Chereads / Apa Itu Cinta? / Chapter 5 - Cerita di Balik Jeruji Besi

Chapter 5 - Cerita di Balik Jeruji Besi

Selama di sel tahanan tidak ada yang Max lakukan selain duduk termenung menatap ke luar jendela besi. Ruang tahanan itu sangat minim pencahayaan, sehingga para tahanan berharap cahaya matahari dapat menembus ruangan mereka. Max ditempatkan di ruangan yang berbeda dengan geng Estenzo untuk menghindari terjadi perkelahian lanjutan. Di ruangan itu hanya ada Max dan seorang pria berusia sekitar kepala 4. Pria itu terus-menerus memperhatikan gerak gerik Max. Aku hanya bisa melihat Max dari jarak yang jauh. Aku tidak mau dia berpikir bahwa aku mendekatinya karena aku kasihan padanya. Aku bisa lihat Max sangat akrab dengan pria itu. Aku masih berdiri tidak jauh darinya. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku. Sontak aku berbalik dan menatapnya. Aku terkejut melihat Ian berdiri di belakangku. Mukanya tampak cemas. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kecemasannya.

"Aku tahu kamu pasti sangat istemewa bagi Max sehingga dia rela berkelahi dengan geng Estenzo."

"Aku nggak ngerti maksud kamu."

"Kamu masih ingat kejadian tempo hari saat kamu berjalan sendirian dan ada beberapa orang menghadang kamu. Kamu tahu mereka siapa?" Aku menggeleng. "Mereka anggota geng Estenzo."

"Max lihat mereka menggoda dan menyakiti kamu. Max lihat semuanya. Tapi, dia nggak bisa lakukan apapun karena kamu menyuruhnya untuk tidak mendekat sebelum dia menghentikan kebiasaannya memukul orang. Dia nggak bisa menghentikan kebiasaannya. Dia juga nggak bisa menolak permintaan kamu. Dia dalam delima. Hingga dia menyuruh seseorang buat nyelametin kamu."

"Aku nggak tahu orang yang nyelametin aku tempo hari itu orang suruhan Max."

"Max balas dendam dengan geng Entenzo karena mereka telah menyakiti kamu. Dia nggak terima kalau ada yang menyakiti orang yang dia sayang. Itulah kamu orangnya. Hanya kamu seorang yang mampu menundukkan hati Max." Ian menautkan kedua telapak tangannya. "Na, tolong jaga Max, plis. Jangan biarkan dia bersedih. Aku percaya kamu bisa memadamkan api kemarahan Max."

Aku menatap nanar Ian. Kemudian, beralih pada Max yang masih berbincang-bincang dengan pria itu. "Yan, aku masih belum paham dengan ucapanmu."

"Berbaikanlah dengan Max. Tidak baik lama-lama berantem." Ian tersenyum padaku. Kemudian, dia berlalu pergi.

Setelah Ian pergi. Aku duduk ruangan untuk pengunjung yang mau menjenguk tahanan. Aku melihat beberapa orang polisi menyeret seorang pria tua yang sedang telanjang. Pria itu merintih memohon ampun. Tapi, polisi itu tidak mau memberi ampun atas perbuatan pria itu. Entah apa yang dilakukan pria itu sehingga dia dipenjara. Sesaat aku termenung sebelum sebuah suara yang aku kenal beberapa hari ini mengagetkanku.

"Kenapa kamu ada di sini?!" sontak aku mendongak. Aku mendapati Max berdiri tepat di hadapanku dengan seragam tahanan yang dikenakannya.

"Kenapa?"

"Katanya marah?!"

"Aku nggak marah. Aku cuma kesel sama kamu."

"Sama aja."

Max duduk di hadapanku. Tapi, dia tidak sekali pun menatapku. Kini, aku seperti orang asing baginya. "Kamu nggak mau dengerin perkataanku. Aku nggak suka kamu kasar sama orang. Setiap kamu marah sama orang pasti kamu akan memukul orang itu. Aku nggak suka."

Max bersikap acuh padaku. Dia menghela napas berat saat aku mengatakannya. Aku tidak tahu di posisi apa aku sekarang ini. Apa dia benar atau salah saat itu? Aku tidak tahu. Yang kutahu aku tak ingin meninggalkannya untuk sekarang ini. "Besok pagi kamu udah boleh pulang. Besok aku sama Bibi akan kemari untuk menjemputmu."

"Waktu berkunjung udah habis. Aku harus kembali ke sel," katanya saat ada seorang polisi mendekati kami.

"Max... besok pulang bareng aku, ya. Pliss..." Aku memohon kepada Max. Max mengangguk sebelum dia beranjak pergi.

Tidak ada yang aku lakukan hari itu. Setelah menjenguk Max, aku pergi ke tempat Bibi untuk belajar membatik atau membantu Bibi memasak di dapur. Aku senang berada di tempat Bibi daripada di rumahku sendiri. Di sini aku merasa dihargai. Aku merasa dianggap sebagai seorang putri. Lain halnya ketika di rumah, aku hanya sebagai boneka Mama. Apapun keinginan Mama harus aku penuhi hingga aku harus mengorbankan perasaanku sendiri.

Sepulang dari rumah Bibi. Pukul 20.00 WIB. Aku pulang ke rumah. Kulihat sebuah mobil Avanza hitam bertengger di depan rumahku. Aku pernah melihat mobil itu. Batinku. Aku masuk ke dalam rumah dan mendapati Mama berbicara dengan seseorang di ruang tamu. Aku tidak bisa melihat wajah orang itu karena dia membelakangiku. Mama yang menyadari kedatanganku, akhirnya memanggilku. Aku terkejut saat orang itu memalingkan wajahnya menatapku. Aku diam. Orang itu mendekatiku. Aku berlari. Tapi, tanganku sudah digenggam olehnya. Tidak ada yang dapat aku lakukan sekarang ini.

"Kenapa kamu mau pergi dariku?" tanyanya.

"Apa kamu masih punya nyali buat bertanya apa kesalahanmu?" Dia diam membeku.

"Aku minta maaf karena aku pergi tanpa kabar. Untuk itu aku minta maaf."

"Kesalahanmu bukan hanya itu. Ada alasan lain kenapa aku sangat membencimu. Kamu nggak lebih dari cowok berengsek yang hanya mau mempermainkan hati cewek."

PLAKK...

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipiku. Sebuah tamparan yang berasal dari orang yang telah melahirkanku. Mama. Dengan begitu mudahnya Mama menamparku tanpa Mama tahu alasan kemarahanku pada cowok di hadapanku. Selama ini Mama selalu percaya pada kebaikan cowok ini tanpa melihat sisi buruk dari cowok ini. Aku malu untuk menyebut cowok itu sebagai makhluk ciptaan tuhan. Karena aku percaya tuhan tidak akan menciptakan makhluk seperti dia.

Dengan penuh kemarahan dan bercucuran air mata aku berlari menuju kamarku yang berada di lantai atas. Aku tidak peduli dengan mereka. Aku sudah sering mengalah. Aku bersamanya hanya karena permintaan Mama. Keluargaku berhutang budi kepada keluarganya karena keluarganya telah membantu kami keluar dari jeratan hutang bank. Sebelum Papa meninggal, perusahaan kami memiliki banyak hutang dengan bank untuk melunasi semua hutang dan membantu pengobatan Papa, kami meminta bantuan pada keluarganya. Itulah alasan keluarga kami bisa begitu dekat. Mama menyuruhku berpacaran dengannya agar kami tidak perlu membeyar hutang kami kepada keluarga mereka.

Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang tempat tidur. Aku menangis. Aku juga teringat dengan Max dan Bibi. Tentang kehangatan mereka. Tentang kasih sayang mereka. "Max, di mana kamu? Aku butuh kamu."

Aku terus menangis hingga aku terlelap. Malam itu hatiku sangat merindukan Max. Aku rindu Max. Ingin segera bertemu dengannya. Aku ingin tertawa lagi dengannya. Aku ingin merasakan kehangatan tubuh bidangnya. Aku ingin mencium aroma maskulinnya. Aku ingin mencium aroma minyak rambutnya. Aku ingin bersama dengannya. Rasanya aku takut kehilangannya. Aku takut jauh darinya. Aku takut dia akan meninggalkanku saat dia tahu masa laluku. Aku tidak mau dia mengetahuinya. Tuhan tolong jangan beritahu dia. Itulah doaku malam itu.