Gelora 💗 SMA
Aku terus mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan yang mendekati maksimum. Aku tidak peduli dengan sekelilingku. Kejadian di rumah Bang Armando sungguh membuat adrenalin-ku melejit drastis sehingga aku nekat melakukan racing di jalanan umum begini. Walaupun berbahaya tapi aku tidak memikirkannya. Otakku masih penuh dengan adegan-adegan tak terduga yang diperankan Bang Armando. Bagaimana bisa dia dengan lihainya mencium bibirku. Rasanya benar-benar bercampur aduk seperti permen nano-nano. Kesal, tapi aku tidak menyesal. Mengejutkan, tapi aku ketagihan. Sulit dipercaya kalau Bang Armando bakalan melakukan tindakan senekat itu.
Aku tidak bisa habis berpikir, bagaimana bisa guru mudaku itu memperlakukan aku seperti ini. Dia menodai keperawanan bibirku dengan ciumannya yang dahsyat meskipun hanya per-sekian detik saja.
Apa aku marah? Aku rasa iya, tapi aku tidak bisa marah pada guruku sendiri. Apalagi aku sebenarnya mengagumi dia. Meskipun aku paham bahwa apa yang dilakukan laki-laki bertubuh atletis itu merupakan salah satu bentuk pelecehan. Ya, pelecehan seksual yang menimbulkan trauma. Namun trauma yang ku dapat ini bukanlah sebuah traumatis yang bengis tapi justru sesuatu kenangan yang bisa dibilang romantis. Aneh!
Lalu, kenapa aku harus kabur dan takut setelah diberi sebuah suprised kiss. Satu jawaban yang pasti dariku adalah bahwa aku belum siap. Aku belum siap jadi gay. Dan aku menolak menjadi cowok penyuka sejenis.
Aku menangis, tanpa sadar aku menitikan butir air mata yang mengalir ke pipiku, lalu terhempas oleh angin dan membaur di udara, karena aku masih melajukan kendaraanku ini dengan sangat kencang. Lebih kencang. Aku ingin segera tiba di rumah.
Lalu beberapa saat kemudian ...
''Kamu pulang terlambat, Poo ...'' tegur Ibuku di depan pintu, setelah aku memarkirkan sepeda motorku di garasi.
Aku tidak langsung menjawab teguran ibu, aku memutar otakku untuk mencari jawaban yang masuk akal agar ibu tidak mempertanyakan lebih jauh.
''Tadi, ada tambahan pelajaran, Bu ...'' Akhirnya aku memberikan jawaban itu.
__Maaf Bu, aku berbohong.
''Ohhh ... '' Ibuku mengangguk. Beliau percaya. Syukurlah!
''Udah makan?'' tanya Ibu lagi.
''Sudah!'' jawabku singkat.
''Kamu kok lesu amat sih, Poo ... kamu sakit?'' Ibuku memeriksa kening dan leherku.
''Tidak Bu, aku tidak apa-apa!'' Aku menghalau tangan ibu dari tubuhku. "Tidak usah mengkhawatirkan aku!'' imbuhku Lalu aku ngeloyor masuk ke kamarku. Ibu hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku yang menurutnya aneh. Mungkin!
Betul, aku memang aneh, karena sebagai seorang cowok tapi aku memiliki perasaan dengan sesama cowok bukankah itu hal yang aneh.
Aku menutup pintu kamarku rapat-rapat, kemudian aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Badanku terasa panas dingin secara tiba-tiba. Bayang-bayang wajah Bang Armando bermain-main di pelupuk mataku. Wajah gantengnya itu sungguh menghantui pikiranku. Semua yang ada pada Bang Armando seperti medan magnet yang menarik energi tubuhku dan merubah pemikiran logisku menjadi pikiran sempit yang memaklumi dan membenarkan tindakannya. Aku seakan dipaksa untuk menyetujui bahwa kecupan bibir gempalnya itu sesuatu hal yang nikmat.
__Oh ... Tuhan, apakah aku sudah resmi menjadi seseorang yang orientasi seksualnya menyimpang? Apakah aku harus bersyukur atau harus menyesal?
Ah ... aku bisa menolak dan membenci perlakuan Akim terhadapku tapi mengapa aku tidak bisa membenci ketika Bang Armando memperlakukan hal yang sama terhadapku. Mengapa bisa demikian? Ada apa dengan diriku ini?
Aku menutup mukaku dengan bantal, aku benamkan semua pikiranku dan berharap aku bisa melupakan segalanya. Aku hanya ingin tenang dan tertidur karena aku lelah dengan semua ini.