Chereads / ATNIL / Chapter 24 - RUTE YAMI KEDUA: PERUBAHAN SIKAP

Chapter 24 - RUTE YAMI KEDUA: PERUBAHAN SIKAP

"EEEHHHH!"

Karena tiba-tiba Avira berteriak begitu, spontan aku menutup telinga kiri dengan tangan kiri dan tangan kanan masih menyodorkan jimat ini.

"Ke-Kenapa tiba-tiba kau berteriak seperti itu, Avira?" tanyaku kaget.

Avira pun berhenti berteriak dan mengalihkan pandangannya, dengan wajah sedikit memerah.

"Ki-Kiki-kun… kau serius i-ingin memberikannya kepadaku…?" tanya Avira mengabaikan pertanyaanku.

Kenapa Avira menanyakan itu? Memangnya sangat mengejutkan kalau aku memberikan jimat ini, ya? Ah, bisa saja, karena jimat ini merupakan barang yang sulit didapatkan. Pasti Avira terkejut karena aku dengan mudahnya memberikan jimat ini.

"Tentu saja aku serius."

Avira tidak langsung mengambilnya, dia masih menggerakkan bola matanya ke sana kemari, seolah menghindari kontak mata denganku. Wajahnya juga masih memerah, malah rasanya kali ini lebih merah dari sebelumnya.

"Be-Benarkah…?" tanya Avira ragu-ragu.

"Iya."

"A-Apa kau sudah memikirkannya dengan matang-matang…?"

Eh, memangnya memberikan jimat ini harus dipikir matang-matang, ya? Apa jimat ini benar-benar sangat berharga sampai-sampai harus dipikir matang-matang kalau diberikan kepada orang lain?

"Aku tidak mengerti kenapa harus dipikir matang-matang. Tapi, aku beneran ingin memberikan jimat ini kepadamu."

"Ta-Tapi…"

"Sudahlah, terima saja!"

Karena sedikit kesal dengan Avira yang ragu-ragu menerima jimat ini, aku langsung mengambil tangannya dan menyimpan jimat ini di atas telapak tangannya. Lalu aku rapatkan keempat jarinya, agar jimat itu tidak lepas.

"Avira!"

Setelah menerima jimat itu, dengan secara paksa dariku. Tiba-tiba Avira kehilangan keseimbangan tubuhnya dan akan jatuh ke lantai. Untung saja dengan sigap aku berhasil menangkap tubuhnya. Aku langsung memegang dahinya, untuk memastikan apa suhu tubuhnya panas atau tidak. Setelah diperiksa, ternyata dahinya tidak terlalu panas.

(Apa mungkin dia pingsan karena kelelahan?) pikirku.

Tanpa dipikir panjang lagi, aku langsung menggendong Avira ala tuan putri menuju UKS. Dia tidak terlalu berat, jadi aku bisa membawanya dengan mudah dan cepat. Untungnya di lorong ini tidak ramai oleh murid-murid, jadi kami sampai di UKS dengan cepat dan tanpa perlu mendapatkan tatapan yang bisa membuatku gugup dari orang di lorong.

Untung saja ada petugas di sana, jadi aku bisa meninggalkan Avira dan pergi menuju kantin untuk membeli pengganti pesanan teman-teman. Saat di tengah jalan, aku melihat sosok gadis yang kukenal sedang berdiri membelakangiku. Dia adalah Yami.

"Yo, Yami!" sapaku sambil menghampirinya.

"Ah!" kaget Yami. Kemudian, dia memutar badan ke arahku. "Yo… Kiki…"

Tadinya aku ingin menanyakan apa yang sedang dia lakukan berdiri di lorong ini, tapi niat itu tidak dilakukan karena aku kaget melihat wajah Yami. Tepatnya kedua mata Yami yang memerah dan sedikit berair.

"Kenapa matamu merah begitu? Apa kau habis menangis?" tanyaku cemas.

"Ti-Tidak, kok… I-Ini… mataku hanya kemasukkan debu saja," balas Yami sedikit berbata-bata.

"Kalau begitu biar aku tiup. Mata yang mana?"

"Ti-Tidak perlu!" tolak Yami sambil menggerakkan kepalanya ke samping. "Ini tidak apa-apa…" lanjutnya sambil menggosok pelan kedua kelopak matanya.

"Lalu, apa yang sedang kau lakukan di sini? Apa membuat papan promosinya sudah selesai?"

"Be-Belum… a-aku baru saja dari toilet," jawab Yami. "Kalau kau sendiri kenapa ada di sini?" tanyanya setelah selesai menggosok kedua kelopak matanya.

"Aku mau pergi ke kantin untuk membelikan beberapa makanan dan minuman pesanan teman-teman."

"Be-Begitu… Kalau begitu, aku pergi ke ruang klub kaligrafi. Dah!"

Yami pun pergi meninggalkanku tanpa menatapku, seolah tidak ingin melakukan kontak mata denganku. Memangnya ada yang salah dengan mataku?

Sudahlah, kurasa mereka kebetulan tidak ingin melihatku saja. Bukan berarti ada masalah dengan mataku atau denganku. Tapi memang sedang kebetulan tidak ingin melihatku saja. Hm, hanya itu saja.

Aku pun kembali berjalan menuju kantin. Setelah selesai membeli makanan dan minuman yang dipesan teman-teman dan memberikannya. Aku pergi menuju UKS untuk melihat kondisi Avira apakah dia sudah sadar atau masih pingsan.

Sesampainya di sana, aku tidak melihat ada petugas yang sebelumnya aku temui. Sepertinya dia sedang ada urusan atau pergi ke toilet sebentar. Lalu, aku pun berjalan memasuki tirai berwarna putih. Setelah terlewati, dapat kulihat sosok Avira yang terduduk di atas ranjang UKS.

"Apa kau sudah merasa baikkan?"

Setelah melontarkan pertanyaan itu, tubuh Avira sedikit tersentak kaget dan mengarahkan pandangannya kepadaku. Lalu, dia kembali menundukkan kepala dan menghindari kontak mata denganku, dengan wajah memerah.

"A-Aku baik-baik saja… Terima kasih sudah mencemaskanku, Kiki-kun…" jawab Avira dengan pelan.

"Kalau kau kelelahan, seharusnya jangan memaksakan diri untuk ikut denganku," ujarku memulai percakapan. "Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa."

"Ma-Maaf… sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu…"

"Tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti niat baikmu, jadi tidak perlu merasa bersalah seperti itu."

Keheningan pun terjadi, karena Avira tidak membalas perkataanku atau mengucapkan sesuatu untuk memulai pembicaraan dengan topik lain. Aku juga tidak punya sesuatu untuk dikatakan saat ini, jadi aku ikutan diam dan menikmati keheningan ini.

"Ano… Kiki-kun…" panggil Avira pelan setelah beberapa saat terdiam dan masih tidak menatapku.

"Apa?"

"A-Aku…Aku akan berjuang dengan keras…"

Kenapa tiba-tiba Avira menyatakan hal itu? Memangnya dia berjuang keras untuk apa? Dilihat dari pembicaraan sebelumnya, tidak ada hal yang harus membuatnya berjuang keras. Apa mungkin dia ingin berjuang keras agar tidak merepotkanku? Tapi kurasa hal itu tidak perlu diperjuang keraskan.

Ah, mungkin saja soal dia menjadi hantu. Dia kan mengeluh karena tidak ingin menjadi hantu di acara festival nanti. Jadi, sekarang dia menerimanya dan berusaha keras agar bisa melakukannya dengan baik. Aku senang dia memilih menghadapinya daripada mengeluhkannya, dia memang gadis yang baik.

"Baguslah kalau begitu. Aku senang mendengarnya."

Entah kenapa tiba-tiba Avira menarik selimut untuk menutupi wajahnya. Mungkin, dia melakukan itu agar wajah merahnya tidak terlihat olehku. Tapi maaf saja, Avira. Aku mengetahui itu karena saat wajahmu memerah, baru kau sembunyikan. Kalau tidak ingin ketahuan, lakukan itu sebelum memerah.

"Avira, kau baik-baik saja? Apa kau demam?"

"Ti-Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja!" jawab Avira keras.

Aku pun hanya mendengus kecil, lalu tersenyum kecil melihat tingkah manis Avira ini. Aku putuskan untuk membiarkan Avira menyembunyikan wajahnya dan tidak memberikan pertanyaan apapun kepadanya. Aku pun keluar dari tirai untuk membawa kursi lipat yang tersedia di dekat meja petugas, kemudian aku simpan di samping ranjang tempat Avira berada.

Saat aku sudah duduk pun, Avira masih menyembunyikan wajahnya. Karena hal itu membuatku bingung ingin melakukan apa, jadinya aku putuskan untuk mengambil jimat yang berada di meja kecil di sebelah ranjang. Aku amati baik-baik seluruh bagian jimat ini, mungkin dengan begini aku bisa mengetahui nilai dari jimat ini.

"Ano… Kiki-kun, apa kau tidak kembali ke kelas?" tanya Avira yang sudah tidak menutupi wajahnya dengan selimut, tapi masih menundukkan kepala seolah malu untuk menatapku.

"Mana mungkin aku bisa kembali ke sana kalau kau ada di sini. Aku mencemaskanmu, loh," jawabku sambil menyimpan kembali jimat ini ke atas meja.

"Ta-Tapi… mungkin saja mereka membutuhkan bantuanmu. Apalagi bagianmu adalah membuat dekorasi rumah hantu dan harus selesai besok…"

"Tenang saja, aku sudah memberitahu mereka. Mereka bilang tidak apa-apa, tapi sebagai gantinya nanti malam aku harus banyak bekerja."

"Eh?" kaget Avira yang akhirnya menatapku dengan ekpresi terkejut. "Be-Berarti, kau akan menginap di sekolah?"

"Begitulah. Jarak sekolah dan asrama kan sangat jauh. Apalagi bahaya kalau malam hari pulangnya. Jadi, lebih baik aku menginap di sini saja."

"Ka-Kalau begitu, aku juga ikut menginap di sini!"

"Eh, kau kan tidak ada tugas untuk mendekorasi rumah hantunya. Jadi, kau tidak perlu ikut menginap juga. Pasti akan membosankan karena di malam hari kau tidak melakukan apapun."

Perlahan Avira mengalihkan pandangannya dan menundukkan kepala. Kemudian dia mengucapkan sesuatu dengan sangat pelan sekali. Aku mendengarnya, tapi tidak jelas apa yang dia katakan.

"Apa yang kau katakan?" tanyaku penasaran.

"Po-Pokoknya, aku mau menginap di sini!"

"O-Oke-oke, tidak perlu marah begitu. Kalau begitu, setelah kau merasa baikkan, kita pulang dulu untuk membawa kebutuhan untuk menginap."

"Iya."

***

Malam hari pun tiba dan dekorasi telah selesai. Seperti yang kuperkirakan, tugas ini selesai saat larut malam, jadi aku memang harus menginap. Untung saja bukan hanya aku dan Avira saja yang memutuskan untuk menginap, ada beberapa teman kelas juga yang ikutan menginap. Ada yang alasan memang memiliki tugas atau ingin menginap saja karena ini kesempatan yang datang sekali dalam setahun.

Tentu saja tempat tidur laki-laki dan perempuan terpisah, dengan sebuah tirai besar yang membuat ruang kelas ini terbagi menjadi dua. Karena di sini tidak ada kasur atau bahkan futon, kami menggunakan selimut yang tersedia di sekolah atau bahkan ada yang bawa sebagai alasnya dan tas untuk bantalnya. Sedangkan untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, kami menggunakan jaket. Kalau untuk pihak perempuan, aku tidak tahu. Mungkin saja ada yang sengaja membawa futon agar nyaman tidurnya.

Tidak ada jam malam di sekolah ini, jadi kami boleh begadang atau tidur larut malam sekali. Walau begitu, bukan berarti tidak ada yang bertugas sebagai keamanan di sekolah ini. Hanya saja, mereka tidak akan menegur kami apabila melewati jam malam. Tapi, tentu saja dengan syarat jangan membuat keributan yang mengganggu.

Maka dari itu, aku bersama kedua temanku masih terjaga. Kalau aku memang masih belum mengantuk, sedangkan kedua temanku sepertinya ingin ngobrol dulu denganku sebelum tidur. Dengan diterangi oleh cahaya senter yang tidak terlalu terang, mereka berdua mendekatiku dan memulai pembicaraan.

"Oi, Rifki. Sebenarnya kau dan Nayukami itu memiliki hubungan apa?" tanya temanku, namanya Nikki.

"Bukankah sudah jelas, mereka pacaran," ujar temanku yang ada di sebelahnya, namanya Arutaki.

"Tidak-tidak, kami tidak pacaran," balasku membenarkan.

"Kalau begitu, kenapa kalian begitu dekat sekali?"

"Bahkan aku lihat Nayukami membuatkan bekal siang untukmu."

"Yah… itu… sebenarnya tanpa sengaja aku meminta dia membuatkan bekal makan siang untukku dan dia menerimanya begitu saja. Jadi, begitulah cerita singkatnya."

"Hmm… Kalau begitu, hubungan apa kau dengan Airi?"

"Ah, benar. Kau juga dekat dengannya!"

"Eh, itu…"

Sebenarnya semua teman sekelasku tidak mengetahui kalau aku adalah pengurus asrama tempat tinggal Yami dan Avira. Alasannya sederhana, karena ini demi melindungi Avira dan lainnya. Maksud dari melindungi di sini adalah, agar asrama tidak menjadi tempat kunjungan umum. Mengingat, mereka semua adalah gadis yang cantik dan populer. Jadi akan gawat kalau tempat mereka diketahui murid-murid di sini, terutama murid laki-laki.

Bahkan, Avira dan lainnya pun tidak sembarangan membeberkan alamat tempat tinggal mereka. Tapi tentu saja, hanya orang yang mereka percayai yang diberitahu hal itu. Seperti keluarga, sahabat, dan orang terpecaya.

"Bisa dibilang… aku teman dekatnya," jawabku seadanya.

"Mencurigakan…" terang Nikki sambil memberikan tatapan mencurigakan kepadaku.

"Sudahlah, jangan berbohong begitu. Kau pasti berpacaran dengan salah satu dari mereka, kan? Ah, atau jangan-jangan malah keduanya?!"

"APA?! Dasar sialan! Mati saja kau, playboy!"

"Tidak-tidak, itu tidak benar! Aku beneran tidak mempacari salah satu dari mereka. Aku memang dekat dengan mereka saja!"

"Hmm… kalau begitu, apa kau menyukai salah satu dari mereka?" tanya Arutaki tiba-tiba.

"Eh, ah…"

"Sudahlah, katakan saja. Walau menyebalkan, kami akan berusaha mendukungmu siapapun pilihanmu."

"Benar sekali. Kami akan mendukungmu, walau rasanya sedikit menyebalkan karena kau bisa dekat dengan dua gadis yang sangat cantik dan populer."

"Ka-Kalian sebenarnya ingin mendukungku atau gimana…?"

"Sudahlah. Sebaiknya kita tidur, besok festivalnya dimulai. Kita tidak boleh mengantuk di saat teman-teman menjalankan rumah hantu ini."

"Kau benar. Walau kita tidak dapat tugas dalam menjalankan rumah hantunya, tapi setidaknya kita bisa mendukungnya dengan mempromosikan kepada teman-teman atau keluarga kita saat mereka datang kemari."

"Kalian tidur saja duluan. Aku akan ke kamar mandi dulu."

Mereka berdua pun membaringkan tubuh mereka dan mulai tidur. Sedangkan aku membawa senter dan pergi ke luar menuju toilet. Untung saja tidak banyak laki-laki yang menginap di sini, jadi aku tidak perlu kesulitan melewati mereka yang sudah tertidur dan merasa akan membangunkan mereka.

Setelah ke luar ruang kelas, aku langsung berjalan menuju toilet yang berada di ujung lorong. Tentu saja tidak lupa aku menutup pintu kelas. Untung saja lampu lorong tidak dimatikan, jadi aku bisa dengan mudah berjalan menuju toilet dan mematikan senter ini. Kalau saja lampunya mati, pasti akan gelap sekali karena sinar bulan berada di sisi lain jadi tidak akan menerangi lorong ini dan rasanya akan seperti terjebak dalam situasi horror.

Setelah selesai di toilet, aku langsung berjalan kembali menuju ruang kelas. Tapi, langkahku terhenti di tengah jalan karena melihat sosok gadis yang kukenal, yaitu Yami. Dia sedang berdiri menatap keluar jendela dengan ekpresi yang terlihat sedih.

"Yo, Yami. Kenapa kau ada di sini malam-malam begini?" sapaku sambil menghampirinya.

Perlahan kepala Yami digerakkan ke samping, tepatnya ke arahku. Sebuah wajah yang terlihat terkejut dengan kedua mata mengeluarkan air mata, itulah yang aku lihat dari Yami.

"Ki-Kiki…"