Setelah mengitari pertokoan cukup lama, Aina akhirnya menemukan sebuah toko terbuka di pinggiran jalan yang menjual berbagai macam permata mengkilau.
Pandangannya yang jatuh tanpa sadar di toko tersebut membuat pemilik toko menyeringai. Dia mengundang Aina untuk melihat lebih dekat.
"Oh, ada Nona cantik. Kemarilah dan lihatlah permata-permata indah ini! Beberapa didesain untuk digunakan oleh gadis cantik sepertimu dan semua ini murni buatan tangan."
Merasa tak bisa lepas dari situasi itu, Aina melangkah mendekat dengan meperhatikan berbagai macam permata juga aksesoris yang terpajang.
Semuanya terlihat begitu mengkilau dan indah membuat Aina ingin membelinya, tapi suara gemerisik pada tas kakinya menyadarkan dirinya.
"Ah, maaf Paman. Aku bukannya ingin mengganggu, tapi aku ingin bertanya sesuatu."
"Oh..."
Raut wajah pria pemilik toko itu berubah. Entah hanya perasaan Aina atau bukan, tapi pemilik toko itu seperti sedang menatapnya tak senang.
"I-ini, aku ingin bertanya dimana aku dapat menjual semua permata ini. Semua ini peninggalan..."
"A-apa! I-i-ini..."
Saat Aina akan menjelaskan permata yang dimiliknya dengan cerita karangannya, pemilik toko itu menatap kearah permata yang ada di tangannya dengan mata bercahaya.
"Maafkan aku, aku sebenarnya tak tau jenis permata ini. Jadi kalau bisa tolong jelaskan padaku."
Melihat ekspresi yang aneh dari pemilik toko itu, Aina segera kembali menarik permata ungu itu sebelum dia akan kembali meperlihatkannya. Saat ini yang jauh lebih penting adalah informasi daripada uang.
Pria pemilik toko itu kemudian berdeham sebentar dengan membenahi dirinya. Sesaat namun pasti, Aina yakin tatapan pemilik toko itu pasti sedang meneliti penampilannya.
Karena pria itu sempat melihat Aina mengeluarkan permata itu dari tas kecil yang ada di paha kakinya, dia memiliki senyum yang aneh.
"Baiklah aku akan memberitahumu, Nona. Sebagai gantinya bisakah kau menjualnya padaku?"
"Benarkah? Tentu saja."
Tanpa pikir panjang Aina menyetujuinya. Menemukan penjual permata di kota yang cukup besar dan ramai itu terbilang langka. Meski rasanya aneh karena hanya Aina yang berada di depan toko permata itu yang bahkan bisa langsung dilihat mata setiap kali seseorang melewati jalan setapak disana.
"Nama permata itu adalah 'Valeroite'. Itu hanya permata biasa yang sering di temukan di beberapa tambang, namun karena stok permintaan meningkat jadi aku mohon padamu untuk menjualnya."
"Valeroite. Aku tak pernah mendengarnya."
Tapi meski begitu Aina dapat mempercayai pria pemilik toko tersebut. Di tempatnya, tambang terbengkalai itu cukup menyimpan banyak mineral, namun yang dominan adalah permata ungu tersebut.
Jika diasumsikan demikian maka ada kemungkinan di tambang lainnya juga memiliki permata yang sama dalam jumlah yang cukup banyak.
"Nona, bagaimana dengan penawaran sebelumnya?"
"Ah, ini. Tentu aku akan menjualnya, tapi berapa harganya untuk satu permata."
Aina kembali bertanya untuk mengetahui harga pasar juga perhitungan mata uang yang mungkin mengalami perubahan semenjak terakhir kalinya.
"Hmmm, coba aku lihat. Satu permata kira-kira adalah 30 koin perak, tapi karena ini khusus bagaimana dengan satu batu kecil 35 koin perak?"
"35?"
"Bagaimana, ini harga spesial untukmu."
Dalam hatinya Aina sempat mencurigai sesuatu, namun jika dia tak menjual permata itu maka dia tak akan mendapat uang dan dia mungkin tak akan dapat membayar perbaikan senapannya.
Jumlah permata valeroite yang Aina bawa hanyalah sebanyak 10 potongan kecil dengan ukuran sama. Jika Aina membawa dalam ukuran yang besar maka perhitungannya akan berubah.
"Kalau memang seperti itu... baiklah. Aku akan menjual semuanya."
Bibir pemilik toko itu naik satu sisi yang memperlihatkan seringainya yang tak enak. Aina yang tak menyadarinya hanya mengumpulkan semua permata yang dimilikinya dan segera menyerahkannya pada pemilik toko tersebut.
Itulah yang ingin dia lakukan, sebelum sebuah suara memotong pembicaraan mereka berdua.
"Cukup sampai disini, penipu!"
Suara itu begitu berat tertuju pada pemilik toko yang kini berdiri mematung dengan keringat yang sedikit bercucuran. Sedangkan Aina yang tak tau apa pun menarik tangannya tanpa sadar dengan mata yang berkeliling.
"Jika aku jadi kau maka sebaiknya aku menyimpan kembali benda itu."
"Benda?"
Aina mempertanyakannya saat seorang lelaki dengan perlengkapan petualangnya datang padanya. Lelaki itu beralih menatap pemilik toko dengan tajam.
"Maaf, Paman. Tipuan kecilmu sampai disini. Kau mungkin bisa membodohi gadis ini, tapi kau tak akan dapat membodohiku."
"A-apa yang kau katakan?!"
Panik, pemilik toko itu dengan panik menatap kearah lelaki petualang tersebut.
"Kau seharunya menjelasnya dengan benar. Ini bukan permata, tapi logam. Valeroite adalah logam mulia yang kini sulit ditemukan karena seringnya pertambangannya. Valeroite tidak hanya logam biasa, dia mampu beradaptasi dalam keadaan apapun bahkan panas dan dingin tak akan mempengaruhinya. Dan terlebih lagi, valeroite juga bereaksi dengan sihir dan sering digunakan untuk meningkatkan perlengkapan seorang petualang. Kau bisa mengatakannya sebagai 'material peningkatan perlengkapan'."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari lelaki itu, Aina membuka mulutnya lebar. Dia menatap pemilik toko dengan tatapan tidak percaya. Jika benar seperti yang dikatakan lelaki itu, itu berarti pemilik toko tersebut berusaha menipunya dengan memanfaatkan ketidak tahuannya.
"Ah, aku juga ingat ini. Karena kelangkaannya, valeroite dijual di pasaran dengan harga minimal 1 koin emas untuk yang kecil dan yang besar 5 koin emas. Jika kau bisa menambahan jumlah penawarannya maka aku tak masalah, tapi jika kau masih memaksakan diri maka aku akan segera melaporkanmu."
Tatapan lelaki itu berubah tajam seraya bibirnya berujar dengan kata-kata yang tak sedap didengar.
Aina jadi khawatir dengan penjual itu, tapi setelah dia tau kalau dia baru saja ditipu Aina tak menghiraukannya. Rasanya sangat menyakitkan begitu kau mempercayai sesuatu, tapi kepercayaanmu itu dirusak begitu saja.
Apakah jual beli selalu seperti itu? Apakah mungkin Aegille juga menipunya?
Daripada itu, bagaimana bisa lelaki itu tau penjual permata di hadapannya menipunya?
Sebelum Aina menanyakan itu padanya, penjual itu berujar dengan suara yang terbata-bata dan terkesan tidak suka.
"Ba-baiklah... aku tau, kau bisa pergi sekarang."
"Keputusan bagus. Jika aku menemuimu lagi setelah ini dan menemukan kau menipu seseorang, aku pasti akan melaporkanmu."
Disisi lain, Aina hanya memandang lelaki yang lebih tinggi darinya tersebut dengan sedikit kagum. Dia ingin mengatakan terima kasih dengan sangat, namun lelaki itu lebih dulu menyela.
"Kau ini, kau terlalu mudah di tipu. Untung sebelumnya kau datang ke tempat yang benar. Kalau tidak senapanmu itu pasti sudah hilang saat ini."
"Hilang?"
Tak tau apa yang dikatakannya, Aina berpikir. Lalu beberapa saat kemudian dia tersadar. Bibirnya terbuka lebar seolah mengingat sesuatu.
"Tunggu, sejak awal kau mengikutiku?!"
"Hmm, tidak juga. Aku hanya ingin memastikan sesuatu sejak kau pergi dari salah satu toko perlengkapan terbaik di kota ini. Siapa sangka kau malah masuk ke sisi gelap kota."
"Tu-tunggu... apa?!"
Lelaki itu terlihat mengajaknya pergi dengan palingan kepalanya. Aina mengangguk tanpa sadar dan mengikuti lelaki itu di sisinya.
"Paman Aegille. Dia dulunya adalah salah satu dari prajurit kerajaan. Sekarang dia pensiun dan menjual barang-barang dari koneksinya di ibukota."
"A-apa?! Aku tak tau itu!"
"Tentu saja. Meski awalnya aneh, tapi aku akhirnya sadar kenapa aku tertarik untuk mengikutimu."
"Me-memangnya kenapa?!"
Mengatakannya dengan begitu jelas, Aina berharap mendapat jawaban yang berbeda. Namun sesuai dugaannya lelaki itu sama sekali tak bisa lembut dengan wanita.
"Karena kau bodoh."
Dalam hatinya Aina menjerit kesal. Tangannya menjadi gatal ingin mengoyak bibir pedas lelaki tersebut. Namun disamping itu, ada hal yang seharusnya Aina lakukan sedari tadi.
"Hey... terima kasih dengan yang tadi."
Aina berujar rendah dengan memalingkan kepalanya ke samping saat lelaki itu berusaha untuk menatapnya.
"Oh, sama-sama. Sebagai petualang bahkan jika itu bukan permintaan, kita tetap harus membantu orang lain yang kesusahan."
Untuk sesaat Aina mengagumi lelaki tersebut. Dia sudah membantunya dan kini dia mengatakan hal yang membuat Aina tersentuh.
Rasanya keluar dari 'rumah' setelah sekian lama, Aina bisa menemukan orang yang baik seperti lelaki itu, dia sangat beruntung.
Mereka terus berjalan beriringan hingga pusat kota. Aina cukup lebih banyak diam sembari sesekali menatap wajah lelaki tersebut.
Wajahnya yang cukup tampan, manik mata kebiruannya yang begitu indah, dan rambutnya hitamnya sedikit berantakan namun tetap terlihat keren di matanya.
Saat mendapati Aina memandang wajahnya, lelaki itu berpaling akan bertanya, namun Aina yang menghindari pandangan matanya membuatnya harus menahan diri.
Waktu berlalu begitu cepat. Lelaki itu terlihat akan pergi ke suatu tempat yang berbeda dari tujuan Aina.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Kau harus hati-hati setelah ini!"
"A-a-ah, ya."
Dengan gugup Aina membalas ucapan lelaki itu. Matanya terus menatap lekat punggung tegap lelaki yang mulai meninggalkannya.
Sontak Aina tersadar. Dia mengingat sesuatu yang begitu penting.
"Tu-tunggu, aku ingin tau siapa..."
Dia menghilang.
Pundaknya melemas beriringan dengan semangatnya yang pudar. Merasa bodoh karena tak menanyakan namanya, Aina jadi frustrasi.
Mungkin benar yang dikatakan lelaki itu.
"Juga... apa yang harus aku lakukan dengan ini?"
Memandang valeroite di tas kakinya, Aina menjadi cemas. Dia mungkin bisa menjualnya sesuai perkataan lelaki itu, tapi bukan hanya itu.
Jika benar valeroite dapat meningkatkan kualitas perlengkapan petualang, maka akan lebih baik jika Aina menyerahkannya pada Aegille untuk diproses.
"Hmm. Lalu bagaimana aku mengumpulkan uang?"
Aina mungkin bisa memanfaatkan kelangkaannya valeroite untuk mengumpulkan uang, tapi sebagai Meister tindakan tersebut termasuk penyia-nyiaan material penting.
Daripada menyerahkannya, Aina justru bisa memanfaatkan pemakaian valeroite dengan lebih baik.
Lalu ide lama terpikirkan olehnya. Terlebih mengingat lelaki barusan, wajahnya mulai menghangat.
"Jika aku jadi petualang... apa aku bisa bertemu dengannya lagi?"
Itulah yang dia pikirkan, tapi senapannya sedang diperbaiki dan Aina tak memiliki senjata untuk dia gunakan nantinya. Akan tetapi hanya memikirkan akan bertemu lelaki itu lagi, Aina merasa pipinya lebih memerah dari sebelumnya.
Saat khayalannya akan pergi terlalu jauh, tiba-tiba sesuatu menghantam tubuhnya membuatnya terjatuh.
"Akh!"
Tepat dengan pantatnya yang mencium tanah lebih dulu, Aina meringis kesakitan. Dia akan berseru kesal sebelum dia menyadari apa yang menghantam dirinya.
Seorang gadis kecil dengan pakaian yang sedikit lusuh itu juga tergeletak tak jauh darinya. Aina yang tak mendengar apapun darinya merasa khawatir.
"Hey, kau tak apa-apa?"
Mencoba mengguncang tubuh kecilnya, Aina mulai merasakan sedikit reaksi, namun dia belum mendengar jawaban apapun.
"Syukurlah, apa kau terluka?"
Beberapa saat setelah gadis itu bangun, dia terduduk dengan kedua lutut menyentuh tanah dan pandangan matanya menatap Aina dengan sayup-sayup. Terdapat tanda hitam di sekeliling matanya, Aina segera tau gejala itu.
"Kantung matamu hitam, apa kau sedang tak sehat?"
Lagi-lagi tak ada balasan. Gadis itu tak bersuara, namun kepalanya menggeleng sebagai jawaban.
Aina mencoba bertanya hal lainnya untuk memastikan keadaannya dan gadis itu hanya mengangguk dan menggeleng tanpa bersuara.
"Tunggu, jangan-jangan kau tak bisa bicara?"
Gadis itu terdiam dalam pandangan Aina mungkin seperti terkejut dan tak sanggup menerima keadaannya tersebut.
Gejala seperti tak dapat bicara bisa terjadi karena penyakit, trauma, atau sesuatu seperti lidah yang mati rasa karena racun atau semacamnya.
Melihat kondisi mentalnya, ada kemungkinan penyebab kondisi gadis itu saat ini adalah penyakit bawaan, tapi Aina belum yakin dengan pasti.
Dirinya akan membantu gadis itu berdiri sebelum sebuah suara dari seorang wanita terdengar mendekati mereka.
"Cepat kembali kesini!"
Suaranya terkesan memerintah. Aina menjadi curiga kalau wanita itu bukanlah ibu dari gadis tersebut ditambah reaksi gadis itu pada wanita tersebut.
Tubuhnya menjadi kaku, dia langsung berlari ke belakang punggung Aina untuk bersembunyi. Reaksi yang seperti tengah menghindari wanita itu membuat Aina bertanya-tanya.
"Jadi kau disini, ayo cepat kembali."
Lagi-lagi sikap wanita itu cukup aneh. Dia tak memanggil nama anak tersebut dan dia tak bisa bersikap lembut membuat Aina mengambil tindakan.
"Tunggu sebentar, kau membuatnya takut."
"Siapa kau ini? Lagipula aku hanya memiliki urusan dengan gadis itu jadi aku mohon jangan mengganggu kami."
Tangan wanita itu terulur berusaha menggapai gadis di belakang badannya. Aina sontak membalas mencengkeram balik pergudangan wanita tersebut.
"Setidaknya bersikap lembut lah. Dia masih anak kecil. Sekalipun aku tak ada hubungan, tetap saja aku merasa terganggu."
Selain gadis ini baru saja menabraknya, dia bisu karena penyakit, itu yang terpikirkan sebelumnya. Hanya saja setelah kedatangan wanita itu Aina bisa menyimpulkan kemungkinan lainnya kalau gadis itu mungkin sedang trauma karena rasa takut.
"Maaf Nona. Tapi bagaimana juga gadis ini harus kembali denganku atau akan ada masalah lainnya."
"Masalah lain?"
Wanita itu terlihat kebingungan akan mengatakan sesuatu. Dia menatap sekeliling mencoba memastikan keadaan lalu kembali menatap Aina dengan tatapan sayu.
"Sebenarnya, gadis itu... adalah budak."
"Budak?!"