Gelora 💗 SMA
Hari ini memang kurang menyenangkan di sekolah. Banyak kejadian yang membuatku jadi malu. Namun demikian, aku berusaha melupakan itu semua. Aku tetap berpikiran positif dan menganggap semua itu hanya sebuah angin lalu.
Oke ... setelah pelajaran demi pelajaran kami lewati akhirnya bel tanda pulang berbunyi nyaring. Saatnya bubaran sekolah. Semua penghuni sekolah pada berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing seperti laron yang keluar dari sarangnya.
Seperti biasa aku langsung menuju ke parkiran untuk mengambil motorku. Oh ya, hari ini aku pulang sendirian, karena Randy tidak ikut pulang bersamaku. Saat di kantin dia sempat bilang kalau sore ini dia akan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Jadi, dengan berat hati aku pun harus melenggang sendiri. Biasanya kalau tidak pulang bersama Randy aku pulang beriringan dengan Rudy, tapi dari pagi Rudy tidak ada kabarnya. Mungkin dia tidak bersekolah. Entah, mengapa sebabnya, mungkin dia sakit atau mungkin karena malas. Hmmm ... aku tidak tahu.
Tanpa banyak cincong, aku pun segera mengendarai sepeda motorku dan perlahan meninggalkan almamaterku ini. Aku menikmati perjalanan ini dengan jiwa pelajar pada umumnya, riang tanpa beban. Hingga aku tiba di tengah jalan. Aku memperlambat laju kendaraanku ketika mataku dari balik helm ini melihat sesosok Pak Armando yang sedang berjalan di tepi jalan. Sebenarnya aku ingin menghindari dia bila mengingat insiden di perpustakaan yang memalukan itu. Tapi rasa malu itu aku buang jauh-jauh karena aku cukup iba melihat guru tampanku itu berjalan sendirian di tengah terik matahari yang cukup panas ini.
''Bepp ... Beppp!'' Aku membunyikan klakson motorku, dan seketika itu pula Pak Armando melengos ke arahku.

''Sendirian aja, Pak?'' kataku sembari membuka kaca helmku dan mengontrol kecepatan motorku agar tidak lebih cepat dari Pak Armando berjalan. Minimal aku bisa sejajar dengan guru muda itu.
''Hai, Polo ... iya, nih!'' sahut Pak Armando.
''Tumben tidak bawa motor, Pak?'' tanyaku dengan nada heran.
''Iya ... motor Bapak lagi istirahat di bengkel, hehehe ...'' jawab Pak Armando.
''Oh, gitu ... apa Bapak mau saya antar pulang, Pak?'' Entah, mengapa aku memiliki keberanian untuk menawarkan diri buat mengantar dia. Padahal kalau dengan guru lain aku tidak pernah melakukan hal ini.
''Boleh ... kalau kamu tidak keberatan, Poo,'' ujar Pak Armando tanda menyetujui.
''Dengan senang hati, Pak!'' timpalku.
''Baiklah, Bapak mau!'' Pak Armando menganggukan kepala seraya melempar satu senyuman gula yang kelewat manisnya. Perfect.
''Yes!'' kataku dalam hati dengan sangat girang seraya aku menghentikan motorku dan membiarkan Pak Armando mendompleng di jok belakang motorku.
Sejurus kemudian,
Pak Armando sudah berada di belakangku, lalu tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung menarik gas motorku hingga motor kesayanganku ini meluncur dengan cepat di jalanan beraspal menuju rumah Pak Armando. Selama perjalanan kami memang tidak banyak percakapan, karena Pak Armando rupanya tipe orang yang irit kata. Dia hanya ngomong dan menjawab seperlunya saja. Meskipun demikian aku tidak menjadikan ini sebuah persoalan, karena yang penting bagiku, aku bisa membantu guruku. Dan itu lebih dari cukup untuk membuatku bahagia karena jujur saja, aku memang mengidolakan Pak Armando. Selain tampan dia itu memiliki otak yang cerdas dan postur tubuh yang proposonal.
''Terima kasih ya, Poo ...'' ujar Pak Armando saat tiba di depan rumahnya sembari turun dari motorku.
''Ya, sama-sama, Pak!'' balasku.
''Mampir saja dulu, Poo ...'' kata Pak Armando.
''Tidak usah Pak, nanti saya malah ngerepotin, Bapak,'' tukasku.
''Tidak apa-apa, ayo sini mampir dulu ... Bapak mau kasih sesuatu buat kamu, anggap saja sebagai ucapan terima kasih Bapak kepada kamu, karena kamu sudah sudi mengantarkan Bapak pulang.''
''Hehehe ... tidak usah, Pak ...''
''Udah ... jangan menolak rejeki!"
Awalnya aku ragu, tapi karena Pak Armando terus membujuk bahkan sedikit memaksa akhirnya aku menurutinya. Aku pun masuk ke dalam rumah Pak Armando.