Setelah perkenalan di pagi hari, sore menjelang malamnya Max mengajakku ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Tempat yang begitu asing bagiku. Tapi, setelah aku masuk ke tempat itu aku bisa merasakan suatu ketenangan. Keindahan. Kenyamanan. Rasanya aku ingin menetap dan tinggal di sini. Aku membaca tulisan di gapura itu. Kampoeng batik jadoel. Benar. Kampung batik. Aku tidak tahu apa alasan dia mengajakku kemari. Aku hanya mengikutinya. Kami berhenti di sebuah rumah yang tidak sebesar rumah-rumah lainnya. Tapi, rumah itu dapat menarik perhatianku. Rumah itu dikelilingi patung-patung yang indah dengan gaya arsitektur klasik. Lukisan-lukisan di dinding rumah itu mampu memberikan kesan kehidupan yang mendalam.
"Katanya kamu ingin tahu lebih jauh tentangku?" Aku mengangguk. Dia kembali berkata, "Tidak ada yang istimewa dari diriku. Inilah aku dan inilah kehidupanku."
Seorang perempuan parubaya menghampiri kami dan berkata, "Max. Kamu datang?" Perempuan itu memandang Max kemudian beralih ke arahku. "Siapa gadis cantik ini?"
"Ini Aruna." Max memperkenalkanku pada Bibi. "Aruna. Ini bibi." Aku menyalami Bibi.
"Ayo masuk. Jangan sungkan-sungkan." Bibi mengajakku masuk ke dalam rumahnya. "Kamu gadis pertama yang Max ajak kemari." Aku memandang Max dengan penuh tanda tanya.
"Selama masa sekolah sampai kuliah Max tidak pernah ajak cewek kemari. Kamu cewek pertama yang Max kenalkan pada Bibinya. Kamu tahu apa artinya?"
"Apa?" Aku masih dipenuhi dengan banyak tanda tanya di benakku.
Bibi tersenyum, "Itu artinya kamu istimewa."
"Ayo duduk." Max mempersilahkanku duduk di ruang tamu.
Max dan aku duduk di ruangan yang sama. Dia merogoh sesuatu di saku celananya. Dia mengambil satu bungkus rokok dan pematik api. Tidak heran jika berandal itu suka merokok. Dia mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di sela-sela bibirnya. Kemudian, menyalakan pematik api dan membakar rokok itu sedikit demi sedikit. Hingga menghasilkan asap dari rokok itu. Aku tersenyum kecut dan menutup hidung.
"Kenapa? Kamu nggak suka?" dia mengeluarkan asap melalui rongga mulut dan hidungnya.
"Kenapa laki-laki suka merokok?" tanyaku kemudian.
Dia menghisap lagi puntung rokoknya. "Ditanya malah balik nanya." Dia mengeluarkan asap itu lagi. "Kalau lagi pengen aja. Kamu tahu? Kalau nggak merokok bukan lelaki."
"Seorang laki-laki sejati nggak harus merokok. Bagiku seorang lelaki sejati cukup bisa melindungi dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya." Sambungku. "Aku pernah bertanya sama Papa. 'Kenapa Papa tidak merokok?' ayah menjawab. 'Seorang lelaki yang baik adalah seorang lelaki yang bisa melindungi dirinya dan orang yang dia sayangi' Papa juga berpesan kalau suatu hari aku menikah Papa ingin aku menikah dengan orang yang bisa menjaga dirinya dan diriku. Papa nggak pernah membenci seorang perokok. Tapi, Papa menganggap rokok dapat membahayakan pemakai dan penghirupnya."
Aku menitihkan air mata. "Kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?"
"Aku rindu ayah," kataku di sela-sela isak tangisku.
"Dimana Papa kamu?"
"Papa sudah tinggal bersama Allah."
Max meletakkan rokoknya di asbak, lalu merengkuhku dalam pelukan hangatnya. "Aku minta maaf. Aku nggak tahu soal itu."
"Nggak pa-pa."
"Sejak kecil aku nggak pernah melihat wajah kedua orang tuaku secara langsung karena mereka telah meninggal ketika aku masih bayi. Hanya foto mereka yang tersisa. Setelah kedua orangtuaku meningal aku hanya punya Bibi yang selalu ada buatku. Kamu beruntung bisa bersama mereka untuk beberapa saat sedangkan aku..." Max menyeka air matanya yang mulai menetes.
"Max."
"Ya."
"Kamu nangis?"
"Nggak."
"Jangan bohong." Aku melepas pelukan Max. Kulihat Max berusaha menghapus air matanya. "Tuh... mata kamu merah."
"Aku terlalu cengeng, ya."
Aku pura-pura berpikir. "Nggak juga. Kata Mama, laki-laki yang bisa nangis itu berarti dia memiliki hati yang lembut dan penyayang."
"Kamu percaya itu?" Aku mengangguk. "Ayo makan. Pasti Bibi udah masak buat kita."
Max menarik lenganku dan mengajakku ke meja makan. Dan benar saja Bibi sudah menyiapkan makanan buat kami. Aku membantu Bibi menghidangkan makanan di meja makan. Setelah semua makanan ada di meja makan. Kami duduk dan menyantap makanan buatan Bibi. Hari itu, aku merasa telah menemukan keluarga baru. Teman baru. Semua serba baru. Bibi juga bercerita tentang bagaimana pertemuannya dengan paman. Tentang segala gombalan paman yang selalu dapat meluluhkan hati Bibi. Cinta paman dan bibi tidak pernah mati meskipun paman sudah 3 tahun ini meninggalkan bibi untuk selamanya.
"Sekarang aku jadi tahu dari mana cowok berandal ini jago nge-gombal lewat pujian-pujiannya."
"Bibi pikir cowok ini lebih dari seorang berandal." Max yang menjadi bahan pembicaraan hanya diam. Sekilas aku juga melihatnya tersenyum.
Setelah makan malam, aku membantu Bibi mencuci piring bekas makan tadi. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan segalanya. Setelah itu, aku berpamitan dengan Bibi dan Max untuk pulang karena sudah larut malam. Sebelum pergi aku bersalaman dengan Bibi dan memeluknya. Aku senang bisa mengenal keluarga kecil ini. Max mengantarku pulang naik mobinya. Sebelum aku masuk ke mobil Max, Bibi berkata, "Besok datang lagi, ya cantik."
Aku tersenyum kemudian melambaikan tangan ke arah Bibi. Max membukakan pintu mobil. Aku masuk setelah pintu mobil terbuka. Max yang duduk di kursi kemudi segera menghidupkan mesin dan melajukan mobil itu. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Dia fokus dengan kendaraan yang dikemudikannya, sedangkan aku sibuk dengan jalanan yang sepi.
Sesampainya di depan pintu gerbang rumahku. Aku keluar mobil dan membuka pintu gerbang. Sebelum aku masuk, Max memanggilku. "Jangan lupa besok datang ke rumah. Aku jemput." Aku mengangguk kemudian masuk ke rumah. Max memang cowok yang menyenangkan. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Yang ada di pikiranku hanya wajah Max. Senyumannya. Dan kehangatannya.