Chereads / Bara / Chapter 53 - Now and Then (4)

Chapter 53 - Now and Then (4)

Pak Ketut menunggu kedatangan Kimmy di galeri miliknya. Kimmy sudah memberi tahunya bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju kesana. Seorang wanita menghampiri Pak Ketut yang sedang harap-harap cemas menunggu Kimmy di lobi galeri miliknya.

"Kamu kenapa kelihatan tegang begitu?" tanya wanita tersebut.

Pak Ketut kaget, begitu melihat wanita itu ada disebelahnya.

"Kenapa kamu masih disini? Saya pikir kamu sudah ada di studio," ujarnya.

"Saya penasaran."

"Sudah, nanti saja penasarannya, lebih baik kamu ke studio sekarang."

Wanita di sebelah Pak Ketut kemudian melihat sebuah mobil minibus putih memasuki pelataran galeri.

"Sepertinya dia sudah datang, saya masuk dulu kalau begitu."

Tanpa menunggu kata-kata dari Pak Ketut, wanita itu segera masuk ke dalam galeri. Sambil bersiul, dia berjalan ke arah halaman belakang, dan masuk ke dalam bangunan yang ada di sudut halaman belakang galeri milik Pak Ketut. Ruangan yang tadinya merupakan sebuah gudang, dia alih fungsikan sebagai studio lukisnya. Tidak ada yang boleh masuk ke dalamnya. Hanya Pak Ketut yang ia izinkan masuk ke dalam ruangan tersebut. Pak Ketut juga sudah mewanti-wanti staff galeri seni miliknya untuk tidak medekat ke ruangan tersebut.

Pak Ketut menyambut kedatangan Kimmy dengan senyum terkembang di wajahnya.

"Kamu semakin hari semakin cantik saja," puji Pak Ketut.

"Ah, Bapak bisa saja," Kimmy tersipu mendengar pujian yang diberikan Pak Ketut padanya.

"Bunga dari saya kamu rawat, kan?" Pak Ketut menanyakan bungan Wijaya Kusuma yang sempat ia berikan pada Kimmy.

"Masih dong, sudah berbunga," ucap Kimmy bangga.

"Bagus, kalau begitu."

"Oh ya, Pak. Ini kru pemotretan saya."

Kimmy memperkenalkan kru yang dibawanya satu per satu kepada Pak Ketut. Para kru yang orang asli Bali, tentu sudah sangat mengenal Pak Ketut. Mereka merasa terhormat bisa bertemu Pak Ketut secara langsung.

"Halaman belakangnya boleh saya lihat-lihat dulu pak?" tanya Fotografer Kimmy.

"Boleh-boleh, mari kita ke halaman belakang saya."

Pak Ketut membawa mereka ke halaman belakangnya.

Kimmy berbisik pada Fotografernya, "Ngga sembarang orang yang bisa masuk ke halaman belakang galeri ini, jadi, foto yang bagus ya."

Fotografernya mengacungkan jempol, "Pasti."

Mereka semua terpukau begitu tiba di halaman belakang galeri seni milik Pak Ketut.

"Seluruh halaman belakang ini bebas kalian gunakan, kecuali satu," Pak Ketut menunjuk ruangan yang ada di sudut halaman belakang tersebut.

"Kalian jangan mendekat kesana, mengerti?" ujar Pak Ketut tegas sambil memandangi satu per satu kru yang dibawa Kimmy termasuk Kimmy sendiri.

Semua mengangguk patuh. Kimmy memandangi ruangan itu cukup lama, baru kemudian ikut mengangguk.

---

Pemotretan sore itu berjalan lancar. Para kru pemotretan yang disewa Kimmy bekerja dengan sangat professional. Mereka mampu mempersiapkan pemotretan dengan cepat dan tepat. Kimmy merasa puas dengan hasil foto pakaian yang dipergakan oleh sahabatnya. Sahabatnya itu tidak pernah mengecewakannya. Awalnya Kimmy menduga pemotretan akan memakan waktu yang lebih lama, namun karena semua kru bekerja secara professional maka pemotretan bisa selesai lebih cepat. Hal ini juga didukung oleh kebaikan tuan rumah. Selain meminjamkan halaman belakang galeri miliknya, Pak Ketut juga meminjamkan salah seorang staf galeri miliknya untuk membantu pemotretan tersebut. Sesekali Pak Ketut datang menghampiri dan tidak sungkan untuk membantu Kimmy yang terlihat sangat sibuk.

"Yap, udah selesai," teriak Kimmy. Kimmy bertepuk tangan untuk kerja keras para kru pemotretannya.

Para kru ikut bertepuk tangan dan segera membereskan perlengkapan mereka. Setelah itu, mereka melepas lelah dengan bersantai di gasebo milik Pak Katut dan menikmati camilan yang disediakan oleh Pak Ketut. Dari gasebo tersebut, Kimmy melihat Pak Ketut yang berjalan menuju bangunan yang berada di sudut halaman belakang. Pak Ketut hanya berdiri diluar. Sekilas tampak Pak Ketut seperti sedang berbicara dengan seseorang.

"Itu, Pak Ketut lagi ngomong sama siapa?" salah seorang diantara mereka mengomentari tingkah laku aneh Pak Ketut.

"Cari wangsit kali," sabahat Kimmy menimpali.

"Hush, ngaco. Ngga enak nanti kalau di dengar Pak Ketut," ujar Kimmy.

Kimmy memandangi tingkah Pak Ketut yang memang terlihat sangat aneh. Kimmy sendiri penasaran kenapa Pak Ketut melarang semua orang untuk mendekat ke bangunan itu.

"Apa mungkin itu studio rahasia Pak Ketut?" Kimmy mencoba berpikir logis.

"Tapi kalau itu studionya, kenapa dia ngga masuk aja ke dalam? Dia malah cuma berdiri di luar dan seperti sedang berbicara dengan seseorang."

Banyak pertanyaan dalam benaknya tentang bangunan di sudut halaman belakang galeri milik Pak Ketut. Kimmy terus memandangi bangunan tersebut, Kimmy segera mengalihkan perhatiannya ketika Pak Ketut tiba-tiba berbalik arah dan menatapnya. Kimmy segera membahas mengenai pemotretan sore itu bersama para krunya.

---

Selesai membahas sedikit tentang hasil pemotretan sore itu, Kimmy membiarkan para krunya untuk pergi lebih dulu. Kimmy mengatakan akan melanjutkan pengecekan untuk hasil fotonya ketika dia kembali ke hotel. Saat ini Kimmy ingin menghabiskan sedikit lagi waktunya di galeri milik Pak Ketut. Kimmy kembali berkeliling galeri tersebut. Memandang berbagai karya seni yang dilahirkan dari tangan seniman sekelas Pak Ketut merupakan sebuah penghiburan baginya. Apalagi dia bisa bebas berkeliling galeri tanpa gangguan orang lain karena galeri ini sudah tutup pada pukul lima sore. Setelah tutup, yang tersisa hanya para staff yang bertugas untuk mengecek semua karya seni yang dipajang dan beberapa staff yang membersihkan galeri. Setelah lelah berkeliling, Kimmy kembali ke halaman belakang dan duduk seorang diri di gasebo. Hari sudah gelap. Kimmy menyandarkan kepalanya pada tiang penopang gasebo. Kimmy mendongakkan kepalanya dan melihat bulan yang bersinar indah malam ini. Di sekitar bulan itu banyak terdapat bintang-bintang, namun hanya satu bintang yang bersinar cukup terang dibanding bintang lainnya. Entah mengapa, tiba-tiba Kimmy teringat dengan kakak lelakinya, Damar. Tidak peduli berapa banyak lelaki yang mendekatinya, bagi Kimmy, tidak ada yang mampu mengalahkan pesona Damar dimatanya. Kimmy sadar apa yang dirasakannya salah, akan tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan mengenai perasaanya pada Damar. Dadanya sesak jika mengingat rasa yang ia pendam untuk Damar.

Kimmy menghela napasnya dan mengalihkan pandangannya pada bangunan di sudut halaman tersebut. Karena rasa penasarannya, Kimmy akhirnya mengabaikan larangan Pak Ketut. Kimmy memberanikan diri untuk melangkah menuju bangunan tersebut.

Seperti anak kecil yang mengendap-endap keluar dari dalam kamar pada saat tengah malam, Kimmy berjalan dengan hati-hati menuju bangunan tersebut. Berulang kali Kimmy menoleh ke arah galeri. Takut-takut Pak Ketut akan memergokinya. Kimmy berhenti sejenak ketika tiba di depan bangunan tersebut. Setelah melihat bangunan ini dari dekat, Kimmy merasa bangunan ini tak ubahnya hanyalah sebuah gudang. Di kanan kirinya banyak terdapat bingkai-bingkai bekas yang sudah tidak terpakai. Kimmy mengecek tempat sampah yang ada di depan bangunan tersebut. Tempat sampah itu didominasi oleh sampah bekas cat minyak dan sketsa lukisan. Kimmy merasa dugaannya benar, bahwa bangunan ini adalah studio lukis rahasia Pak Ketut. Mungkin Pak Ketut melarang orang-orang mendekat karena dia tidak mau karya lukisnya bocor sebelum ditampilkan di galeri. Memikirkan tentang studio lukis rahasia Pak Ketut, membuat Kimmy semakin penasaran. Kimmy akhirnya berusaha mengintip dari jendela bangunan tersebut. Tapi sayang, usahanya untuk mengintip dari jendela gagal karena bagian dalam jendela tersebut di tutup kain putih. Kimmy tidak kehilangan akal, dia berusaha mencari celah sekecil apa pun untuk mengintip ke dalam.

di bangunan tersebut. Kimmy akhirnya mencoba mengintip melalui celah kunci pada pintu bangunan tersebut. Kimmy bersyukur, kunci yang digunakan pada pintu bangunan ini adalah kunci model lama yang celahnya cukup untuk membuat orang dari luar ruang bisa mengintip ke dalam. Karena postur tubuhnya yang cukup tinggi, Kimmy agak kesulitan ketika harus membungkuk untuk mengintip melalui celah tersebut. Kimmy akhirnya memutuskan untuk bersimpuh di depan pintu tersebut dan mendekatkan wajahnya ke kenop pintu. Kini, dia berhasil mengintip ke dalam.

"Waah," Kimmy terpukau ketika berhasil mengintip ke dalam bagunan tersebut.

Bagian dalamnya berupa ruang tanpa sekat bercat putih polos dan berhiaskan cahaya temaram. Bagian langit-langitnya tidak memiliki kusen dan menampilkan kayu penopang atap bangunan tersebut. Namun hal ini tidak membuat bagian dalamnya terkesan menyeramkan, justru membuatnya terlihat sangat orisinal. Lantai kayunya dialasi kain putih yang sudah penuh dengan noda bekas cat. Kimmy menghitung, kira-kira ada lima buah easel* berdiri di tengah ruangan, itu hanya easel yang mampu terlihat olehnya. Pada masing-masing easel tersebut terdapat kanvas yang sepertinya sedang dilukis. Kimmy memperhatikan sebuah kanvas yang kebetulan bisa dilihat olehnya. Kanvas itu sudah terisi oleh lukisan meskipun sepertinya masih belum selesai.

"Kaya ngga asing," batin Kimmy ketika melihat lukisan setengah jadi tersebut.

Kimmy begitu serius menatap lukisan tersebut. Sampai tiba-tiba sebuah mata muncul dari balik pintu dan menatapnya. Mata mereka bertemu. Kimmy terdiam tidak bergerak. Sepersekian detik kemudian Kimmy sontak menjauhkan badannya dari pintu tersebut. Kimmy jatuh terduduk dengan napas terengah-engah dan ketakutan. Wajahnya mendadak pucat. Kimmy yang seumur hidupnya tidak begitu mempercayai hal gaib, mencoba untuk bersikap rasional. Kimmy mencoba mengendalikan keterkejutannya dan kembali mendekat ke arah pintu. Kimmy kembali mengintip melalui celah kunci. Mata itu sudah tidak ada. Dan lukisan setengah jadi yang tadi sedang ia lihat sudah tidak tampak lagi. Mendadak bagian dalam bangunan tersebut gelap. Keringat dingin mulai membasahi keningnya ketika Kimmy mendengar suara seorang wanita yang sedang terkekeh dari balik pintu. Kimmy mulai menjauhkan badannya dari pintu tersebut dan berbalik. Suasana di halaman belakang itu sudah gelap. Hanya ada beberapa lampu taman bersinar redup.

"Tenang, Kim, tenang." Kimmy kembalk mencoba menenangkan dirinya sendiri. Entah mengapa dia merasa taman yang tadinya sangat romantis berubah menjadi sangat horor setelah mendengar suara wanita terkekeh dari dalam bangunan tempatnya berada saat ini. Kimmy kembali menoleh ke pintu di belakangnya. Sayup-sayup, suara tawa itu masih ada. Kimmy kemudian melepaskan sepatu hak tinggi yang digunakannya. Dengan segenap keberanian yang masih tersisa, Kimmy berlari cepat menuju galeri. Pikirannya saat ini hanyalah pergi secepat mungkin dari halaman belakang milik Pak Ketut dan segera meminta maaf pada Pak Ketut karena sudah mengabaikan larangan darinya.

****

Selepas makan malam di restoran Italia yang berada di dalam gedung perkantoran milik keluarga mereka. Bara mengantar Damar pulang dalam kondisi mabuk. Sepanjang perjalanan, Damar terus meracau tentang berbagai hal. Baru kali ini Bara menemui tipe orang yang ketika mabuk akan mencurahkan seluruh isi hatinya. Biasanya Bara lebih sering menjumpai tipe orang mabuk yang membuat keributan atau orang yang akan langsung tertidur begitu dia mabuk. Damar terus menerus meracau mulai dari perihal pekerjaannya di kantor, rasa kecewanya pada sikap Pak Bima sampai pada seorang wanita yang diam-diam ia cintai. Bara mendengarkan semua racauan itu dengan sabar. Pada saat bercerita tentang wanita yang diam-diam ia cintai, Damar mendadak berkaca-kaca. Meskipun sedang mabuk, Bara dapat merasakan bahwa Damar sangat mencintai wanita tersebut sampai-sampai Damar memendam kuat perasaannya.

"Kenapa kita harus berada di keluarga yang sama? Kenapa?" Damar menutupi wajahnya dan menangis.

Bara keheranan dengan Damar yang tiba-tiba menangis. Belum selesai keheranan Bara, Damar sudah kembali meracau.

"Kenapa gue bisa jatuh cinta sama lu? Sadar bego, Kimmy itu adik lu," Damar menampar wajahnya sendiri.

"Wah, beneran geser otaknya," cibir Bara yang mendengar racauan Damar sudah semakin aneh. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada Kimmy yang adalah adiknya sendiri. Kalau pun Damar benar mencintai Kimmy, itu pasti bentuk rasa cinta Damar sebagai kakak bukan sebagai seorang pria.

"Udah, udah, omongan lu makin ngaco." Bara menutup mulut Damar yang masih saja meracau.

Damar menurunkan lengan Bara yang menutup mulutnya. "Justru sekarang gue lagi sadar," ujar Damar dengan wajah mabuknya.

Bara menatap Damar dengan tatapan tidak percaya. Sementara Damar mulai memegangi perutnya.

"Jangan bilang, lu sekarang mau muntah," ujar Bara kesal.

Damar menutup mulutnya dengan tangan. Dia mulai merasa mual.

"Kita nepi dulu, Pak." Bara memerintahkan Pak Pam untuk menepikan kendaraan yang sedang mereka tumpangi. Pak Pam dengan sigap segera menepikan kendaraannya. Bara segera membawa Damar keluar dari mobil.

"Jangan lama-lama, Mas. Saya takut ditilang," ujar Pak Pam dari dalam mobil.

Bara menemani Damar yang sedang berjongkok sambil memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Untung ga muntah di mobil," ujar Bara sambil memijat-mijat bagian belakang leher Damar.

Tidak lama kemudian, Damar melambaikan tangannya pada Bara untuk menyuruhnya berhenti memijat-mijat lehernya. Bara segera menghentikan pijatannya dan mundur beberapa langkah. Damar segera bangkit berdiri sambil terengah-engah.

"Udah?" tanya Bara.

Damar menjawabnya dengan anggukan. Bara kemudian kembali berjalan menuju mobil mereka. Dengan langkah gontai Damar segera mengikuti Bara kembali ke dalam mobil.

---

Bara tiba di komplek apartemen Damar dan segera membawa Damar menuju unit apartemennya. Bara menempelkan kartu akses milik Damar dan segera membuka pintu apartemennya. Begitu masuk ke dalam apartemen Damar, Bara terkejut dengan kehadiran Pak Bima disana. Pak Bima sudah berdiri di balik pintu. Kini mereka berdua nampak seperti dua orang remaja laki-laki yang terpergok setelah pulang dari kelab.

"Malam, Om," Bara menyapa Pak Bima dengan kikuk.

"Eh, ada Papa, mau ngapain kesini, mau gampar saya lagi?" Damar menatap Pak Bima yang berdiri di hadapannya. Damar masih belum sadar sepenuhnya dari mabuk.

Bara refleks menutup mulut Damar setelah mendengar apa yang diucapkan Damar pada Pak Bima.

"Kamarnya dimana, Om? Biar saya bawa ke kamarnya." Bara mencoba mengalihkannya dengan bertanya dimana kamar Damar.

Pak Bima segera mengantar Bara menuju kamar Damar. Sementara Bara memapah tubuh Damar yang sudah tidak sanggup berdiri tegak. Begitu masuk ke dalam kamar Damar, Bara segera meletakkan Damar di ranjangnya. Begitu tubuhnya menyentuh ranjang, Damar segera meringkuk di ranjangnya. Sayup-sayup mulai terdengar dengkuran halus. Damar sudah tertidur pulas di ranjangnya.

"Ngga biasanya dia minum sampai sebanyak ini," ujar Pak Bima sambil memandangi Damar yang sudah terlelap di ranjangnya.

"Saya juga baru tahu, dia bisa mabuk sampai seperti ini," timpal Bara.

Pak Bima kemudian mengalihkan perhatiannya pada Bara yang masih berada di kamar Damar.

"Ayo, kita ngobrol diluar." Pak Bima keluar dari dalam kamar Damar. Bara terdiam sejenak begitu mendengar Pak Bima mengajaknya untuk mengobrol. Bara yang bingung harus bersikap bagaimana, akhirnya mengikuti Pak Bima keluar dari dalam kamar Damar.

Pak Bima sudah duduk di ruang tamu dengan satu botol air mineral di depannya.

"Diminum dulu, kamu pasti capek bawa Damar sampai kesini," Pak Bima mempersilahkan Bara untuk meminum minuman yang sudah ia sediakan. Bara tampak ragu melihat botol minuman dingin dihadapannya.

"Saya langsung pulang aja, Om."

Melihat sikap Bara yang sedikit salah tingkah membuat Pak Bima sedikit tertawa.

"Kamu kalau di kantor bisa sangat berani, kenapa pas ketemu saya disini jadi kehilangan nyali, kamu takut saya masukin racun di minuman kamu?" ujar Pak Bima dengan nada bercanda.

Bara semakin salah tingkah mendengar candaan yang dilontarkan Pak Bima. Karena merasa tidak enak, Bara akhirnya duduk di hadapan Pak Bima dan meminum air mineral yang sudah dia sediakan. Pak Bima memperhatikan Bara yang sedang duduk di hadapannya.

"Entah kamu sadar atau tidak, kamu itu sangat mirip dengan mendiang Papamu." Ucapan Pak Bima membuat Bara berhenti meminum air mineralnya.

"Saya sudah sering dengar ucapan seperti itu," jawab Bara.

"Bukan hanya kemiripan wajah kalian, tapi juga apa yang kalian lakukan," ujar Pak Bima.

Pak Bima menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Matanya menerawang seperti mengingat sesuatu.

"Saya ingat, ketika dia dengan penuh emosi mendatangi saya untuk memberi tahu ada sesuatu yang aneh pada keuangan perusahaan," Pak Bima melanjutkan ucapannya.

"Jadi, om sudah mengetahuinya? kalau om sudah tahu ada yang aneh kenapa om tidak membantu papa?" tanya Bara.

"Saya lebih sayang dengan nyawa saya ketimbang saya harus membantunya, kalau waktu itu saya juga terlibat dengan Papamu, saya tidak akan ada dihadapan kamu sekarang," ucap Pak Bima tenang.

"Apa Om pernah berpikir untuk membantu Papa?"

Pak Bima menggeleng, "Hubungan kami berdua tidak sedekat yang kamu pikir."

Pak Bima mencondongkan tubuhnya ke arah Bara. Dia menatap Bara lekat-lekat, "Saya cuma mau memperingatkan kamu, dalam permainan ini, kemungkinan kamu untuk menang itu sangat kecil, kalau kamu tidak ingin orang-orang disekitar kamu terluka, lebih baik kamu hentikan sekarang, sebelum semuanya terlambat."

"Saya tidak akan berhenti," ujar Bara yakin.

"Itu terserah kamu, yang penting saya sudah mencoba mengingatkan, saya tahu pasti lawan seperti apa yang sedang kamu hadapi." Pak Bima kembali menyadarkan tubuhnya pada sofa tempat duduknya.

"Saya permisi." Bara bangkit berdiri dan pergi menuju pintu masuk apartemen Damar.

Pak Bima memperhatikan sampai Bara keluar dari dalam apartemen Damar. Bara sudah benar-benar menabuh genderang perangnya.

****

"Hei, kamu ini kenapa usil sekali." Pak ketut menegur wanita yang menggunakan bangunan di halaman belakang galerinya.

"Saya ngga tahan mau lihat ekspresi dia," ujar wanita itu sambil tertawa.

"Kamu ini," Pak Ketut geleng-geleng kepala. "Bagaimana kalau dia pingsan karena ketakutan tadi?" Tanya Pak Ketut.

"Saya tinggal panggil kamu saja," Wanita itu menjawab ringan. "Lagipula, itu salahnya dia yang mengabaikan peringatan dari kamu, kan," lanjutnya.

Pak Ketut mendengus kesal mendengar jawaban dari wanita tersebut. Sekitar sepuluh menit yang lalu, Kimmy masuk ke ruangan Pak Ketut dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat pasi. Dengan napasnya yang terengah-engah, Kimmy meminta maaf pada Pak Ketut. Awalnya Pak Ketut tidak mengerti mengapa Kimmy meminta maaf padanya. Pak Ketut meminta Kimmy untuk menjelaskan maksud dari permintaan maafnya dan memberi Kimmy segelas air putih untuk menenangkan dirinya. Setelah mulai tenang, Kimmy menceritakan bahwa dia sudah lancang melanggar peringatan yang diberikan Pak Ketut. Pak Ketut mengelus lembut kepala Kimmy dan mengatakan tidak masalah Kimmy telah melanggar peringatan darinya. Yang membuat Pak Ketut penasaran adalah mengapa Kimmy sampai terlihat sangat ketakutan. Setelah mengetahui cerita Kimmy, Pak Ketut segera menuju halaman belakang miliknya dan meminta Kimmy untuk menunggu sebentar di ruangannya.

"Dia masih disini?" Tanya wanita tersebut.

"Dia ada di ruangan saya," jawab Pak Ketut.

"Tolong, berikan ini buat dia," Wanita itu menyerahkan sebuah foto bergambar dua orang pria dan dua orang wanita dengan latar belakang pemandangan matahari terbenam di pantai kuta.

Pak Ketut membalik foto tersebut dan membaca pesan yang ditulis wanita tersebut. Isinya membuat Pak Ketut mengernyitkan dahi.

"Kamu mengajaknya bertemu?"

Wanita itu mengangguk antusias. "Bilang saja, ada fansnya yang mau ketemu," ucapnya sambil mengerlingkan matanya.

Pak Ketut hanya melongo mendengarnya. Pak Ketut memandang wanita di hadapannya. Wanita itu telah kembali asyik melukis tanpa peduli Pak Ketut yang masih bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.

****

.