Chereads / Bara / Chapter 45 - When The Sky is Falling (1)

Chapter 45 - When The Sky is Falling (1)

Bara membuka ponselnya dan mendapatkan pemberitahuan tentang wawancara akhir untuk posisi magang di MG Group.

"Baru sehari udah ada pengumumannya," Bara sedikit heran dengan hasil tes ketiga yang sudah keluar.

Pada pemberitahuan itu, Bara diminta untuk datang ke kantor besok pada pukul sepuluh. Bara menelpon Pak Haryo untuk memberitahukan hasil tes ketiganya. Pak Haryo langsung mengangkat telpon dari Bara pada nada panggil pertama.

"Besok saya wawancara akhir di kantor," Bara memberitahu tentang wawancara akhir di MG Group.

"Besok Eyang juga akan mengawasi wawancara itu?" tanyanya pada Pak Haryo.

"Oh, begitu, saya pikir Eyang akan mengawasi wawancara saya lagi, tapi ternyata Eyang sedang liburan," canda Bara pada Pak Haryo.

"Oke, setelah wawancara saya akan menyusul kesana,"

Bara mematikan panggilan telponnya dengan Pak Haryo.

Setelah mematikan sambungan telponnya dengan Bara, Pak Haryo merasa sedikit aneh dengan hasil tes ketiga Bara sudah keluar secepat ini.

"Apa biasanya memang secepat ini untuk hasil tes ketiga, Gus?" tanya Pak Haryo pada Pak Agus.

"Biasanya untuk hasil tes ketiga memang keluar lebih cepat daripada tes yang lain, jika dalam tujuh hari tidak ada pemberitahuan berarti tidak lolos, Bara berhasil lolos?"

"Tentu saja dia lolos, kalau pun dia tidak lolos, saya sendiri yang akan meloloskan,"

"Tumben kamu mau menggunakan kekuasaan kamu,"

"Tadinya saya memang berencana memuluskan langkah Bara untuk bergabung diperusahaan, tapi sejauh yang saya lihat, tanpa bantuan dari saya pun dia sudah berhasil sampai sejauh ini, tapi saya tetap merasa pengumuman ini terlalu cepat."

"Kamu curiga ada permainan dibalik pengumuman yang cepat ini?"

"Sedikit, bahkan Gilang belum melapor pada saya."

Pak Haryo merasa gelisah dengan pengumuman tes ketiga yang lebih cepat dari biasanya.

"Oh ya Gus, besok Bara akan menyusul kesini, tolong kamu siapkan semuanya ya," pinta Pak Haryo.

"Oke."

Pak Haryo kembali ke kamar tidurnya, namun entah mengapa hatinya merasa tidak tenang.

*****

Keesokan harinya Bara sudah bersiap menuju kantor pusat MG Group untuk melakukan wawancara akhir. Kali ini Bara berangkat menggunakan mobilnya, tidak seperti sebelumnya yang menggunakan motor Pak Pam. Setibanya disana, Bara kembali berjumpa dengan si biang onar. Bara kembali menghampirinya dan mengajaknya berkenalan secara baik-baik.

"Ternyata kita ketemu lagi," sapa Bara.

"Gue rasa kita bakal kerja bareng," timpalnya.

"Kalau begitu kita perlu kenalan secara langsung, gue Bara," Bara mengulurkan tangannya.

Kali ini si biang onar menyambut uluran tangan Bara, "Axel," si biang onar memperkenalkan namanya.

Keduanya berjabat tangan. Menurut Bara, akan lebih baik jika dia bisa mengenali musuhnya terlebih dahulu sebelum memutuskan bagaimana cara menghadapinya. Bara harus mencari tahu siapa koneksi Axel untuk masuk kedalam MG Group dan apakah Axel memiliki niat tersembunyi yang lain atau tidak.

"Semoga kita bisa jadi rekan kerja yang kompak, Axel," ujar Bara.

Axel membalas ucapan Bara dengan tersenyum samar. Keduanya kemudian melepaskan jabat tangannya karena nama Axel sudah dipanggil untuk masuk kedalam ruang interview.

Bara memandangi pintu ruang interview disebelahnya.

"Selangkah lagi," batin Bara.

****

Pak Haryo dan Pak Angga berkeliling kota Solo untuk bernostalgia tentang masa muda yang mereka habiskan di kota tersebut. Mereka tiba di sudut pasar tempat biasa Pak Agus menghabiskan waktunya untuk mengikuti judi sabung ayam.

"Saya masih ingat, dulu saya hampir babak belur kamu pukuli disini," kenang Pak Agus.

"Pipimu masih sakit?"

"Sedikit," jawab Pak Agus sambil tertawa dan memegangi pipinya yang dulu pernah merasakan tinju Pak Haryo.

"Kamu boleh pukul saya," Pak Haryo menyodorkan pipinya pada Pak Agus.

"Buat apa saya mukul kakek-kakek tua kaya kamu, tidak ada gunanya juga saya balas memukul kamu."

"Tapi saya penasaran, apa kamu pernah sedikit saja menyimpan dendam pada saya karena sudah memukul kamu waktu itu?" tanya Pak Haryo serius.

"Saya bohong kalau saya bilang saya tidak menyimpan dendam sedikit pun, saya sangat kesal waktu kamu tiba-tiba muncul dan langsung mukul saya tanpa basa-basi, tapi setelah saya mengantar kamu ke rumah sakit dan melihat keadaan kalian bertiga, saya jadi merasa bersalah karena sudah menyembunyikan kondisi Ibu sama kamu, kalau saja saya tidak menuruti apa yang dikatakan Ibumu, mungkin keadaannya akan berbeda, jadi saya anggap pukulan itu tidak ada apa-apanya dibanding yang kalian bertiga rasakan."

"Apa itu juga alasan kamu mau membantu saya?"

Pak Agus mengangguk, "Saya rasa keputusan saya membantu kamu sampai saat ini adalah keputusan yang tepat, kamu sukses dan saya juga ikut merasakan hasil dari kesuksesan kamu itu."

"Lalu dendam kamu yang sedikit itu kamu apakan?"

"Ndak ada gunanya menyimpan dendam, itu cuma akan menggerogoti kamu perlahan-lahan, cuma bikin sakit."

Pak Haryo terdiam mendengar jawaban Pak Agus. Seandainya saja Angga tidak memelihara dendam pada dirinya, mungkin semua tragedi ini tidak akan terjadi.

"Ngomong-ngomong Gus, kamu ndak mau jabatan tinggi dikantor?" tanya Pak Haryo.

"Ngurus kamu aja sudah repot, buat apa saya repot-repot ngurus tetek bengek perusahaan, toh gaji saya melebihi gaji-gaji mereka yang jabatannya lebih tinggi," ujar Pak Agus tertawa.

Pak Haryo ikut tertawa mendengar jawaban Pak Agus.

"Suwun Gus," ujar Pak Haryo sambil merangkul Pak Agus.

"Mbok ya gaji saya dinaikkan, sekarang kan saya juga ikut ngurusin cucu kamu," canda Pak Agus.

"Kamu ini, kenapa selalu ujung-ujungnya duit," Pak Haryo menatap Pak Agus dengan tatapan tidak percaya.

Pak Agus tertawa melihat ekspresi Pak Haryo yang memandangnya dengan tatapan tidak percaya.

"Wes lah, ayo kita makan, perutku wes keroncongan," ajak Pak Agus.

"Sampeyan yang traktir yo." timpal Pak Haryo.

"Ini yang bos siapa toh, masa bos minta traktir asistennya."

"Yowes, hari ini sampeyan yang jadi bos, aku jadi asisten sampeyan," Pak Haryo merebut kunci mobil dari tangan Pak Agus.

Dengan cekatan Pak Haryo membukakan pintu mobil untuk Pak Agus. Namun Pak Agus menolak untuk duduk di bangku penumpang yang berada dibelakang dan memilih untuk duduk di bangku penumpang di sebelah pengemudi. Pak Agus beralasan dirinya suka mabuk jika duduk dibangku belakang karena sudah terbiasa duduk di bangku depan. Pak Haryo tidak banyak protes dengan alasan Pak Agus. Setelah mereka berdua duduk didalam mobil, Pak Haryo mulai mengemudikan kendaraannya perlahan menuju rumah makan kesukaan Pak Agus.

****

Sebuah sepeda motor terus mengikuti kendaraan yang ditumpangi Pak Haryo dan Pak Agus. Pemotor itu sudah membuntuti kendaraan Pak Haryo sejak kemarin saat keduanya datang di area pemakaman. Hari ini pun pemotor tersebut sudah mengikuti keduanya sejak keluar dari hotel tadi pagi. Disetiap tempat yang disinggahi oleh Pak Haryo dan Pak Agus, pengendara tersebut selalu melapor pada atasannya.

"Mereka sudah tiba ditempat makan sesuai perkiraan Pak," ujar pemotor tersebut melapor pada atasannya.

"Baik Pak, saya akan terus mengawasi mereka," ujarnya pada seseorang yang memerintahkannya.

Dia memandang kearah Pak Haryo dari kejauhan lalu turun dari motornya dan berjalan menuju bagian belakang rumah makan tempat Pak Haryo dan Pak Agus makan.

Setelah mendapat laporan dari pemotor suruhannya, pria paruh baya itu langsung berkoordinasi dengan koordinatornya di lapangan. Dia memerintahkan koordinator tersebut untuk menyiapkan massa disekitar tempat makan yang disinggahi Pak Haryo dan Pak Agus. Aksi mereka kali ini sudah direncanakan dengan matang dan juga melibatkan beberapa pejabat setempat. Setelah memastikan koordinator lapangan sudah menyiapkan massa, pria paruh baya itu melapor pada atasannya yang berada di Jakarta.

"Semua sudah siap Pak, kami hanya tinggal menunggu perintah dari Bapak," lapornya.

"Baik Pak," dia mematikan sambungan telponnya dan kembali menunggu perintah selanjutnya sambil terus berkoordinasi dengan para anak buahnya.

Nama Bara dipanggil untuk masuk kedalam ruang interview. Pada saat masuk, Bara terkejut hanya ada satu orang yang duduk sebagai pewawancaranya hari ini. Ada tiga buah kursi dibalik meja pewawancara, namun hanya satu kursi yang terisi, dan orang yang duduk di kursi tersebut adalah Pak Angga. Pak Angga menutup sambungan telponnya ketika bara masuk kedalam ruang interview.

"Akhirnya kita bertemu lagi," Pak Angga menyapa Bara sambil tersenyum ramah.

Bara mencoba menutupi keterkejutannya dengan balas tersenyum pada Pak Angga.

"Selamat pagi Pak," ujar Bara gugup.

"Tidak usah pakai Pak segala, cucunya Mas Haryo sudah pasti cucu saya juga, apa kamu lupa dulu saya juga suka gendong-gendong kamu, kamu panggil saya Eyang saja," ujar Pak Angga.

Sejujurnya Bara memang tidak ingat dengan orang yang ada dihadapannya saat ini namun Bara tidak ingin Pak Angga tahu jika dirinya mengalami hilang ingatan akibat peristiwa kecelakaan sepuluh tahun silam tersebut. Untungnya sebelum wawancara ini terjadi, Bara sudah banyak mendapat informasi tentang keluarganya melalui apa yang diceritakan Kimmy padanya.

Pak Angga kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Bara.

"Sudah lama ya sejak pertemuan kita dirumah Eyangmu, kamu sudah banyak berubah," Pak Angga berjalan mengitari Bara seperti sedang memeriksa sesuatu.

Sikap Pak Angga jelas membuat Bara merasa tidak nyaman.

"Saya akui keberanian kamu kemarin, sikap kamu yang berani menggertak Bima didepan pejabat perusahaan, membuat saya teringat Mahesa," Ujar Pak Angga. Langkahnya terhenti dan Pak Angga menatap ke langit-langit ruang interview seolah sedang mengingat sesuatu.

Bara terkejut ketika Pak Angga mulai menyinggung nama Papanya.

"Memang buah selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya," Pak Angga kembali mengalihkan perhatiannya pada Bara.

Tatapan mereka bertemu. Bara sudah mengepalkan tangannya ketika Pak Angga mulai menyinggung Papanya.

"Kamu sedang kurang sehat?" tanya Pak Angga.

"Saya ngga apa-apa," jawab Bara.

"Tapi keringat kamu banyak sekali, padahal ruangan ini dingin,"

Bara menyeka keringat di keningnya yang sebesar bulir-bulir jagung. Seluruh tubuhnya merasa panas karena menahan amarah.

"Bagaimana kalau kita ngobrol santai diruangan saya saja? Lagipula kan kamu juga salah satu calon penerus perusahaan ini, tidak enak kalau kita mengobrol disini."

"Terserah saja."

Pak Angga keluar dari ruang interview dan diikuti oleh Bara yang berjalan dibelakangnya. Pada saat berjalan menuju ruangannya, Pak Angga melakukan panggilan telpon. Samar-samar Bara mendengar Pak Angga seperti memerintahkan seseorang melakukan sesuatu, setelah memberi perintah, Pak Angga langsung mematikan kembali sambungan telponnya.

Kini keduanya sudah berada diruangan Pak Angga, Pak Angga langsung menyalakan televisi yang berada diruangannya. Pak Angga melirik jam tangannya, "sebentar lagi breaking news," ujarnya.

"Bahkan selera jam tangan kalian sama," Pak Angga melirik jam tangan yang sedang dikenakan Bara.

"Memang ini milik Papa," ujar Bara.

"Bagaimana rasanya setelah kembali ke keluarga kamu?"

Bara berpikir sejenak, "Rasanya seperti masuk ke hutan belantara yang lebih gelap."

"Bukankah kehidupan yang kamu jalani sekarang itu jauh lebih baik dari kehidupan kamu sebelumnya?"

"Awalnya saya pikir begitu, tapi kenyataan yang saya temukan tidak seperti itu,"

"Memang apa yang kamu temukan?" Pak Angga berusaha memancing Bara untuk mengetahui apa Bara memegang bukti-bukti yang sudah dikumpulkan oleh mahesa sepuluh tahun silam.

Bara mencondongkan tubuhnya kearah Pak Angga dan bersikap seolah sedang mencium sesuatu.

"Eyang pakai parfum apa?" tanya Bara mengalihkan perhatian Pak Angga.

"Memang kenapa dengan wangi parfum saya?"

"Wanginya tidak enak."

Pak Angga tertawa mendengar ucapan Bara, jelas ucapan Bara adalah sindiran untuknya. Bara ikut tertawa karena merasa puas dengan kata-kata yang sudah ia lontarkan pada Pak Angga. Setidaknya kata-kata itu dapat menyiratkan bahwa Bara sudah mengetahui sesuatu dibalik peristiwa kecelakaan yang dialaminya dahulu.

Pak Angga mengeraskan volume suara televisi diruangannya ketika siaran breaking news dimulai. Keduanya nampak serius ketika siaran tersebut memberitakan tentang tawuran antar warga yang terjadi di kota Solo.

"Loh, itu kan didekat rumah makan langganan Eyangmu sama Agus," komentar Pak Angga.

Bara terkejut mendengar komentar Pak Angga, terlebih lagi saat ini Pak Haryo juga sedang berada di kota Solo.

"Eyangmu sekarang ada dimana?" Pak Angga lanjut bertanya.

"Di Solo," jawab Bara singkat.

"Coba kamu hubungi dia," Pak Angga meminta Bara untuk menghubungi Pak Haryo.

Bara segera mencoba menghubungi Pak Haryo, namun tidak ada jawaban. Bara kemudian berusaha menghubungi Pak Agus. Hasilnya sama, tidak ada jawaban.

Bara mulai khawatir dengan pemberitaan yang terjadi di kota Solo.

"Bagaimana, ada jawaban?"

Bara menggeleng.

"Saya permisi dulu," Bara berdiri dan langsung berjalan menuju pintu ruangan Pak Angga. Bara ingin segera memastikan keadaan Pak Haryo.

"Hati-hati," Pak Angga berteriak begitu Bara keluar dari pintu ruangannya.

Bara mulai panik setelah berulang kali mencoba menghubungi Pak Haryo dan Pak Agus, namun keduanya sama-sama tidak merespon. Dengan tergesa-gesa Bara memencet tombol lift untuk segera turun ke tempat mobilnya diparkir. Begitu Bara keluar dari lift di ruang basement, Bara segera berlari menuju mobilnya. Namun langkah Bara terhenti ketika ada Lengan yang mengunci lehernya dari belakang. Lengan itu dengan kuat mencekik leher Bara, sehingga Bara kesulitan untuk melawan. Dengan sekuat tenaga Bara mendorong orang yang menyerangnya sampai membentur tembok. Bara berhasil lepas, namun butuh waktu baginya untuk menstabilkan napasnya akibat cekikan orang tersebut. Melihat Bara yang masih terengah-engah, orang tersebut tidak buang waktu dan menendang Bara dari belakang, hingga Bara terjerembab di lantai dan langsung menindih tubuh Bara sambil memiting lengannya ke belakang. Orang itu kemudian mengeluarkan sebuah injeksi pen dari saku jaketnya dan menyuntikkannya pada Bara. Tubuh Bara yang awalnya masih meronta, perlahan-lahan semakin kehilangan kekuatannya sampai akhirnya tidak lagi bergerak. Orang yang menyerang Bara bangkit berdiri setelah memastikan Bara sudah tidak lagi bergerak. Dia membalik tubuh Bara dan langsung menyeret Bara yang sudah tidak sadarkan diri menuju kendaraannya.

*****

****