Chereads / Bara / Chapter 46 - When The Sky is Falling (2)

Chapter 46 - When The Sky is Falling (2)

Pak Haryo dan Pak Agus sedang menikmati hidangan sate kere di tempat langganannya ketika samar-samar mendengar suara keributan tidak jauh dari rumah makan yang sedang mereka singgahi. Semakin lama suara keributan itu semakin mendekat.

"Ribut-ribut apa ini, Gus?" tanya Pak Haryo.

"Paling ada yang tawuran," jawab Pak Agus santai tanpa mempedulikan suara ribut dari luar rumah makan dan tetap menikmati makanannya.

Pak Haryo memperhatikan jalanan di depan rumah makan tersebut. Beberapa orang mulai terlihat saling lempar batu dan botol minuman. Pemilik rumah makan mulai mengantisipasi lemparan batu dengan menutup bagian depan rumah makan tersebut agar tidak ada batu yang masuk kedalam. Dari sela-sela pintu rumah makan makan, Pak Haryo melihat mulai ada kepulan asap akibat kedua belah pihak mulai saling lempar bom molotov.

"Anak muda jaman sekarang, perkara cinta aja sampai tawuran," Pak Agus berkomentar dan ikut mengintip sedikit dari celah pintu rumah makan.

"Heran saya, gara-gara perkara sepele saja jadi banyak pihak yang dirugikan," Pak Agus geleng-geleng kepala dan kembali menikmati makanannya.

"Kamu ini, diluar ada tawuran masih bisa-bisanya makan dengan santai begitu?" Pak Haryo mengomentari Pak Agus yang masih bisa makan dengan tenang meskipun diluar sedang terjadi keributan.

"Kalau saya ndak makan, saya nanti ndak bisa nolongin kamu kalau ada apa-apa," timpal Pak Agus.

Tiba-tiba saja sebuah bom molotov menggelinding masuk kedalam rumah makan. Bom tersebut meledak dan langsung membakar bagian depan rumah makan.

"Nah, kalau sekarang kamu masih bisa santai?" sindir Pak Haryo.

Pemilik rumah makan keluar dari dapurnya dan meminta para pengunjungnya untuk keluar melalui pintu belakang. Asap mulai memenuhi bagian dalam rumah makan tersebut.

Pak Haryo sudah bangkit berdiri dari kursinya. Pak Agus ikut bangkit dari kursinya dan sempat menyeruput kembali es teh manis miliknya sebelum mengikuti Pak Haryo berjalan menuju pintu belakang rumah makan tersebut. Ditengah kepulan asap itu, muncul seseorang yang berdiri di bibir pintu dan menghalangi jalan Pak Haryo. Orang tersebut mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Pak Haryo terdiam ketika orang tersebut menodongkan pisau padanya. Asap didalam rumah makan itu semakin pekat, hingga Pak Agus kesulitan melihat Pak Haryo yang sudah berdiri di bibir pintu belakang. Ketika Pak Agus sudah berdiri di belakang Pak Haryo, Pak Agus bingung mengapa Pak Haryo hanya berdiri mematung di bibir pintu.

"Haryo, cepat keluar!" Pak Agus menepuk punggung Pak Haryo dari belakang.

Melihat Pak Haryo yang tetap berdiri diam, Pak Agus berpindah kesebelah Pak Haryo.

"Ono opo?" tanya Pak Agus sambil keheranan melihat Pak Haryo memegangi pinggang kirinya.

Pak Haryo tidak menjawab dan hanya menunjukkan telapak tangannya yang sudah berlumuran darah.

"Masya Allah!" pekik Pak Agus.

Pak Agus segera memapah Pak Haryo untuk keluar dan menjauh dari rumah makan tersebut. Mereka berjalan menjauhi rumah makan, pada saat itu, Pak Agus melihat Polisi yang mulai berdatangan. Pak Agus segera mendudukkan Pak Haryo di pelataran toko yang sedang tutup tidak jauh dari rumah makan tersebut. Pak Haryo sudah tampak kehabisan tenaga, wajahnya memucat dan bajunya sudah dipenuhi dengan noda darah.

"Tunggu sebentar disini, saya cari pertolongan."

Pak Haryo mengangguk lemah.

"Tetap tekan dibagian yang terluka."

Pak Haryo kembali mengangguk.

Pak Agus bergegas lari kearah Polisi yang baru saja datang untuk membubarkan massa yang terlibat tawuran. Pak Agus segera mencari Komandan pasukan Polisi tersebut, ketika menemukannya, Pak Agus langsung memberitahunya ada warga sipil yang terluka parah akibat terkena lemparan benda tajam. Komandan Polisi itu memerintahkan anak buahnya untuk mengikuti Pak Agus dan melaporkan kondisi korban yang terluka sambil sambil menelpon unit ambulance. Pak Agus dan petugas Polisi itu bergegas lari ke tempat dimana tadi Pak Agus meninggalkan Pak Haryo. Begitu tiba disana, Pak Haryo sudah tampak sangat lemah, petugas Polisi itu segera melapor pada Komandannya. Petugas Polisi itu kemudian membaringkan tubuh Pak Haryo sambil menekan area yang terluka agar tidak banyak mengeluarkan darah sampai ambulance datang. Tidak berapa lama ambulance datang, tubuh Pak Haryo segera dibawa kerumah sakit terdekat menggunakan Ambulance.

Didalam ambulance, Pak Haryo menyentuh lengan Pak Agus dan mengisyaratkan Pak Agus untuk mendekat kearahnya. Pak Agus menurut dan mendekatkan telinganya pada Pak Haryo.

"Jaga Bara," hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Pak Haryo.

Pak Agus menatap mata Pak Haryo lekat-lekat dan mengangguk. Pak Haryo kemudian memejamkan matanya.

*****

Seperti biasanya, disela-sela menunggu jam istirahat makan siang, Arga memutuskan untuk turun ke lantai basement untuk merokok. Setelah selesai merokok, Arga bermaksud untuk segera kembali ke lantai atas, namun Arga melihat ada sesuatu yang mencurigakan didekat lift. Perlahan Arga mengintip. Dia melihat seorang pria berpakaian hitam-hitam dan mengenakan topi sedang menindih seorang pria yang sedang telungkup dilantai. Pria yang sedang ditindih terlihat memberikan perlawanan dengan terus mencoba melepaskan diri, namun lama-kelamaan gerakan pria tersebut semakin melemah sampai akhirnya tidak ada perlawanan sama sekali. Pria bertopi itu kemudian berdiri dan membalik tubuh pria yang tadi ditindih olehnya. Arga terkejut begitu melihat tubuh pria yang sedang tergeletak dilantai.

"Bara," bisik Arga.

Instingnya mengatakan, dia harus segera menolong Bara. Arga menoleh ke kanan dan kiri mencari sesuatu untuk menolong Bara dari pria bertopi hitam tersebut. Arga kemudian melihat sebuah tabung hydrant tidak jauh dari tempatnya berdiri dan bergegas mengambil tabung tersebut. Arga kembali dengan membawa tabung hydrant dan bersiap untuk menyelamatkan Bara. Namun begitu Arga kembali ketempatnya, tubuh Bara dan pria bertopi itu sudah tidak ada. Arga berjinjit mencari pria bertopi tersebut di sela-sela kendaraan yang terparkir disana, Arga yakin pria tersebut pasti masih ada di area parkir. Dari kejauhan, Arga kemudian melihat pria bertopi itu di sela-sela kendaraan yang sedang terparkir. Arga mencari jalan memutar agar bisa menyerang pria tersebut dari belakang. Begitu tiba dibelakang pria bertopi itu, Arga segera menyerang punggungnya menggunakan tabung hydrant yang dipegangnya. Serangan yang diberikan Arga ternyata tidak langsung melumpuhkan pria bertopi tersebut. Pria itu malah menoleh dan hendak menyerang Arga. Dengan sigap, Arga menyemprotkan tabung hydrant itu tepat diwajah orang tersebut dan Arga segera mengayunkan tabung yang dipegangnya ke kepala pria bertopi itu sebanyak dua kali. Pria bertopi itu kemudian terjatuh dilantai dengan kening berdarah. Arga segera melepaskan tabung yang dibawanya dan menghampiri Bara.

"Bara, Bara," Arga menepuk-nepuk pipi Bara.

Bara tidak merespon.

Arga mendekatkan tangannya ke hidung Bara. Napas Bara terasa sangat pelan. Arga kemudian mendekatkan telinganya ke dada Bara untuk mendengar detak jantungnya. Detak jantungnya juga terdengar pelan.

Arga kembali menepuk-nepuk wajah Bara, namun Bara tetap tidak merespon. Arga memutuskan untuk membawa Bara ke mushola yang berada tidak jauh dari sana. Setelah membawa Bara ke mushola, Arga mencari petugas keamanan yang sedang berjaga untuk menahan orang yang menyerang Bara. Setelahnya, Arga mencari mobil yang biasa ditumpangi Bara. Arga menemukannya dan segera menghampiri supir pribadi Bara yang sedang ada didalam mobil. Arga mengetuk kaca pengemudi dan supir pribadi Bara segera menurunkan kaca mobilnya.

"Bapak supirnya Bara, kan?" tanya Arga.

Pak Pam mengangguk.

"Bantuin saya bawa Bara, Pak."

"Memangnya Mas Bara kenapa?" tanya Pak Pam.

"Bara pingsan, Pak," terang Arga.

Pak Pam segera menutup kaca mobilnya dan segera keluar dari dalam mobil.

"Dimana Mas Bara sekarang?" tanya Pak Pam panik.

"Saya bawa dia ke mushola, Pak."

Pak Pam segera melangkah cepat menuju mushola, namun Arga langsung memanggilnya kembali, "Bawa mobilnya sekalian Pak!"

Pak Pam menoleh dan segera kembali kedalam mobil.

"Masuk kamu," Pak Pam menyuruh Arga untuk ikut masuk kedalam mobil.

Tidak lama mereka berdua tiba didepan mushola, begitu masuk, Bara masih tidak sadarkan diri.

"Tunggu sebentar disini Pak, kayanya barang-barang Bara jatuh didekat lift."

Arga kembali bergegas menuju pintu lift, dugaannya tepat. Barang-barang Bara terjatuh disekitar lift. Arga memungutinya dan segera kembali ke mushola.

Arga dan Pak Pam bersama-sama menaikkan tubuh Bara ke dalam mobil. Begitu tubuh Bara sudah berada didalam mobil, ponsel Bara berdering. Arga meraba saku celana Bara dan mengambil ponsel Bara.

"Angkat nih, Pak," Arga meminta supir pribadi Bara untuk mengangkat telpon karena nama yang tertera pada panggilan tersebut adalah nama Damar.

"Masnya aja yang angkat, sungkan saya," ujar Pak Pam.

"Bapak kan pasti sering dapat telpon dari keluarga mereka."

"Kalau dari Mbak Kimmy atau Pak Agus saya masih berani, tapi kalau Mas Damar, Masnya ajalah yang angkat."

Arga akhirnya pasrah dan menerima panggilan telpon dari Damar di ponsel Bara.

"Halo, Pak, ini saya Arga," jawab Arga.

"Baranya pingsan Pak, ini saya lagi sama supirnya."

Arga kemudian menyerahkan ponsel Bara pada supir pribadinya, "Pak Damar mau bicara."

Pak Pam menerima ponsel Bara dan berbicara dengan Damar. Pak Pam memberitahukan lokasi mereka berada saat ini.

"Mas Damar mau turun kesini katanya," ujar Pak Pam sambil mematikan ponsel Bara.

Tidak lama kemudian Damar muncul dan langsung mengecek keadaan Bara.

"Bapak, nanti tolong bawa mobil saya, biar Bara saya yang bawa kerumah sakit, dan kamu Arga," Damar menoleh pada Arga, "Kamu ikut saya."

"Kerjaan saya gimana Pak?"

"Ini juga salah satu kerjaan kamu," ujar Damar.

Damar kemudian memberikan kunci mobilnya pada Pak Pam, "Kartu parkir sama STNK, ada disitu semua Pak, Bapak tahu kan saya akan bawa Bara kemana?"

"Tahu mas."

"Bagus kalau begitu, saya duluan."

Damar segera masuk kedalam mobil Bara. Arga kebingungan karena Damar duduk dibelakang kemudi.

"Cepat masuk," Damar menyuruh Arga untuk segera masuk kedalam mobil. Meskipun ragu-ragu, Arga menuruti perintah Damar dan masuk kedalam mobil.

****

Mobil yang dikemudikan Damar tiba di rumah sakit milik keluarga Pradana. Begitu tiba di depan pintu unit gawat darurat, seorang Dokter dan beberapa Perawat sudah bersiaga ketika mobil yang dibawa Damar berhenti dihadapan mereka. Arga tidak heran melihat Dokter dan perawat yang sudah bersiaga, karena ketika dalam perjalanan, Damar menelpon pihak rumah sakit. Begitu mobil berhenti, Perawat dengan sigap langsung membuka pintu penumpang dan memindahkan tubuh Bara ke ranjang yang sudah mereka siapkan. Mereka kemudian langsung membawa Bara masuk kedalam UGD.

"Kamu bisa nyetir?" tanya Damar.

Arga mengangguk.

"Kalau gitu, tolong parkirin mobilnya, saya mau masuk."

"Iya, Pak."

Damar dan Arga segera keluar dari mobil. Damar langsung masuk kedalam UGD sedangkan Arga masuk kembali kedalam mobil dan membawa mobil tersebut menuju tempat parkir.

Damar menghampiri Dokter yang sedang menangani Bara, "Dia ngga kenapa-napa kan, Dok?"

"Sepertinya ada yang sengaja memberinya obat penenang dosis tinggi, saya sudah ambil sampel darahnya dan sedang dibawa ke laboratorium," terang Dokter yang memeriksa Bara.

Dokter tersebut kemudian melanjutkan penjelasannya, "Dari bekas dilehernya juga terlihat seperti ada yang sengaja menyerangnya," Dokter menunjukkan bekas kemerahan pada leher Bara.

Damar memperhatikan area yang ditunjuk oleh Dokter.

"Siapa yang sudah melakukan ini?" batin Damar.

"Tolong jangan beritahukan ini pada siapa pun, termasuk pada Papa dan Eyang saya" pinta Damar pada Dokter yang menangani Bara.

"Baik, Mas Damar mau pasien dipindahkan sekarang?"

"Iya, Dok."

Damar menunggu hasil pemeriksaan darah Bara dikamar rawat Bara. Bara masih belum sadarkan diri, namun seluruh tanda vitalnya stabil. Setelah menunggu selama satu jam, Dokter yang menangani Bara datang dengan membawa hasil pemeriksaan darah Bara.

"Mas Bara overdosis obat penenang, penenang sebanyak ini bisa untuk melumpuhkan satu ekor gajah, untungnya Mas Bara segera mendapat pertolongan," terang Dokter yang menangani Bara.

Damar teringat dengan cerita Arga ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.

"Kira-kira kapan Bara akan sadar?"

"Tunggu saja, kita sudah memberikan obat untuk menetralisir obat penenang tersebut, tinggal tunggu efek penenangnya hilang, nanti Mas Bara akan sadar dengan sendirinya."

"Baiklah kalau begitu, terima kasih, Dok."

"Sama-sama, kalau begitu saya kembali keruangan saya dulu."

Dokter yang menangani Bara keluar dari kamar rawat Bara. Damar kembali menjatuhkan dirinya di sofa disebelah tempat tidur Bara.

Ponsel Damar bergetar, Kimmy yang menghubunginya. Damar segera mengangkat telponnya.

"WHAT!" pekik Damar begitu mendengar kabar yang disampaikan Kimmy.

"Gue dirumah sakit."

"Bukan, gue ngga apa-apa, tapi Bara."

"Ada yang nyerang Bara."

"Oke, lu cepet kesini buat jagain Bara, biar gue bisa cari tahu siapa yang nyerang Bara."

Damar mematikan ponselnya. Kemudian Damar mendengar ketukan dipintu. Damar membuka pintu dan melihat Arga yang sudah berdiri diluar kamar rawat.

"Kok kamu bisa ada disini?" tanyanya pada Arga.

"Saya tadi nyusul Bapak ke UGD tapi Bapak sama Bara sudah ngga ada, saya tanya petugas UGD, semuanya kompak bilang ngga tahu, akhirnya saya keliling ngintipin kamar rawat satu-satu, terus pas ngintip kesini saya lihat ada jas Bapak," terang Arga.

Damar hampir lupa tadi dia kerumah sakit bersama Arga.

"Kamu kenapa ngga langsung telpon saya?"

"Saya mana ngga punya nomor Bapak, oh iya Pak, saya tadi nemuin ini didekat lift," Arga menyerahkan sebuah pen injeksi pada Damar.

Damar menerimanya dan membaca nama obat yang tertera pada pen injeksi tersebut. Setelah melihat pen injeksi itu, Damar yakin orang yang menyerang Bara bukanlah orang sembarangan.

"Kamu bisa jagain Bara sebentar?"

"Bisa, Pak."

"Kalau begitu tolong jaga Bara sampai Kimmy datang, soal kerjaan kamu dikantor, kamu ngga usah khawatir, yang penting kamu jaga Bara, kamu paham?"

"Iya, Pak."

"Mana handphone kamu?"

"Buat apa Pak?"

"Udah sini cepet."

Arga ragu-ragu memberikan ponselnya pada Damar. Damar menerima ponsel Arga dan mengetikkan sesuatu di ponsel Arga. Selesai mengetik, Damar kembali menyerahkan ponsel Arga.

"Saya sudah simpan nomor saya disitu, kalau ada apa-apa langsung telpon saya, saya kembali ke kantor dulu."

Damar kemudian pergi meninggalkan kamar rawat Bara. Baru beberapa langkah berjalan, Damar kembali untuk memastikan sesuatu pada Arga.

"Ada yang ketinggalan Pak?" tanya Arga ketika Damar kembali masuk keruang rawat Bara.

"Tadi waktu dimobil, kamu bilang petugas keamanan sudah menangkap orang yang menyerang Bara, kan?"

"Iya Pak, saya tadi sudah lapor keamanan."

"Bagus kalau begitu."

Damar bergegas kembali kekantor untuk bertemu dan menginterogasi orang yang menyerang Bara. Dalam hatinya, Damar berharap dalang dibalik apa yang menimpa Pak Haryo dan Bara bukanlah Papa dan Eyangnya.

****