Rumah hantu kelas pun ditutup sementara, karena beberapa perempuan sedang menenangkan Avira yang menangis. Berkat kejadian itu juga, aku mendapatkan ceramahan panjang dari beberapa teman-teman sekelasku. Bahkan, ada yang sampai menamparku karena membuat Avira bersedih, bukan karena mengacaukan rumah hantunya.
Sekarang aku sedang duduk di sudut ruang lain, memisahkan diri dari semuanya yang sedang menenangkan Avira dan merundingkan penyusunan baru untuk rumah hantunya. Dengan rasa sakit di kedua pipi yang berdenyut-denyut, aku merenungkan diri karena mengacaukan rumah hantu yang sudah dibuat dengan susah payah oleh teman-teman.
"Hei, Rifki."
Mendengar panggilan itu, aku mengangkat kepala dan melihat sosok laki-laki berdandan mummy berdarah. Mungkin tepatnya pasien yang punya luka banyak dengan diperban asal-asallan. Dari suaranya, aku tahu kalau dia adalah ketua kelasku, Souma Shiro.
"Ya?" balasku.
Souma-san berjalan mendekatiku, dengan tatapan mengerikan. Berkat itu, aku merasa sepertinya dia ingin menceramahiku untuk pengacauan rumah hantu atau karena membuat Avira sedih.
"Keputusan yang tepat."
"Eh, apa maksudmu?"
"Tentu saja soal kamu meluruskan kesalah pahaman itu. Aku dengar semuanya dari Avira."
"Apa Avira sudah tenang?"
"Sudah. Dia menceritakan semuanya yang sebenarnya."
"Lalu, kenapa kamu bilang kalau itu keputusan yang tepat?"
"Tentu saja, karena kamu tidak memanfaatkan kesempatan untuk memenuhi kepuasan belaka. Aku memujimu karena dengan cepat memberitahu kesalah pahaman itu, sehingga Avira tidak mengalami harapan palsu lebih lama lagi dan akhirnya sakit hatinya lebih besar. Terus, kamu tidak memanfaatkan kesalah pahaman itu agar bisa melakukan sesuatu kepada Avira, karena statusmu yang merupakan 'pacarnya'."
Aku paham maksud dari Souma-san. Dia benar-benar pria yang baik dan pengertian. Benar-benar pas menjadi sosok ketua kelas.
"Terima kasih."
"Ayo, kita ke sana. Mereka ingin meminta maaf, terutama gadis-gadis yang sudah menamparmu."
"Ah, i-iya…"
Sebenarnya aku enggan menemui mereka, untuk sekarang. Tapi, karena aku juga ingin meminta maaf, aku paksakan diri untuk berani menemui mereka. Setelah sampai di sana, semuanya langsung menghampiriku dan meminta maaf karena langsung menuduhku yang tidak-tidak.
Aku harus berterima kasih kepada Souma-san, karena berkat dirinya berani membicarakan pendapatnya soal apa yang kulakukan adalah hal yang baik. Jadi, semuanya merenungkan hal itu dan akhirnya memutuskan untuk meminta maaf kepadaku.
Yah, walau begitu. Aku masih tetap sedikit mendapatkan kemarahan karena mengacaukan rumah hantu. Kalau untuk itu, kurasa aku menerimanya dan langsung meminta maaf. Dan, semuanya memaklumi hal itu. Aku benar-benar bersyukur bisa mendapatkan teman-teman pengertian.
Sedangkan Avira, yang sudah terlihat tenang. Dengan biasa atau mungkin sedikit memaksakan terlihat baik-baik saja, berbicara kepadaku untuk meminta maaf juga.
"Maaf, Kiki-kun. Aku langsung salah paham seperti itu dan menjadi merepotkanmu…"
"Ti-Tidak apa-apa. Ini juga salahku karena tidak tahu menahu jimat itu."
"A-Apa kita bisa kembali seperti biasanya?"
"Seharusnya aku yang menanyakan itu."
"Eh, tapi… aku yang salah…"
"Tidak. Akulah yang salah."
Kami pun terdiam dan saling menatap. Lalu, perlahan kami tersenyum dan akhirnya tertawa kecil.
"Syukurlah kalian bisa akrab lagi," ujar Souma-san menghampiri kami. "Rifki, sebaiknya sekarang kamu menembak gadis yang sebenarnya."
"Eh?"
"Be-Benar. Kiki-kun, semangat!"
"Tunggu dulu, kenapa aku harus melakukan itu sekarang?!"
"Yah, kurasa dengan beredarnya gosip kamu menembak Avira. Gadis itu bisa saja merasa sedih sekarang."
"Ma-Maafkan aku…"
"Ah, Avira-san, kamu tidak perlu meminta maaf. Itu bukan salahmu," ujar Souma-san. "Jadi, sekarang cepatlah temui gadis itu."
"Ba-"
Hendak aku ingin melakukan perintah Souma-san, tiba-tiba handphoneku berdering. Tanpa kulihat siapa yang melakukan panggilan, aku tahu kalau Sasaki-san lah yang memanggilku untuk segera datang ke aula untuk persiapan drama.
"Ma-Maaf, sepertinya aku harus pergi ke suatu tempat dulu."
***
Malam hari pun tiba, festival sudah tutup, tepatnya hari pertama festival sudah berakhir. Walau sudah malam, di sekolah masih cukup ramai oleh murid-murid yang membereskan peralatan dan sebagainya. Bahkan, ada juga yang karena mereka ingin menginap di sekolah agar tidak kesiangan saat mempersiapkan semuanya sebelum festival kembali dimulai.
Aku menjadi salah satu yang menginap di sekolah, karena harus membereskan beberapa peralatan rumah hantu dan nanti pagi sekali menyiapkannya. Sebenarnya aku bisa saja hanya bagian membereskan dan pulang, tapi karena kejadian tadi aku merasa tidak enak dan mengatakan mempersiapkan untuk pagi nanti sebagai permintaan maaf.
Selain itu, alasan aku tidak pulang malam ini adalah karena dipanggil oleh Avira untuk menemuinya di atas sekolah saat malam nanti. Katanya, dia ingin membicarakan sesuatu kepadaku.
Walau aku masih agak canggung untuk bicara dengannya, tapi aku tidak bisa menolak permintaannya itu. Avira sudah mau menerima keputusanku, jadi aku harus menghargainya sebagai teman bila dia ingin membicarakan sesuaut. Apalagi kalau ternyata dia ingin meminta tolong untuk menyelesaikan sebuah masalah.
Sekarang aku sudah ada di depan pintu menuju atap gedung sekolah. Alasan aku masih diam di sini adalah untuk mempersiapkan diri. Seperti kataku tadi, kalau aku masih sedikit merasa canggung untuk bicara kepada Avira. Jadi, aku ingin menenangkan diri agar tidak terlihat canggung dan panik nanti saat bicara dengannya.
"Baiklah… Kuatkan dirimu, Kiki!" teriakku menyemangati diri, dengan nada pelan.
Setelah yakin akan kesiapan diri, aku membuka daun pintu di depanku. Sebuah langit hitam yang dihiasi beberapa bintang dapat kulihat, bila dilihat ke atas. Untuk ke depan, ada pagar kawat tinggi yang mengelilingi sekitar sebagai penghalang agar tidak melewatinya dan berakhir jatuh ke bawah.
Selain itu, ada satu sosok yang dapat kulihat berdiri menatap ke depan dari balik pagar kawat itu. Aku tidak terlalu tahu siapakah dia, karena jaraknya jauh sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Apalagi ini malam yang cukup gelap.
Aku langsung melangkahkan kaki untuk mendekati sosok itu, yang kurasa adalah Avira. Setelah cukup dekat, aku pun memanggilnya.
"Avira."
Sosok itu pun berbalik melihat ke arahku. Sehingga, aku dapat melihat wajahnya yang cantik dan menunjukkan ekpresi terkejut. Aku pun ikut terkejut, karena wajahnya bukanlah Avira.
"Yami. Kenapa kamu ada di sini?"
"Ki-Kiki… kamu juga, kenapa bisa ada di sini?" tanya Yami terkejut.
Persiapan diri yang kulakukan sebelumnaya seketika hilang, saat tahu kalau sosok yang di depanku bukan Avira. Terlebih, dia adalah gadis yang untuk saat ini ingin aku hindari.
Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa Yami yang ada di sini? Bukankah seharusnya Avira yang ada di sini?
"A-Aku dipanggil oleh Avira untuk datang ke sini," jawabku terbata-bata karena panik.
"A-Aku juga… Aku juga dipanggil oleh Avira!" balas Yami ikutan panik.
Eh, Yami juga dipanggil kemari oleh Avira? Kenapa Avira tidak bilang hal itu?
"Kalian sudah datang."
Mendengar kalimat itu, kami sontak melihat ke arah pintu. Di sana ada Avira sedang berjalan menghampiri kami.
"Avira, kamu tidak bilang kalau Kiki akan kemari!"
"Maaf, Yami-chan. Aku melakukan ini untuk membantu kalian."
"Tunggu, membantu kami? Apa maksudmu?" tanyaku penasaran.
"Yami-chan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujar Avira mengabaikan pertanyaanku. "Soal Kiki-kun yang ternyata menembakku ternyata hanya kesalah pahaman. Benar, kan, Kiki-kun?"
"I-Iya…"
"Be-Begitu… Ah, tunggu dulu. Jadi kamu memanggilku kemari hanya untuk memberitahu hal itu?" tanya Yami tidak puas.
"Kiki-kun," panggil Avira sambil melihat ke arahku, dan sepertinya mengabaikan pertanyaan Yami tadi. "Ini, jimat yang kamu berikan."
Avira menyodorkan kantung jimat yang sebelumnya kukasih. Aku langsung mengambilnya tanpa mengatakan apa-apa. Karena aku tahu, walau aku mengatakan untuk menyimpannya dan dijadikan sebagai jimat keberuntungan saja. Avira pasti tidak bisa tenang untuk menyimpan jimat itu, terlebih setelah kutolak.
"Kalau begitu, aku permisi. Silahkan kalian lanjutkan pembicaraan kalian," ujar Avira.
Entah kenapa, aku hanya bisa diam melihat dia pergi begitu saja, walau ada beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakan.
Aku dapat melihat punggung Avira dari kejauhan. Dia berjalan menuju pintu. Ah, tidak, kurasa ke tembok… Oh, dia menabrak tembok. Lalu, tanpa menoleh ke belakang, dia melanjutkan jalan untuk masuk ke dalam.
Sepertinya nanti aku akan membelikan jimat keberuntungan yang sebenarnya untuk Avira.
"Hei, Kiki. Aku minta maaf."
Terkejut mendengar kalimat Yami yang tiba-tiba itu, aku langsung menoleh ke arahnya. Dapat kulihat kepalanya ditundukkan dan wajahnya menunjukkan ekpresi yang menyesal.
"Seharusnya aku yang meminta maaf, karena sudah memaksamu untuk memberitahu masalahmu…" ujarku. "Aku benar-benar minta maaf."
"Ti-Tidak, akulah yang harusnya minta maaf. Aku tahu kalau kamu bermaksud baik, tapi aku malah membentakmu dan pergi begitu saja. Aku benar-benar minta maaf!"
"Tidak-tidak. Akulah yang harusnya meminta maaf. Seharusnya aku menanyakan masalahmu dengan baik-baik, bukannya seperti memojokkanmu. Jadi, aku minta maaf!"
"Tidak. Akulah yang salah!"
"Tidak. Aku!"
"Aku!"
"Aku!"
"Kenapa kamu malah keras kepala begitu?!"
"Justru kamu yang keras kepala!"
Kemudian kami pun saling menatap penuh kemarahan, karena tidak mau mengalah. Namun, beberapa saat kemudian, kami pun tertawa karena perdebatan bodoh ini.
"Hei, Kiki," panggil Yami setelah selesai tertawa. "Kenapa kamu tidak menyukai Avira? Dia itu gadis yang baik, pengertian, lembut, dan feminim. Sayang sekali kalau ditolak."
"Yah, mau bagaimana lagi, hatiku tidak menyukainya."
"Lalu, siapa yang kamu suka? Beritahu aku."
"Kenapa kamu ingin tahu?"
"Yah… aku ingin tahu saja. Mungkin, aku bisa membantumu untuk dekat dengannya."
"Gimana, ya… Ah, Yami, ini. Aku berikan jimat ini untukmu."
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Terima saja dulu."
"Ke-Kenapa kamu malah memberikannya kepadaku? Kamu tahu kan jimat apa ini…"
"Hm, aku tahu. Maka dari itu aku memberikannya."
"Ta-Tapi… seharusnya kamu memberikan jimat ini kepada orang yang kau sukai."
"Hm. Maka dari itu aku memberikannya kepadamu."
Yami terdiam dan mengalihkan wajahnya dariku. Wajar saja dia begitu, pasti dia kaget dan masih belum paham akan tindakanku ini. Jadi, aku langsung memperjelasnya.
"Yami. Aku mencintaimu. Jadilah pacarku!"
Yami langsung melihat ke arahku dengan ekpresi sangat terkejut. Sepertinya kalimat tadi benar-benar membuatnya terkejut. Kemudian, air mata keluar dari kedua matanya. Lalu, senyuman indah mengukir wajahnya yang sudah berlinang air mata.
"Hm, aku… aku juga mencintaimu, Kiki!"
Selanjutnya, Yami langsung memelukku dengan sekuat tenaga sehingga aku sempat terdorong dan akan jatuh. Tapi untungnya aku bisa menahannya dan bisa membalas pelukannya dengan senang hati.