Sekuat tenaga ku hapus logat jawa yang melekat pada diriku dan bertingkah seolah olah hanya pendatang yang berkunjung. Memasuki bus, yang kupandang hanya kursi kosong dan beberapa penumpang yang siap tidur atau beristirahat. Berat hatiku meninggalkan kota kelahiran almarhum ibuku, tetapi apa daya. Wanita yang menikahi ayahku selalu bertindak anarkis terhadapku. Cintanya kepada anak suaminya hanya diawal-awal saja. Mungkin cerita ini adalah remake-nya bawang merah bawang putih namun, bawang merah belum dilahirkan ke dunia. "Maafkan aku ibu, bapak, Ririn terpaksa pak,bu". Gumam hatiku. "Bapak, ibu yang terhormat, bus ini akan berangkat, mengko macet ra mangkat mangkat hehe, Jadi semuanya sudah masuk ya soalnya 10 menit lagi kita akan siap menunggu selebihnya kita tinggal, sekian terima kasih". Ujar Kondektur supir tersebut. Aku langsung duduk dan merapikan barang barangku agar tak mengganggu penumpang di sampingku. Harapanku saat ini adalah mencari sanak saudaraku yang ada di Jakarta. Kebetulan ibu pernah bilang kalau sang kakak merantau ke ibu kota dan kembali hanya saat cuti bersama. Aku berjanji tidak akan menyusahkan beliau dan keluarganya nanti. "Neng stasiun jogja, kenangan sing kelangan". Kondektur bus menyanyikan lagu milik Didi Kempot yang merupakan lagu kesukaan ayahku." Wes, Arep mangkat, takon karo mburimu isih ono neng jobo ora". Kata pak supir. " Penumpang yang terhormat, bus akan segera berangkat karena jalan raya sedang diperbaiki sehingga kami takut akan terjadi macet. Semuanya sudah masuk kan dan total penumpang seharusnya ada 18 orang, jadi mau tidak mau kami harus tinggal". Kata pak kondektur. Lalu beberapa penumpang naik dan salah satunya perempuan yang duduk di samping kursi milikku. Ia adalah Mbak Sari seorang ART yang kembali dari kampung halaman menuju ke rumah majikannya di Jakarta. "Nduk, maaf nggeh aku disini, ga apa apa tho?"Tanyanya. "Iya, tidak apa apa mbak"Jawabku. "Ibumu dimana nduk, apakah kamu sendiri?". "Ada kok mbak, dibelakang tuh hehe". Seraya melihat ke arah belakang dan mengatakan bahwa perempuan itu Ibuku. Padahal aku sama sekali tidak mengenalnya."Nama mbak, sari nduk,kamu bisa manggil aku mbak sari hehe". Sambil menjabat tanganku. " Iya mbak, Aku rinjani panggil aku ririn, salam kenal mbak". Kataku. Namun aku cukup memprivasikan diriku agar aku tenang dan kepanikan yang melanda hatiku segera pergi. K"ebohongan ini akan terus berlanjut bila aku bertanya pada mbak sari, kuputuskan untuk tidur sajalah,hwaaa (menguap)". Gumamku dalam hati