun pertanyaannya tentang Kiki-san yang kuketahui akan dijawab dengan baik. Laura sudah sangat banyak sekali membantuku, itulah kenapa aku tidak berani mengkhianatinya walau aku cukup merasa kurang nyaman kedekatannya dengan Kiki-san.

Seperti yang diketahui, aku meloncat kelas karena kepintaranku. Sehingga aku harus bergabung dengan orang-orang yang lebih tua dariku. Hal itu membuatku sulit untuk berbaur, karena mereka kurang nyaman dengan orang yang lebih muda dan aku bingung menghadapi lingkungan baru secara mendadak. Alasan itu juga menjadi penyebab aku berhenti meloncat kelas lagi agar kondisinya tidak bertambah buruk. Tapi, sejak Laura mendekatiku semuanya berubah. Semua teman sekelasku mau dekat denganku dan aku bisa berbaur dengan baik. Itulah yang membuat Laura menjadi sahabat terbaikku dan alasan baru aku tidak mau meloncat kelas lagi.

Walau aku berusaha untuk menerima kedekatan mereka berdua, tapi tetap saja ada yang mengganjal di hatiku sehingga rasa tidak nyaman tercipta. Aku tidak tahu tepatnya kenapa. Maka dari itu, sekarang aku memanggil Gadis-san yang bersedia mendengarkan masalahku dan mungkin mengetahuinya.

Sekarang kami sedang di kamarku, duduk di atas karpet bulu dan di depan meja yang di atasnya sudah ada dua gelas teh dan mangkuk kecil berisi cemilan.

"Hahahahaha!" tawa Gadis-san cukup keras setelah mendengar masalahku.

"Kenapa malah tertawa?!" kesalku.

"Maaf-maaf, tadi aku tiba-tiba teringat adegan lucu di film yang kutonton," balas Gadis-san. "Maaf, Shi-chyan. Aku tidak tahu kenapa kau merasakan hal seperti itu."

"Begitu…"

"Tapi, kurasa suatu saat kau akan mengetahui perasaan apa yang mengganjal dalam dirimu itu."

"Kenapa kau bisa yakin seperti itu? Padahal tadi kau bilang tidak tahu."

"Ada pepatah mengatakan, 'biar waktu yang menjawab'. Bisa saja nanti kau mengetahui jawabannya dari orang lain tanpa sengaja atau kau dengan sendirinya mengetahui jawabannya."

"Benar juga…"

"Oh iya, kau beli di mana boneka itu?"

Aku pun mengangkat boneka beruang yang sedang kupeluk agar dapat dilihat jelas Gadis-san. "Aku bukan membelinya, tapi ini pemberian dari Kiki-san."

"Hmm… Sepertinya kau sangat menyukai boneka itu."

"Iya, memang aku menyukainya. Ah, tapi aku menyukainya bukan karena ini pemberian dari Kiki-san!"

"Aku tidak mengatakan hal itu. Bukankah wajar kalau boneka seimut itu disukai olehmu."

"I-Itu…" Aku langsung kembali memeluk boneka beruang ini dan menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu.

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba menyangkal pernyataan Gadis-san dengan alasan seperti itu. Padahal cukup menjawab iya dan tidak perlu menyangkal. Kenapa aku melakukan itu?!

"Oh iya, apa Ki-chi akan datang ke sini siang nanti?"

"Tidak. Kenapa juga dia harus datang ke kamarku?"

"Biasanya kan kalau dia ingin belajar, dia akan datang ke sini."

"Iya, itu benar. Tapi dia tidak melakukannya setiap hari, hanya hari-hari tertentu. Misalnya saat mau ulangan atau kalau ada pekerjaan rumah yang sulit baginya."

"Kalau begitu, seharusnya dia datang ke sini. Aku dengar dari Avira-chyan kalau senin nanti kelasnya akan ulangan harian."

"Benarkah? Tapi Kiki-san tidak mengirim pesan untuk memintaku membantunya belajar."

"Kalau begitu, sekarang kau temui dia dan tawarkan bantuan."

"Ke-Kenapa juga aku harus melakukan itu? Dia kan yang membutuhkanku, harusnya dia sendiri yang meminta atau datang kepadaku. Bukan malah aku yang datang kepadanya."

"Mungkin saja Ki-chi segan meminta tolong kepadamu kali ini, karena dia merasa tidak enak terus meminta tolong kepadamu. Apalagi aku dengar kau selalu saja memarahinya."

"A-Aku bukan memarahinya… memang bisa dibilang memarahinya, tapi itu karena dia bisa paham dan mau serius di saat aku mengajarinya dengan tegas. Selain itu, dia akan mengatakan sesuatu yang tidak perlu sehingga konsentrasi belajarnya berkurang kalau tidak dibegitukan."

"Mengatakan sesuatu yang tidak perlu? Memangnya seperti apa?"

"Misalnya 'kau sangat pintar sekali', 'kau hebat sekali', atau 'aku senang bisa belajar denganmu'."

"Hahahahah!" tawa Gadis-san tiba-tiba.

Aku pun jadi kaget dan langsung melontarkan keterkejutkanku. "Kenapa ketawa lagi?!"

"Maaf-maaf… Sudahlah, sebaiknya kau cepat temui Ki-chi. Ini hari libur, jadi kurasa dia sekarang sedang bermalas-malasan di rumah. Apalagi tugas mencuci piring atau belanjanya bukan hari ini."

"Baiklah. Ah, aku melakukan ini bukan karena peduli kepadanya! Ini karena Intan-san!"

"Iya-iya. Kalau begitu, aku kembali ke kamarku. Semoga berhasil~"

Gadis-san pun langsung keluar dari kamarku, dengan bersenandung riang. Kemudian aku merapihkan kamarku dulu sebelum pergi ke tempat Kiki-san. Tapi, sebelum ke tempat Kiki-san, aku mencari dia di seluruh ruangan asrama ini. Sayangnya dia tidak ada, jadi aku langsung ke tempat Kiki-san.

Sekarang aku sudah berdiri di depan pintu rumah khusus pemilik asrama. Langsung saja aku mengetuk daun pintu di depanku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara langkah mendekati pintu. Lalu, daun pintu pun terbuka dan sosok yang membukakannya terlihat.

Tadinya aku ingin mengucapkan 'selamat pagi' untuk sapaan, tapi karena sosok yang membukakan pintu bukanlah sosok yang kukira, jadinya aku diam terkejut. Dia adalah seorang gadis cantik yang tidak asing bagiku, bahkan aku sangat mengenalnya.

"Oh, ternyata Shiina."

"Kenapa kau bisa ada di sini, Laura?" tanyaku kaget.

"Aku sedang membantu Kiki belajar~" jawab Laura dengan nada bahagia.

"Laura, siapa yang da- Oh, ternyata Shiina." Kiki-san pun muncul di belakang Laura. "Ada perlu apa?"

"A-A-Aku…"

Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Mengesampingkan kebingunganku. Kenapa Laura tidak pernah bilang akan membantu Kiki-san belajar dan apa mereka belajar bersama tanpa sepengetahuanku sudah lama? Ah, pantas saja Kiki-san tidak memintaku membantunya belajar belakangan ini. Selain itu, entah kenapa aku merasa sakit di dada mengetahui hal ini.

"Shiina, kau baik-baik saja?" tanya Kiki-san yang sudah ada di depanku sambil melambaikan tangan di depan mataku.

"A-Aku baik-baik saja. Tidak perlu kau peduli kepadaku!" jawabku dengan nada kesal.

"Eh, ke-kenapa tiba-tiba kau marah?" bingung Kiki-san.

"Siapa yang marah? Aku tidak marah!"

Entah kenapa perasaanku bergejolak begini. Rasanya begitu sesak dan panas, seolah-olah ada api di dalam kepalaku. Ada apa denganku, ya?

"Kiki, Shiina sedang sensitif sekarang. Jadi, jangan terlalu mengganggunya," ujar Laura tiba-tiba. "Aku lupa memberitahumu, kalau aku meminta tolong Shiina untuk membantu juga. Aku tidak sepintar Shiina, jadi untuk jaga-jaga aku memanggilnya kalau ada pelajaran yang tidak bisa aku bantu."

"Be-Begitu… Ah, kalau begitu ayo masuk."

Sekarang kami sudah di kamar Kiki-san. Kondisi kamarnya rapih, tidak seperti yang aku dengar dari teman kalau anak laki-laki malas sekali merapihkan kamar. Tapi, aku paham kenapa kamar ini rapih. Pasti ini karena kedatangan Laura.

Kami duduk di atas lantai kayu, dengan meja persegi yang sudah dipenuhi oleh beberapa buku tulisan dan buku pelajaran. Kiki-san dan Laura duduk bersebelahan, sedangkan aku di seberang mereka.

Untuk penjelasan, Laura juga memiliki kepintaran di atas rata-rata sama sepertiku. Dia juga memahami pelajaran setingkat SMA. Berkat kepintarannya ini, Laura sering dimintai tolong teman-teman untuk membantu belajar. Tapi berbeda denganku, dia tidak pernah meloncat kelas walau sepintar itu.

"Hehhh… jadi begitu. Aku paham. Ternyata kau pandai sekali mengajar, Laura," puji Kiki-san.

"Baguslah kalau kau paham~" balas Laura dengan nada bahagia, lalu memasang wajah tersenyum senang.

Aku tidak menyangka Laura akan memasang wajah senangnya kepada laki-laki, bahkan sampai terlihat ramah sekali. Padahal seingatku dia selalu saja dingin kepada laki-laki, sama sepertiku. Tapi kenapa kepada Kiki-san dia seperti itu?

Selain itu, apa-apaan dengan perkataan tidak berguna Kiki-san?! Apa dia akan memberikan perkataan tidak bergunannya kepada siapapun yang mengajarinya? Ah… entah kenapa aku merasa keberatan kalau itu benar.

"Maaf, Kiki. Bolehkah aku meminjam toiletmu?" tanya Laura tiba-tiba

"Boleh saja."

"Terima kasih." Laura pun berdiri. "Oh iya, sepertinya aku akan lama. Jadi, jangan cemaskan aku kalau aku lama kembalinya." Lalu dia pun pergi.

"Shiina, apa kau tahu rumus untuk mengerjakan soal ini?" tanya Kiki-san sambil menunjuk soal nomor delapan di buku pelajaran matematika. "Sepertinya ini modifikasi dari beberapa rumus yang sudah kupelajari, tapi aku bingung harus mencari apa dulu untuk bisa menjawabnya dan menggunakan rumus seperti apa dulu."

"Tunggu saja Laura. Kau kan lebih suka diajari oleh dia daripada aku. Apalagi kau sepertinya lebih mudah paham diajar oleh dia daripada aku."

"Yah… dia kan bilang akan lama. Aku tidak tahu berapa lamanya. Jadi, aku minta tolong kepadamu dulu sambil menunggunya kembali."

"Kalau begitu, kenapa tidak dari awal saja kau memintaku untuk membantumu belajar?

"Eh, ya… Sebenarnya aku tidak meminta dia untuk membantuku belajar, tapi dia sendiri yang menawarkan belajar. Aku tidak enak, jadi aku terima saja."

"Ya sudah, belajar saja sama Laura. Hmph!"

"Shi-Shiina, kau kenapa? Apa aku melakukan hal yang membuatmu kesal?"

Aku pun tidak mengerti kenapa perasaan aneh ini muncul. Rasanya aku sangat tidak suka Laura membantu Kiki-san belajar. Padahal dengan begini aku tidak perlu repot-repot sampai harus kesal saat mengajar Kiki-san yang sulit sekali paham. Apa mungkin karena dengan begini aku tidak bisa membalas budi kepada Intan-san?

"Aku minta maaf kalau aku melakukan kesalahan kepadamu," lanjut Kiki-san sambil menundukkan kepala dengan penuh penyesalan.

Ingin aku mengatakan kalau dia tidak salah, lagipula dia tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi entah kenapa mulut ini tidak bisa mengikuti keinginanku dan malah aku hanya memalingkan wajahku seperti kesal.

"Shiina, apakah besok kau mau membantuku belajar?"

"Minta saja Laura. Kau kan lebih suka dengan caranya mengajar karena mudah dipahami."

"Memang, sih… Tapi, aku lebih nyaman belajar denganmu."

Aku langsung melihat ke arah Kiki-san. Wajahnya terlihat serius, bisa diartikan perkataannya tadi bukanlah rekayasa belaka. Aku refleks melihat ke arahnya karena tiba-tiba muncul perasaan senang, tapi karena ragu jadi aku melihatnya untuk memastikannya apa benar dia mengatakan itu.

Tunggu… kenapa aku bisa merasa senang hanya mendengar kalimat itu?!

"Yah, walau kau selalu saja memarahiku dan mengajariku dengan cara ekstrim. Tapi, aku lebih nyaman belajar denganmu."

Lagi-lagi perasaan senang muncul. Ada apa denganku?

"Bohong."

"Serius. Aku benar-benar serius!"

Kiki-san menatapku tanpa bergeming, rasanya tanda keseriusannya semakin ditingkatkan. Entah kenapa, melihat wajahnya dan mendengar jawaban itu membuatku terasa panas. Jadi, aku langsung memalingkan wajahku agar tidak melihat wajahnya dan rasa panas ini tidak bertambah.

"Ba-Baiklah… besok aku akan membantumu belajar. Ah, tapi jangan salah paham, aku menerimanya karena ini untuk Intan-san dan bukan karena keinginanku!"

"Terima kasih."

Perlahan aku merasakan perasaan aneh yang kurasakan sebelumnya mulai berkurang. Tapi, rasa aneh yang lain muncul. Entah kenapa, jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang sekali. Selain itu, ada perasaan hangat di dalam dadaku. Kenapa bisa begini, ya?

"Ah, Shiina. Apa sekarang kau tidak ada kesibukan?"

Aku langsung kembali melihat ke arah Kiki-san. "Tidak. Memangnya kenapa?"

"Tadi Laura mengirimku pesan kalau dia tiba-tiba harus pulang karena ada urusan. Jadi, kalau kau tidak sibuk, bisakah hari ini juga kau membantuku belajar?"

"Hah… ini merepotkan, sih. Tapi baiklah, aku akan membantumu."

"Hm, terima kasih."

Aku masih belum mengerti kenapa perasaan hangat dan nyaman ini muncul kembali. Bahkan, tiba-tiba aku merasa ingin sekali selalu bersama dengan Kiki-san. Rasanya aku jadi ingin dekat dengannya.

"Eh, kenapa tiba-tiba kau duduk di sebelahku?" kaget Kiki-san setelah aku duduk di sampingnya.

"Memangnya kenapa, apa masalah? Lagipula, dengan begini aku bisa lebih mudah mengajarimu. Jangan banyak protes!"

"Yahh… aku sih tidak keberatan… Shiina, kau baik-baik saja? Wajahmu memerah."

"Sudah kubilang. Jangan banyak protes!"

"Baik!"

Kali ini, jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang dan tubuhku terasa panas. Tapi, ada perasaan senang juga.

Hmm… kurasa nanti saja mencari jawabannya. Sekarang aku harus fokus mengajari Kiki-san!