"Selamat siang… Tuan…" sapanya dengan ragu-ragu.
Telinga yang kurasa adalah telinga rubah berwarna cream yang cukup panjang mengatup, bertanda dia tidak senang. Rambutnya yang memiliki warna sama dengan telinganya, panjang terurai. Kulitnya putih, bahkan terlihat begitu bersih. Iris matanya berwarna merah besar, sekali-kali melihat ke samping dan kepadaku. Serta, ekor cream besar dengan ujungnya berwarna putih terkulai ke bawah dan sedikit bergoyang-goyang.
"Se-Selamat siang…" balasku yang fokus melihatnya.
Gadis kecil di depanku ini hanya dibaluti kain coklat sampai sedikit di atas lutut, sehingga kemulusan kaki serta lengannya dapat kulihat dengan jelas.
"Tuan, saya perkenalkan. Dia adalah Nao. Gadis ras serigala," ujar Axli memperkenalkannya. "Dia memiliki kemampuan bertarung menggunakan cakar serta pedang kecil. Selain itu, dia memiliki penciuman yang tajam dan unik. Sehingga dia bisa mencium aroma sifat jahat pada orang dan kemampuan menemukan benda."
"Sa-Salam kenal… Tuan…" ujar gadis kecil itu setelah Axli selesai memperkenalkannya, dengan nada malu-malu.
"Jadi, bagaimana, Tuan. Apakah An-"
"Yosh, aku beli!"
Tanpa menunggu kalimat Axli selesai, aku langsung menjawab itu dengan semangat sekali.
"Begitu, saya senang bisa berbisnis dengan Anda."
Kemudian, aku langsung mengeluarkan lima koin emas dan tiga puluh koin perak. Setelah membayar itu, aku langsung menghampiri budak itu. Saat sudah di depannya, dapat kulihat dia sedikit ketakutan dengan menundukkan kepalanya dan sedikit gemetaran.
Dari pandanganku, sikapnya ini begitu imut sekali, sehingga aku ingin sekali langsung memeluknya. Tapi, aku sadar, itu tindakan yang malah membuat dia semakin ketakutan. Jadi, aku putuskan untuk menyapanya dengan ramah dulu.
"Nao, mohon bantuannya, ya," ujarku dengan posisi sedikit jongkok untuk menyesuaikan tingginya.
Setelah aku mengatakan itu, perlahan kepala Nao terangkat melihat kepadaku. Kemudian, dia pun membalasnya.
"Na-Nao juga… mohon bantuannya… Tuan…"
Ahhhh, aku benar-benar ingin memeluknya!
Tidak, tahanlah wahai diriku! Kalau kamu melakukan itu tiba-tiba, pasti dia jadi merasa tidak nyaman. Harus tahan sampai dia sudah mulai merasa nyaman bersamaku!
Tapi, perasaan ini benar-benar tidak bisa kutahan. Akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa mendapatkan gadis yang imut. Jadi, mana mungkin aku bisa menahannya!
Yosh, kurasa aku mulai dari itu saja dulu!
Dengan senyuman yang sudah kupasang, perlahan kugerakkan tangan kananku ke atas kepalanya. Kemudian, aku mengelus kepalanya dengan lembut dan memperkenalkan diri.
"Namaku Kiki, salam kenal, Nao."
"Sa-Salam kenal, Tuan…"
Selain wajahnya yang merona merah dan masih menundukkan kepalanya, aku bisa melihat ekornya sedikit terangkat dan bergoyang-goyang sedikit lebih cepat dibanding sebelumnya. Kurasa, itu tandanya dia merasa nyaman dengan elusanku, namun masih ada perasaan malu dan sungkan kepadaku.
Inginnya aku terus menerus mengelus kepalanya, tapi kurasa itu malah berdampak buruk nantinya. Jadi, aku putuskan untuk segera melepaskan tanganku dari atas kepalanya. Namun, baru mau menghentikan elusan, tiba-tiba terdengar suara keroncong perut. Sehingga tanganku berhenti mengelus dan masih menempel di kepalanya.
Setelah bunyi itu berbunyi, Nao memegang perut kecilnya dan semakin menundukkan kepalanya. Lalu, wajahnya semakin memerah. Kurasa dia sedang merasa malu sekali.
"Axli, apakah makanan yang kupesan sudah jadi?" tanyaku mengalihkan pandanganku ke arah Axli yang masih duduk di kursi.
"Kurasa belum. Kalau sudah jadi, nanti ada pelayan yang datang untuk memberitahuku," jawab Axli.
"Nanti buatkan untuk dua orang."
"Ah, Tuan, Anda baik sekali. Tapi, tenang saja, Tuan. Anda tidak perlu mempedulikanku dan silahkan menikmati makanannya dengan puas."
"Ah, kamu salah. Satu lagi untuk Nao. Aku ingin makan bersamanya."
Mendengar jawabanku, dia memasang ekpresi terkejut diam. Namun, itu tidak bertahan lama. Matanya yang tadi membulat akibat terkejut, perlahan mengecil dan senyuman kecil terukir di wajahnya.
"Anda benar-benar orang yang unik, Tuan. Saya semakin tertarik dengan Anda."
Aku merasa tidak nyaman dengan kalimatnya itu, bikin jijik saja. Jadi langsung saja aku berbalik lagi untuk melihat Nao untuk menghilangkan rasa tidak nyaman itu. Dapat kulihat, dia menatapku dengan tatapan heran.
"Apa Nao boleh makan dengan Tuan?" tanya Nao.
"Tentu saja," balasku dengan diakhir senyuman.
Sepertinya, dari tingkah mereka, di dunia ini perlakuan budak kebanyakan diperlakukan buruk. Makanya mereka seperti terkejut dengan keputusanku untuk mengajak budak makan bersama.
Aku sering baca di cerita dan menonton di anime. Budak diperlakukan dengan tidak baik, sehingga sering mendapatkan kekerasan secara fisik maupun mental. Sering dipekerjakan secara paksa, tanpa diberi istirahat yang baik. Salah atau tidak, sering kali dibentak dan disiksa. Diberi makanan yang tidak layak atau tidak diberi sama sekali.
Kemudian, datanglah pelayan memasuki ruangan dan menghampiri Axli untuk memberitahu suatu hal.
"Tuan, makan siang untuk Tuan Kiki sudah jadi," lapor pelayan itu.
"Kalau begitu, segera siapkan. Ah, siapkan untuk dua orang. Satu lagi untuk Nao."
Setelah mendengar perintah itu, sempat aku melihat pelayan itu terkejut dan kemudian menerima perintah itu. Saat dia pergi, pelayan itu sempat melihat ke arahku dengan senyuman kecil yang seolah berterima kasih kepadaku.
Seperti memang benar, di dunia ini budak memanglah diperlakukan tidak baik. Perlakuan baik kepada mereka adalah hal yang aneh.
Kemudian, aku dan Nao dengan dipandu oleh Axli pergi ke ruang makan. Sesampainya di sana, dapat kulihat di atas meja panjang yang sering kulihat di film berjejer banyak sekali jenis makanan. Dengan nuansa sekitar yang bergaya bangsawan, membuatku terkagum-kagum dan tidak sengaja berteriak.
"Wowwwww!"
Axli yang mendengar itu mulai tertawa kecil, sehingga aku dengan malu segera menutup mulut. Kemudian, aku dipandu oleh pelayan untuk duduk di kursi. Pelayan itu menarik kursi dan aku langsung saja duduk di sana.
"Nao, ini porsi untukmu."
Pelayan yang lain menyerahkan piring berisi makanan kepada Nao. Lalu, Nao berjalan mendekatiku dan duduk di lantai samping tempatku duduk.
"Nao, kenapa kamu duduk di situ?" tanyaku.
"Ma-Maaf… kupikir Nao boleh duduk di dekat Tuan…"
Kemudian, dengan perasaan bersalah. Nao berdiri dan pergi menjauh dariku. Melihat itu, aku langsung menghentikannya.
"Nao, kamu mau ke mana? Kursinya ada di sana."
Nao langsung berhenti dan berbalik melihat ke arahku dengan ekpresi keheranan yang imut. Kemudian, dia pun mempertanyakan maksudku.
"Tuan… maksud Tuan, Nao harus duduk di kursi?"
"Tentu saja."
"Apa boleh?"
"Tentu saja boleh."
"Apa boleh di sebelah Tuan?"
"Boleh."
"Te-Terima kasih, Tuan!"
Lalu, dengan ekpresi senang, Nao pergi ke kursi yang ada di sebelahku. Kemudian, dia menyimpan makanannya di meja.
Kami pun makan. Menu yang kumakan adalah daging porsi besar dengan saus berwarna coklat. Selain itu, aku makan juga sayur-sayur yang terlihat segar dan enak. Kemudian, aku pun memakan menu makanan yang lain karena kurang kenyang apabila tidak memakan nasi.
Sudah sejak dulu, aku memang tidak bisa makan tanpa nasi. Jadi, kalau makan tanpa nasi, perutku sepertinya menerimanya sebagai cemilan. Sehingga, untuk membuatnya kenyang maka harus makan banyak.
"Nao, kamu sudah kenyang?"
Dapat kulihat Nao selesai makan dan aku tidak melihat dia mengambil menu yang lain, jadinya aku bertanya begitu.
"Sudah, Tuan."
Namun, muncullah suara yang menandakan jawabannya itu adalah kebohongan. Nao pun langsung memegang perutnya dan menundukkan kepala dengan malu.
"Itu perutmu masih keroncongan. Tambah lagi, ambil saja yang kamu suka."
"Ti-Tidak apa-apa, Tuan. Nao, sudah kenyang."
"Tidak perlu sungkan. Aku ambilkan, ya. Kamu suka dengan daging, kan."
Aku pun mengambil daging dengan saus coklat dan menyimpannya di piring Nao.
Kemudian, Nao dengan perlahan mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. Lalu, dengan ragu-ragu dia bertanya.
"Apa Nao boleh makan lagi?"
"Tentu saja. Makanlah sampai kenyang!"
"Terima kasih, Tuan!" balas Nao dengan nada senang.
Selesai makan, kami kembali ruangan sebelumnya. Di sana, kami akan melakukan kontrak tuan dan budak. Dengan dipandu oleh Axli, ritual pembentukan kontrak antara aku dan Noa pun dilaksanakan.
Ritualnya cukup sederhana, Axli mengucapkan sebuah mantra yang katanya adalah sihir pembentukan kontrak. Lalu, aku dipandu oleh Axli mengucapkan kalimat sebagai tuan yang meminta agar Nao menerima tawaranku menjadikannya budak dan Nao dipandu Axli mengucapkan kalimat menerima aku sebagai tuannya.
Selesai ritual, muncullah sebuah cahaya ungu di punggung tangan kananku dan tengah dada Nao yang menembus bajunya. Setelah cahaya itu hilang, aku melihat ada lingkaran sihir di punggung tanganku. Kurasa, di tengah dada Nao yang tertutupi oleh bajunya ada lingkaran sihir yang sama juga.
"Baiklah, kontraknya sudah selesai," ujar Axli.
Dari penjelasan Axli sebelum melakukan sihir kontrak. Dengan sihir ini, aku sebagai tuan bisa memberi perintah apapun kepada orang yang kukontrak. Bahkan, perintah yang bentuknya permanen seperti 'jangan pernah mengkhianatiku'. Selain itu, orang yang kukontrak tidak akan bisa dikontrak oleh pihak lain sebelum aku mati atau membatalkan kontrak secara paksa.
Sebenarnya, aku tidak ingin melakukan itu, karena aku merasa seperti mengekang kebebasan Nao. Tapi, menurut Axli, seorang budak yang berkeliaran di luar namun tidak memiliki tanda sudah dikontrak adalah sebuah pelanggaran. Hukumannya adalah budak itu akan dijadikan budak pemerintah atau dipenjara. Jadi, mau tidak mau aku harus melakukan itu.
Kemudian, aku pun membayar semua yang harus kubayar. Selesai membayar, aku pun akan pergi. Namun, sebelum itu, Nao kuizinkan untuk pamit kepada semuanya. Menurutnya, semua pelayan dan budak yang ada di sana adalah keluarganya. Jadi, dia merasa sedih apabila tidak pamit dulu.
Selesai berpamitan kepada semuanya, kami pun bersiap-siap pergi. Kepergian kami diantar oleh satu pelayan yang seingatku namanya adalah Lidina. Untuk Axli, karena dia ada urusan, jadi tidak mengantar kami.
"Tuan, maaf atas kelancangan dan keegoisan saya. Dengan rendah hati, saya ingin meminta satu hal kepada Anda," ujar Lidina. "Apa Tuan bisa menjaga Nao?"
"Tanpa kamu minta pun, aku akan menjaganya," balasku percaya diri.
"Terima kasih banyak, Tuan," ujar Lidina sambil membungkukkan badan.
Kemudian, dia pun mendekati Nao dan jongkok untuk menyesuaikan tinggi. Dia pun menyampaikan suatu pesan kepadanya.
"Nao, jaga dan jangan sampai nakal kepada tuanmu, ya."
"Hm, aku akan menjaga Tuan Kiki!" balas Nao dengan ceria.
Dari jawabannya yang sangat antusias, sepertinya dia mulai membuka hatinya kepadaku. Syukurlah, aku senang mendengarnya.
"Jaga dirimu baik-baik, Nao," lanjut Lidina.
"Tentu saja. Jaga dirimu juga, Lidina!"
Kami pun keluar dari bangunan ini. Saat sudah di luar, Nao berterima kasih kepadaku.
"Terima kasih, Tuan. Karena sudah memenuhi keinginanku," ucap Nao.
"Tentu saja. Berpamitan memang harus dilakukan, apalagi kepada orang yang kamu sayangi," balasku dengan ramah. "Ayo, kita pergi."
Setelah Nao mengangguk, kami pun pergi. Tujuanku adalah ke tempat toko-toko untuk membeli keperluan Nao.
Sayangnya, Axli tidak memberikan barang apapun kepada Nao, seperti pakaian dan lainnya. Karena sudah sejak awal budak tidak memiliki apapun, kecuali tubuh dan kemampuannya. Jadi, aku yang sebagai tuannya harus membelikannya.
Pertama-tama, aku akan pergi ke toko pakaian. Untungnya, tidak ada larangan budak memakai pakaian biasa atau harus memakai kain tanda pakaian budak. Jadi, aku bisa membelikan Nao pakaian yang lebih layak. Selain pakaian sehari-hari, aku berpikir untuk membelikannya beberapa pakaian dalam dan pakaian tidur juga.
Nao saat ini tidak memiliki apapun untuk melindungi kakinya, jadi aku akan membelikannya sepatu. Selain itu, mungkin beberapa perlatan mandi untuknya dan untukku juga.
Kemudian, aku akan mencari penginapan. Axli memberikan rekomendasi tempatnya, namanya bar Jigri. Selain tempat menginap, di sana juga adalah tempat makan. Jadi, aku tidak perlu repot-repot cari tempat makan setelah bangun tidur.
Oh iya, menurut Axli, pihak penginap tidak akan memberikan kamar kosong kepada budak walau tuannya mampu menyewa kamar lebih. Jadi, mereka akan ditempatkan di kandang kuda atau gudang sebagai tempat tidurnya. Namun, lain cerita kalau ternyata budak itu adalah budak pemuas. Mereka akan diperbolehkan berada di kamar tuannya.
Itu berarti, aku yang tidak mau Nao tidur di tempat yang tidak layak haruslah mengaku kalau Nao adalah budak pemuas agar bisa tidur di tempat yang layak.
Heheheheh… memikirkan itu, membuatku merasa senang. Karena dengan begitu, aku bisa tidur dengan gadis seimut Nao. Apalagi, bisa saja aku memeluknya selama tidur bersamanya.
Aku jadi tidak sabar ingin segera malam tiba!
*duk
Akibat aku terlarut dalam pikiran, tanpa disadari aku menyenggol orang yang sedang jalan. Aku langsung segera meminta maaf.
"Ma-Maaf…" ucapku.
Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun pergi begitu saja. Sehingga, membuatku teringat kejadian kecurian waktu itu. Jadi, dengan cepat aku memeriksa kedua kantong koinku.
"Syukurlah, ternyata masih ada."
Ah, benar juga. Aku jadi ingat. Aku harus membeli kantong untuk uang-uang ini. Sepertinya aku harus pergi dulu ke toko yang menyediakan kantong dulu.
"Nao, kita pergi ke to… Eh, Nao?!"
Saat aku berbalik dan ingin memberitahu perubahan rencana kepada Nao, aku tidak bisa melihat sosoknya di mana pun.
Dengan panik, aku melihat sekeliling. Banyak sekali orang berlalu lalang, jadi kurasa tidak sengaja dia terbawa arus atau dia tidak bisa mengikutiku karena banyaknya orang-orang sehingga tersesat.
Aku pun langsung kembali ke jalur sebelumnya dan mencari-cari sosok Nao. Dengan panik, aku pun meneriaki namanya.
"Nao! Nao! Di mana kamu, Nao?!"
Tanpa mempedulikan pandangan orang-orang di sekitar, aku mencari sosok Nao. Sampai, akhirnya aku menemukannya di sebuah gang. Di sana, dia terlihat sedang terisak-isak dengan tubuh yang gemetar.
Karena cemas ada apa-apa dengannya, aku pun langsung pergi ke sana.
"Nao!"
Mendengar panggilanku, Nao mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. Dengan mata yang sudah memerah dan berlinang air mata, dia pun dengan cepat meminta maaf kepadaku.
"Maaf, Tuan! Nao…"
"Apa kamu tidak apa-apa?" tanyaku memotong kalimatnya.
"Eh… Hm, Nao tidak apa-apa…" jawab Nao dengan ekpresi heran.
"Syukurlah…"
"Tuan. Tuan, tidak menghukum Nao?"
"Kenapa aku harus menghukummu?"
"Habisnya… Nao… malah berpisah dari Tuan… Seharusnya Nao harus selalu bersama dengan Tuan. Tapi, tadi…"
"Aku tidak akan menghukummu dan marah kepadamu. Aku hanya cemas saja."
"Benarkah?"
"Benar. Lagipula, ini bukan salahmu. Tapi salahku karena tidak memperhatikamu."
"Tidak, Tuan tidak salah. Ta-"
Aku pun menaruh tanganku ke atas kepalanya untuk memotong kalimatnya tadi. Kemudian, aku pun jongkok untuk menyesuaikan dengan tingginya dan memberikan senyuman.
"Sudahlah, yang terpenting kamu baik-baik saja," ujarku sambil mengelus-ngelus kepalanya.
Nao pun menundukkan kepalanya dengan pipi merona merah, serta ekornya sedikit terangkat dan bergoyang-goyang. Kelihatannya dia sudah tenang dan senang dengan elusan kepalaku. Berarti, setiap dia sedang sedih, aku harus mengelus kepalanya untuk menghiburnya.
"Ayo, kita pergi," ujarku setelah merasa puas mengelus kepalanya.
"Hm, kenapa Tuan memberikan tangan Tuan kepadaku?" bingung Nao melihat uluran tanganku.
"Pegang tanganku, supaya nanti tidak terpisah. Ah, tapi itu pun kalau kamu mau. Kalau tidak, tidak perlu."
Nao menggelengkan kepalanya. Lalu, memberikan jawabannya.
"Aku mau pegangan tangan dengan Tuan!"
Dengan cepat, dia memegang tanganku. Bersamaan dengan itu, hati langsung merasa senang. Jantungku bahkan berdetak dengan cepat sekali, karena saking senangnya.
Akhirnya, salah satu keinginanku untuk berpegangan tangan dengan gadis imut terpenuhi!
Aku benar-benar sangat bersyukur sekali karena bisa hidup di sini!
"Ayo!"
Kami pun pergi sambil berpegangan tangan.