Hari masuk sekolah pun tiba, di mana hari yang sebenarnya tidak aku tunggu sudah tiba tanpa aku sadari. Kalau saja PR musim panas belum selesai, pasti sekarang aku panik setengah mati dan memilih telat masuk sekolah untuk mengerjakan PR musim panas. Tapi, kenyataannya aku datang tidak terlambat, malah terlalu pagi sampai bisa melihat banyak bangku yang masih kosong.
Alasan aku datang pagi sekali bukanlah semangat karena percaya diri akan selesainya PR musim panas, tapi karena hari ini adalah piketku. Tapi, ternyata aku kelupaan kalau kelas ini tidak pernah terpakai selama musim panas sehingga kondisinya masih saja bersih, jadi aku melakukan piket tanpa memakan waktu banyak dengan sendirian. Aku hanya tinggal merapihkan beberapa bangku agar tersusun rapih.
Setelah beberapa saat menyendiri di kelas, akhirnya beberapa teman kelasku bermunculan. Masa-masa menyendiriku pun mulai lenyap, atau mungkin masih tetap saja. Alasannya karena tidak ada yang berbicara denganku, mereka sibuk dengan teman masing-masingnya. Tapi keadaan ini tidak berlangsung lama, karena Yami dan Avira sudah datang.
"Kiki, kau sudah selesai mengerjakan PR musim panasnya?" tanya Yami.
"Tentu saja sudah," jawabku dengan nada sedikit sombong.
"Hahahah, kau terdengar sombong sekali. Padahal kau bisa menyelesaikannya atas bantuan Shiina."
"Heheheh…" responku malu sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Oh iya, Shiina itu benar-benar masih SMP, kan? Kenapa dia bisa sepintar itu, ya?" heran Yumi.
Yah, bukan hanya kau saja yang merasa seperti itu. Aku pun berpikiran sama. Bahkan, aku sempat berpikir kalau Shiina sebenarnya sudah lulus, namun tidak sengaja minum pil pengecil tubuh jadinya dirinya kembali ke waktu muda. Selain itu, aku sempat berpikir kalau sebenarnya Shiina itu sudah berumur puluhan tahun tapi tubuhnya tetap seperti itu.
"Tentu saja dengan giat belajar setiap hari, maka Shiina-chan bisa sepintar itu," balas Avira.
"Benarkah? Kurasa itu karena dia berbakat, jadinya dia bisa sepintar itu."
"Tidak ada hubungannya dengan bakat, itu adalah hasil kerja kerasnya. Kalaupun karena bakat, harusnya berhubungan dengan hal yang dipraktekan. Misal sepak bola, judo, menggambar, dan lainnya."
"Benar juga, bakat tidak ada hubungannya. Kalau begitu, apakah kau tahu kenapa Shiina tidak meloncat kelas lagi?"
"Kenapa malah tanya aku? Tanya saja langsung ke orangnya."
"Habisnya kau terlihat akrab dengannya, bahkan sampai memanggil nama masing-masing. Bahkan mungkin bisa saja kalian pacaran."
"Tidak-tidak! Kami tidak pacaran!" sangkalku keras.
"Hmm~" Yumi memberikan senyuman jahil, tanda meragukan perkataanku. "Meurutmu bagaimana, Avira?"
"Ku-Kurasa itu bisa saja terjadi. Soalnya Shiina-chan tidak terlalu suka laki-laki, tapi bisa akrab dengan Kiki-kun. Terlebih Kiki-kun orang yang baik. Jadi, wajar saja kalau Shiina-chan menyukai Kiki-kun."
"Tidak-tidak. Shiina pasti dekat dengan tiga atau lebih laki-laki di sekolahnya, dan mungkin dia menyukai di antara mereka. Lagipula, aku dekat dengannya itu adalah hal yang wajar. Aku kan pengurus asrama, jadi aku harus akrab dengan seluruh penghuni asrama."
Lagipula, mana mungkin aku bisa menyukai gadis sadis dan kasar seperti Shiina. Memang dia loli, tapi bukan berarti aku langsung menyukainya. Aku suka loli 2D, bukan 3D.
"Hahhh… Dasar, kau ini mirip sekali dengan hero dalam anime. Aku tidak menyangka ada orang seperti itu di dunia nyata," terang Yumi.
Kemudian bel masuk pun berbunyi, membuat kedua gadis yang di depanku dan semua teman sekelas buru-buru ke tempat duduk masing-masing. Tidak lama kemudian datang guru, tepatnya wali kelas kami. Langsung saja ketua kelas menyuruh kami untuk memberi salam dan kembali duduk.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Suzumia-sensei dengan ramah. "Sepertinya kalian menikmati libur musim panas kalian. Semoga kalian tidak melupakan PR musim panasnya, karena terlalu bersenang-senang~"
Hampir semua murid di kelas langsung tertawa mendengar perkataan itu, termasuk aku. Suzumia-sensei memang guru yang baik dan ramah, jadi wajar saja kalau kami semua menyukainya. Dia selalu saja menyisipkan kalimat penghibur di sela-sela mengajarnya untuk menghilangkan rasa bosan. Mau lucu atau tidak, kami meresponnya dengan baik.
Namun, bukan berarti Suzumia-sensei lunak. Dia juga tegas, namun dengan imej ramah. Mungkin kalau digambarkan seperti pembunuh berdarah dingin, karena setiap memberikan hukuman dia selalu memberikan senyuman manis namun beraura mengerikan. Dia akan memberikan hukuman yang luar biasa keras kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran, terutama kepada murid didiknya. Misalnya menyuruh membersihkan toilet selama seminggu bagi murid yang telat, tidak mengerjakan PR yang diajarkannya yaitu matematika atau pelajaran dari guru lain maka berlari keliling lapangan sebanyak soal yang tidak dikerjakan, dan banyak lagi.
Walau begitu, kebanyakan murid menyukai Suzumia-sensei, terutama di kalangan siswa. Bahkan dengar-dengar ada isu kalau Suzumia-sensei pernah ditembak oleh beberapa siswa di sekolah ini. Wajar saja para siswa itu bisa jatuh cinta kepadanya. Dia cantik, baik, seksi, pintar, pandai mengajar, dan masih single. Mungkin aku juga bisa ikut termasuk ke siswa-siswa itu, kalau saja Suzumia-sensei lebih muda dan tubuhnya lebih pendek dariku.
"Untuk memulai kegiatan di hari pertama kalian sekolah setelah liburan musim panas, mari kita teriakkan 'ooo' bersama-sama sambil mengangkat tangan," ucap Suzumia-sensei. "Ayo, semuanya berdiri!"
Kami semua pun berdiri dengan cepat, bahkan sampai mendorong kursi ke belakang dan menimbulkan suara gesekan keras.
Suzumia-sensei menekuk tangan kanannya yang sudah dikepal, lalu menggerakkannya naik turun. "Eiy, eiy, eiy…"
"OOOOO!" teriak kami bersamaan, sambil mengangkat satu tangan yang sudah dikepal, ke atas.
"Sekali lagi! Eiy, eiy, eiy…"
"OOOOO!"
Setelah itu Suzumia-sensei bertepuk tangan, lalu kami pun mengikutinya. Kelas pun menjadi berisik, bahkan rasanya satu-satunya yang berisik di antara kelas lain. Tapi itu tidak bertahan lama setelah Suzumia-sensei menghentikan tepukkan tangan.
"Silahkan duduk kembali."
Kami pun langsung duduk kembali dengan tenang.
"Karena kalian sudah bersemangat, maka aku akan memberikan berita bagus untuk kalian. Seperti yang kalian ketahui, setelah liburan musim panas maka sekolah akan mengadakan Festival Budaya. Jadi mulai hari ini sampai minggu depan, kita akan sibuk untuk persiapan festival. Selama tiga hari sekolah ini akan menjadi festival yang menyenangkan. Tapi, kali ini berbeda, karena festival akan berjalan selama lima hari!"
Langsung saja semua murid di sini ribut senang mendengar itu, bahkan rasanya suasananya seperti saat Suzumia-sensei belum datang.
"Oke-oke, semuanya tenang," ucap Suzumia-sensei sambil menepuk tangannya dengan tempo cukup lama namun terdengar keras.
Suasana pun kembali tenang, mereka semua kembali terfokus ke arah Suzumia-sensei.
"Tanpa basa-basi, langsung saja ketua kelas untuk mengatur apa yang akan kelas ini lakukan saat festival dan mengatur hal lainnya. Silahkan, Souma-kun."
Ketua kelas kami pun berjalan ke depan kelas dan Suzumia-sensei duduk di kursi yang sudah disiapkan cukup jauh di samping depan kelas. Ketua kelas kami kalau tidak salah namanya Souma Shiro. Dia orangnya baik, ramah, mudah akrab dengan siapa saja, berani, pintar, bahkan terkenal di kalangan para siswi. Jadi dialah orang yang dipercaya menjadi ketua kelas, itu yang aku dengar dari Avira.
Ketua kelas pun memulai acara diskusi untuk acara Festival Budaya sekolah. Beberapa poin mulai diungkapkan oleh ketua kelas seperti apa yang akan dilakukan kelas ini saat festival, siapa saja yang akan bekerja di balik layar maupun di depan layar, siapa saja yang menjadi penanggung jawab, dan bagaimana proses bekerja untuk persiapan.
Setelah beberapa pendapat diberikan, akhirnya beberapa keputusan disepakati. Kelas ini akan mendirikan rumah hantu, melakukan persiapan dari pagi sampai sore atau bisa sampai malam bahkan ada beberapa dari kami harus menginap di sekolah, kostumnya dibuat bukan beli, tiga orang dipercaya menjadi pengatur seperti apa konsep rumah hantunya, para pemain atau yang menjadi hantu ditentukan melalui seleksi yang akan dilakukan hari ini, dekorasi memakai barang bekas yang mungkin dimiliki oleh kami semua, dan keperluan apa saja yang dibeli akan ditentukan besok setelah dilakukan pendataan apa saja yang diperlukan.
Ngomong-ngomong, aku menjadi salah satu pembuat dekorasi. Maka satu minggu ini aku akan sedikit sibuk untuk mendekor kelas, mungkin juga aku harus menginap di sekolah. Jadi, aku pun meminta tolong kepada Rain-san untuk menjadi pengurus asrama sampai bagian dekorasi selesai. Karena aku hanya bertugas menjadi pembuat dekorasi, setelah dekorasi maka aku bebas.
Paling-paling aku hanya sibuk di saat pentas drama dari klub drama, sebagai anjing. Setelah itu, aku pun bebas bisa menikmati festival selama empat setengah hari. Rencananya bukan hanya di festival sekolah ini, tapi di beberapa sekolah penghuni asrama. Misal seperti di sekolah Aozora, Ruka, Muse, dan Naruka. Itu pun kalau sempat.
***
Sekarang aku sedang mencari beberapa kardus bekas atau beberapa barang yang mungkin berguna untuk dekorasi di gudang rumah untuk pengurus asrama, letaknya di belakang rumah. Gudang ini sangat besar sekali, bahkan lebih besar dari rumahku. Seperti yang diputuskan bersama, kami semua membawa barang bekas yang mungkin bisa dipakai untuk dekorasi rumah hantu agar menghemat biaya pengeluaran.
Di sini banyak sekali barang bekas yang dari pandanganku bukanlah barang bekas. Dari yang sering aku lihat, biasanya gudang dipenuh barang-barang yang bisa menjadi uang dengan hitungan beratnya atau sesuatu yang sudah tidak terpakai karena rusak parah. Tapi, di gudang ini, anggapanku itu bukanlah hal yang benar. Di sini banyak sekali barang-barang yang terbilang mewah tersusun rapih seperti AC, sofa, lukisan berbingkai besar, kursi bagus, boneka, meja, meja belajar, dan banyak lagi. Sedangkan untuk kardus, dapat dilihat tertumpuk cukup banyak dan tinggi-tinggi, bahkan sudah diikat agar mudah dibawa.
Kalau saja aku tidak tahu ini gudang dan barang-barang di sini tidak berdebu, maka aku akan beranggapan ini toko pelelangan barang. Tapi, mengingat Kak Intan pernah bilang apabila kondisi keuangan asrama kurang bagus maka aku harus menjual barang-barang di sini, gudang ini dapat diubah menjadi toko pelelangan barang.
Aku pun langsung melangkah menuju tempat tumpukkan kardus yang berada di pojok cukup jauh di depan, tapi belum sempat melangkahkan kaki aku dikejutkan oleh getaran di saku celana. Setelah diperiksa, ternyata ada pesan masuk dari Shiina. Isinya, dia bertanya apakah ada beberapa kardus yang bisa dibeli di gudang.
"Hah, dibeli?" kagetku. "Ah, mungkin dia salah mengetik atau inilah cara dia bicara untuk meminta barang bekas. Yah, aku jawab saja ada."
Setelah membalas pesan Shiina, aku pun berjalan menuju tumpukkan kardus lalu membawanya sebanyak mungkin agar nanti tidak bulak-balik kalau Shiina membutuhkan banyak. Kemudian, Shiina pun datang di saat aku selesai mengumpulkan cukup banyak kardus.
"Yo, Shiina," sapaku.
"Selamat sore, Kiki-san," balas Shiina.
"Jadi, berapa banyak yang kau butuhkan?"
"Kira-kira tiga puluh tujuh lembar. Jadi, berapa harganya?"
Kenapa Shiina menanyakan harga? Apa dia serius soal membeli kardus dariku? Oh, aku tahu, ini lanjutan candaannya. Aku hanya harus membalas candaannya ini. Hal ini juga bisa sebagai momen bukti kalau Shiina itu bisa berhitung dengan cepat tanpa harus menggunakan kakulator, bahkan dari yang kudengar dari Avira kalau Shiina bisa menghitung sepuluh digit angka dalam sekejap.
"Satunya dua puluh tiga yen," balasku.
"Jadi delapan ratus lima puluh satu yen."
Wow, ternyata benar, Shiina bisa menghitung dengan sekejap! Kalau aku pasti akan berpikir dulu, mungkin butuh lebih dari satu menit untuk bisa menyelesaikan hitungannya.
Shiina merogoh tas pinggang kecilnya, lalu mengeluarkan selembar uang di dalam dompet. "Ini seribu yen, jadi kembalian seratus empat puluh sembilan yen."
"Hah?"
"Hah?"
Kami berdua pun diam sambil menatap satu sama lain dengan ekpresi bingung. Jelas aku bingung karena dia menyerahkan uang yang cukup besar kepadaku, bukannya membalas dengan mengatakan kalau harga itu kemahalan. Ah, tapi aku tidak tahu di sini dijualnya perlembar atau perkilo atau bahkan tidak ada yang menjualnya.
Sedangkan Shiina, apakah dia bingung karena aku memasang wajah bingung? Apa seharusnya aku menerimanya untuk melanjutkan candaannya?
"Shiina, kenapa kau menyerahkan uang itu kepadaku?"
"Tentu saja untuk membayar kardusnya."
"Hah?"
"Hah?"
Lagi-lagi kami saling memasang wajah bingung. Apakah ini termasuk skenario candaannya?
"Ano… Shiina, aku tidak menjual kardus ini."
"Bukannya tadi kau membalas pesanku kalau kardusnya ada."
"Iya, memang ada… Tunggu dulu, kenapa juga aku harus menjual kardus ini kepadamu? Kalau kau ingin kardus, tinggal minta saja."
"Ini kan barang-barang milik Intan-san, jadi kalau aku mengingkannya maka aku harus bayar."
"Hehhhh! Jadi, semua barang-barang ini dulunya dibeli Kak… Onee-chan?!"
"Kalau masalah dibeli, bukan Intan-san yang beli. Tapi, ini semua barang bekas milik kami yang diberikan kepada Intan-san untuk dijual apabila dia membutuhkan uang. Memangnya kau tidak tahu?"
Tidak-tidak, aku tahu itu! Tapi yang membuatku terkejut adalah, kalian dengan mudahnya memberikan barang bekas yang mewah kepada Kak Intan. Terlebih, kalian menginginkan barang ini lagi harus membayar? Wow, sebenarnya seberapa kaya kalian? Ah, mungkinkah kalian adalah keluarga bangsawan atau kerajaan?
"Kupikir kau mengirim pesan seperti itu kepadaku untuk melakukan candaan."
"Kenapa juga aku harus melakukan candaan kepadamu?"
"Yah, biasanya kalau seorang teman sekali-kali melakukan candaan kepada temannya, kan?"
"Tunggu, kau dan aku berteman?"
"Iya."
"Hah?"
"Hah?"
Tiga kali! Sekarang jadi tiga kali kita saling bertatap kebingungan karena berbeda pemikiran. Apakah ini bertanda aku tidak bisa memahami pikirannya? Tepatnya tidak bisa memahami pemikiran seorang jenius. Apakah aku bisa dibilang bodoh karena tidak paham pemikiran orang pintar?
Tapi, dipikir kembali, di sini pertemanan adalah hal yang tabu… mungkin itu sebutannya. Kalau di negaraku, seseorang disebut teman hanya cukup kenal dan tahu dia. Sedangkan di sini, teman benar-benar diartikan teman. Seseorang itu disebut teman apabila sering bersama, bercakap-cakap, bermain bersama, dan lainnya yang menandakan mereka akrab.
"Jadi, kau menganggapku sebagai temanmu?" tanya Shiina.
"Begitulah."
Shiina pun mengalihkan pandangannya sambil membenarkan posisi kacamatanya. "Baiklah, kita berteman. Tapi, jangan salah paham! Aku mau berteman denganmu karena kau adik Intan-san, bukan karena… alasan lain!"
Wow, sejak kapan Shiina menjadi tsundere begini? Terlebih, wajahnya sampai memerah begitu.
"Walau begitu, aku senang mendengarnya," ujarku, lalu memberikan senyuman. "Untuk ke depannya, mari kita berteman dengan baik."
"Iya, aku… Ah, sudahlah, ini uangnya!" Shiina kembali menyodorkan uang seribu yen.
"Sudah kubilang, aku tidak menjualnya. Kalau kau ingin kardus-kardus ini, tinggal minta saja."
"Serius?"
"Iya."
"Baiklah, aku akan menerimanya." Shiina pun menyimpan kembali uang itu ke dalam dompetnya.
"Oh iya, kalau boleh tahu, buat apa kardus-kardus ini?"
"Untuk dipakai saat festival di sekolah."
"Oh, untuk dekorasi. Kalau masih kurang, bilang saja, masih banyak."
"Kau yakin? Apa Intan-san tidak akan marah?"
"Tenang saja, dia tidak akan marah. Aku menjaminnya seratus persen."
"Baiklah kalau begitu, kalau kurang aku akan minta lagi."
Setelah diperhatikan baik-baik, Shiina ternyata imut juga. Kalau dia melepaskan kacamatannya, pasti lebih imut lagi. Apalagi dia termasuk golongan loli, maka di mataku keimutannya berada di tingkat tinggi! Selain itu, ternyata sikapnya bisa baik kepadaku. Walau tadi sempat jadi tsundere, tapi rasanya dia memang tidak keberatan berteman denganku.
Benar-benar MOEEEE!