"Selamat datang, apakah ada yang bisa saya bantu?"
Di siang yang bolong, Aina menghampiri perserikatan petualang setelah bergelut dengan perasaannya sendiri semenjak pagi.
Karena dia meninggalkan Hana sendirian Aina sempat merasa cemas, namun dia yakin gadis itu akan mengerti alasan Aina melakukan hal tersebut.
Untuk menemukan pekerjaan itu sangat menyulitkan apalagi pekerjaan yang memungkinkanmu untuk pulang pergi kapan pun kau mau.
Setelah pertimbangan itu Aina putuskan untuk bergabung sebagai petualang di perserikatan petualang.
Tepat di hadapannya seorang wanita cantik dengan pakaian khusus perserikatan itu berdiri dengan tegap dan tersenyum ramah. Melihat betapa profesionalnya para resepsionis disana membuat Aina berpikir pekerjaan itu cukup berat untuknya.
Dia tomboy dan tak begitu baik dalam berkomunikasi antar sesama bukan karakter yang cocok untuk menjadi resepsionis. Terlebih dia nantinya diwajibkan terus berada di perserikatan hingga jam kerjanya habis.
Aina menghela napas. Terkadang dirinya berpikir, apakah dia ini tidak seperti gadis normal kebanyakan atau justru dia sendiri lah yang tidak normal disini.
Berkumpul diantara keramaian para petualang lelaki, ada sebagian kecil wanita disana, namun mereka terlihat berotot dan beberapa terlihat seperti orang suci.
Tak ada diantara mereka yang terlihat seperti gadis seumurannya. Hal itu membuat Aina sedikit ragu mengatakannya langsung.
"Aku... sebenarnya aku..."
"Apakah anda akan membuat permintaan?"
"Tidak, maksudku...itu. Aku..."
"Ah, anda ingin menjadi Petualang ya?"
Sontak dari hal tersebut Aina terdiam. Dia menjawab dengan anggukan ringan seolah dia tak ingin ada yang mendengarnya.
Setelah memasuki perserikatan seseorang dapat dengan mudah ditebak terutama oleh para anggota perserikatan yang begitu profesional. Karena hanya ada sedikit hal yang dapat dilakukan dalam perserikatan yaitu untuk membuat permintaan atau bergabung dengan perserikatan sebagai petualang atau pekerja magang.
Terkadang ada juga diantara mereka yang menawarkan kerjasama dengan perserikatan tentang sesuatu hal yang tentu perlu melalui beberapa tahapan khusus.
"Kalau begitu silahkan isi formulir anda terlebih dahulu."
Saat wanita itu akan memberikan lembaran kertas berupa formulir untuknya, Aina terlebih dahulu berujar dengan suara rendah.
"Maaf, tapi... kau tau. Aku ini hanya gadis yang..."
"Saya mengerti. Sebelumnya saya akan jelaskan persyaratan umum untuk menjadi seorang petualang. Pertama, mereka yang telah berumur cakap atau di atas umur 15 tahun. Kedua, dengan menyetujui persyaratan kami, pihak terkait diwajibkan untuk mengikuti peraturan yang ada tanpa pengecualian. Ketiga, tidak ada batasan khusus diantara para pendaftar, selagi mereka dapat memenuhi persyaratan kami tidak keberatan. Terakhir, segala yang terjadi pada petualang adalah tanggung jawab pihak perserikatan."
Aina tidak benar-benar mendengarkan keseluruhannya, tapi sepertinya dia dapat bergabung asal tidak melanggar peraturan yang telah dibuat.
"Terima kasih, itu cukup membantuku."
Memutuskan untuk mengisi lembar formulir di atas meja, wanita itu menunggu Aina. Akan tetapi saat pintu perserikatan terbuka kembali dengan seseorang yang mendekati meja yang sama dengan Aina, wanita itu bergeser sesaat untuk melayaninya.
"Ah, sepertinya kau sudah kembali Ryan."
"Maaf agak lama. Setelah bergadang untuk menjaga karavan, karavan justru diserbu oleh sekumpulan salamander. Jumlah mereka cukup banyak dan hampir membakar semua, beruntung ada party lain datang membantu kami."
"Salamander? Kawasan itu bukanlah habitat monster sejenis mereka."
"Aku juga tak tau. Apakah mungkin ada sabotase seseorang? Seseorang mungkin tak ingin persediaan tiba di perbatasan."
"Itu cukup gawat. Sebaiknya kau menulisnya pada laporanmu, kami akan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi."
"Terima kasih."
Pembicaraan kedua orang tersebut terdengar begitu akrab. Wanita itu juga terlihat tidak menggunakan formalitasnya untuk menyapa pemuda tadi.
Sepertinya dia melakukannya untuk menjalin hubungan baik dengan setiap petualang supaya mereka tetap bekerja sebagai petualang.
Tapi di samping itu entah mengapa Aina mengenal suara pemuda itu sebelumnya entah dimana. Namun karena dia terlalu sibuk mengisi lembaran persyaratannya, Aina menghiraukan keduanya hingga tak ada percakapan terdengar lagi.
Aina akan mengembalikan formulir itu sebelum dia menyadari seseorang berbicara dengannya terlebih dahulu.
"Ah, benar. Kau yang waktu itu!!"
"E-eh, apa?!"
Terlunjak karena terkejut, Aina hampir terjatuh. Beruntung dia dapat berpegang erat pada meja counter. Dia berpaling untuk memastikannya.
Dugaannya benar. Pemuda yang berbicara dengannya itu, Aina sangat mengenalnya. Sontak hal itu membuat Aina kebingungan. Pasalnya dia bertemu kembali dengan pemuda yang telah membantunya, tapi karena terlalu asik dia sampai lupa menanyakan namanya.
Kalau dia tak salah dengar wanita resepsionis tadi memanggilnya Ryan.
"Itu benar. Ahaha, aku tak menyangka akan bertemu denganmu lagi hari ini. Ada urusan apa dengan perserikatan?"
Bertanya dengan akrab padanya, Aina belum sanggup membalas. Dia malu jika dia mengakui bahwa alasannya bergabung perserikatan adalah karena pemuda tersebut.
Belum dapat membalasnya, wanita resepsionis itu menimpalinya.
"Gadis ini ingin menjadi petualang. Ah, jadi namamu Aina."
Tidak lagi formalitasnya karena sepertinya dia telah memandang Aina layak terlebih dia punya kenalan petualang yang mungkin menjadi alasannya bergabung dengan perserikatan.
Beberapa resepsionis memiliki kepribadian mereka masing-masing dan itulah yang membuat petualang nyaman untuk selalu datang ke perserikatan. Mereka tidak akan terlalu bersikap formal, namun tetap tegas dan profesional dalam bekerja.
"Bergabung? Kau ingin jadi petualang?"
Ryan bertanya dengan penasaran. Baru saja kemarin dia menemukan gadis itu dalam kawasan rawan penipuan dan sekarang dia menemukannya ingin bergabung dengan petualang.
Dilihat dari penampilannya yang begitu sederhana dengan celana kulit pendeknya, namun tidak menghilangkan kesan anggun dari wajahnya itu dapat cepat dimengerti Ryan.
Aina cukup memiliki pengalaman.
"Y-ya. A-apa itu buruk?"
"Tidak. Tidak. Aku tidak menilai seseorang dari penampilan mereka. Kau lihat, aku juga pemula, tapi sedikit lebih lama darimu."
Melihat perbincangan Ryan dan Aina yang berlanjut wanita tadi memutuskan meninggalkan mereka berdua untuk menyiapkan apa yang diperlukan Aina sebagai pemula.
"Tembaga?"
Setelah memperlihatkan liontin pengenal di lehernya, Aina berujar.
"Tepat. Aku baru saja naik 2 bulan lalu dan aku bertujuan untuk menjadi petualang tingkat obsidian!"
"Jangan terlalu berharap tinggi, Ryan. Butuh beberapa persyaratan khusus untuk menjadi petualang tingkat obsidian. Bahkan belum tentu petualang tingkat emas dapat melakukannya. Saat ini saja petualang tingkat obsidian yang tersisa hanya empat dan informasi tentang mereka dirahasiakan."
Wanita itu kembali dengan menegaskannya pada Ryan. Dia gantian menatap Aina seraya menyerahkan buku panduan dan liontin tanda pengenalnya.
Bahan yang dibuat untuk liontin menyesuaikan pangkat petualang tersebut. Saat ini Aina adalah petualang tingkat perunggu. Satu tingkat di bawah tembaga.
"Tingkat perunggu adalah bukti kecakapan seorang petualang. Jika dalam Lima bulan seorang tidak segera naik ke tingkat tembaga, maka berdasarkan ketentuan dalam berpetualang kami terpaksa mencabut mereka dari keorganisasian perserikatan petualang."
Tak heran peraturan itu terdengar tegas pada siapa pun. Itu karena menjadi petualang bukan sekadar main-main. Dengan dihilangkannya tes ketrampilan karena terkadang ada sabotase yang di lakukan selama tes, pihak perserikatan menggantinya dengan sebuah ketentuan tak tertulis yang wajib dilakukan.
"Tenang saja. Hanya dalam satu bulan saja kau pasti bisa naik tingkat. Aku pastikan itu."
Ryan terlihat menyemangatinya dan tindakannya itu membuat Aina merasa tak enak. Dia terlalu berlebihan terlebih dia belum mengenal baik Aina.
Dan reaksi gadis itu membuat senyum di wajah wanita resepsionis itu merekah.
"Aduh, sepertinya aku terlalu mengganggu kalian. Kenapa kalian tidak jalan berdua saja dalam menyelesaikan permintaan?"
Sontak pernyataan itu semakin membuat Aina gugup untuk berujar. Wajahnya terlihat memerah dan dia terus saja mengalihkan pandangannya dari lelaki tersebut.
"Ini tak lucu, Stevia. Meski pun kau kenalan dekatku, bukankah kau sedikit keterlaluan sejak beberapa hari lalu?"
"Lalu? Seharusnya kau mengatakannya dengan benar."
"Kau ini. Kembalilah ke pekerjaanmu sana!"
"Baik. Baik. Selamat menikmati waktu kalian."
Setelah menyelesaikan urusannya, wanita itu meninggalkan mereka berdua menuju sebuah ruangan di belakang meja counter.
Seketika suasana menjadi runyam diantara mereka. Aina masih bingung bagaimana harus memulai pembicaraan atau bagaimana dia harus menjelaskan semuanya.
Kemudian tanpa menunggu Ryan terlebih dahulu berbicara dengannya dengan nada yang terdengar bersahabat.
"Hey, Aina. Karena kita sama-sama pemula, bagaimana kalau kita membuat party?"
"E-eh, ya..."
Mendapat pertanyaan yang mendadak, Aina tanpa sadar meresponnya dengan jawaban iya. Sontak hal itu membuat gadis itu menyesali tindakannya yang tanpa pikir panjang itu.
Akan tetapi reaksi pemuda itu nampak senang.
"Bagus sekali. Akhir-akhir ini jarang ada pemula yang bergabung karena itu aku selalu solo. Dengan adanya kau kita bisa mengambil permintaan perburuan meski peringkat kita masih rendah."
Ryan menambahi bahwa dia ingin mencarikan permintaan yang cocok untuk mereka sebelum Aina akhirnya dapat berujar.
"Tu-tunggu, permintaan yang kau jalani sebelumnya..."
"Ah, benar juga. Masih ada beberapa kebutuhan yang belum dikirim. Meski diluar kontrak, tapi kita akan dapat bonus jika ikut membantu. Bagaimana?"
Awalnya yang ingin Aina sampaikan adalah tentang laporan lelaki itu, tapi sepertinya Ryan salah mengartikannya.
Pemuda itu nampak antusias sejak Aina menyanggupi permintaannya. Aina ingin sekali menolak permintaannya, namun karena dia terlalu bersemangat Aina menjadi tak enak.
"O-oke, ta-tapi jangan salahkan aku jika aku tak dapat terlalu membantu."
"Tenang saja. Setelah sebelumnya, aku yakin pimpinan karavan kali ini akan memilih jalur yang lebih aman."
Dalam hatinya Aina tersenyum karena jujur dia juga bersemangat untuk memulai party mereka bersama. Dia hanya malu mengakuinya terlebih dia bersemangat hanya karena Ryan bersamanya.
"Kalau begitu kita berkumpul lagi esok karena jadwal keberangkataannya esok hari. Persiapkan dirimu."
"O-oke."
Sebelum Aina menyadarinya dia baru saja melupakan hal yang penting. Hal yang tak bisa lepas dari seorang petualang.
Secara kebetulan Ryan mengingatkannya.
"Oh, ya. Ngomong-ngomong, dimana senjatamu?"
"...eh?"
———
Setelah Ryan mengingatkannya, Aina bergegas menuju toko perlengkapan Aegille. Meski baru sehari setelah dia memasukan senapannya, Aina pikir Aegille bisa merekomendasikan sesuatu untuknya pakai.
"Oh, Nona. Kau datang lagi hari ini. Maaf saja, tapi senapanmu belum siap. Aku masih kekurangan beberapa material untuk memperbaikinya."
"Tak ada apa-apa Paman. Aku datang kemari bukan untuk itu."
"Lalu?"
Secara kebetulan Aegille menatap sesuatu yang tergantung di leher gadis itu. Sebuah liontin tembaga yang begitu mengingatkannya dengan sesuatu.
"Jadi begitu. Kau akhirnya bergabung dengan perserikatan?"
"Tentu. Ini semua juga berkat Paman yang menyarankannya padaku. Jadi terima kasih."
"Jangan, jangan, kau tak boleh berterima kasih padaku. Pada akhirnya seorang petualang terikat oleh tugas dan tanggung jawab yang mungkin dapat membahayakan nyawa gadis sepertimu."
"Tapi tetap saja aku akan. Jika tidak, aku tak akan dapat membahagiakan orang lain. Dan aku mungkin tak akan dapat bertahan hidup karenanya. Aku tak akan menyesali keputusanku."
Jujur Aina menyimpan satu alasannya yang tak dapat dia bicarakan. Ini tentang Hana. Bukan seperti Aina malu karena memungut seseorang yang sebelumnya adalah budak, tapi dia hanya tak ingin ada orang lain yang mengganggu ketenangan mereka.
Kalau bisa Aina ingin menjauhkan orang-orang buruk dari gadis tersebut.
"Alasan yang cukup bagus, Nona. Aku menghormatimu. Lalu, ada urusan apa?"
Aegille duduk di balik meja menatap Aina yang memiliki pandangan berkeliling seperti berusaha mencari sesuatu.
"Paman, soal kemarin..."
"Ah, kau mengingatkanku. Apakah kau ingin mencoba senjata yang cocok untukmu?"
"Bagaimana Paman bisa tau."
"Hanya orang bodoh yang bergabung dengan perserikatan dengan tangan kosong. Kau perlu sesuatu? Aku akan menunjukkan senjata yang cocok untukmu."
Aegille bangkit menuju salah satu sudut yang terdapat tong berisikan berbagai jenis senjata seperti tombak dan pedang.
"Bagaimana dengan sebuah pedang?"
Mengambil salah satu pedang yang ada, Aegille menunjukkannya pada Aina. Hanya saja gadis itu seperti tidak menyukainya.
"Pedang mungkin bagus, tapi Paman sendiri tau pedang bukan gayaku."
Jika gadis pengguna senapan sepertinya menggunakan pedang panjang, Aina menjadi tak nyaman. Dia mungkin akan baik-baik saja, namun Aina tak akan dapat menggunakannya secara efektif.
"Aku lebih suka sesuatu yang ringan."
"Yang ringan ya? Tunggu sebentar."
Aegille pergi menuju sisi yang lainnya. Kali ini dia mengambil senjata yang dia gantungkan di dinding tokonya.
"Bagaimana dengan yang satu ini? Belati ini cukup ringan, tapi aku yakin kau pasti akan menolaknya."
Dengan tertawa rendah, Aina menyanggupinya dalam hati. Belati tadi memang terlihat bagus, tapi bentuknya melengkung seperti setengah lingkaran yang tidak menyimpan unsur keindahan apa pun.
Mata Aina justru jatuh pada sebuah kota yang ada di dekat meja tergeletak di atas lantai penuh debu.
Tanpa sadar Aina mendekatinya lalu membuka kotak tersebut. Di dalamnya rupanya terdapat beberapa senjata bekas yang beberapa seperti sudah patah.
"Paman ini..."
"Ah, senjata itu? Benda itu rusak. Para petualang sering menjualnya padaku, lalu aku akan memperbaikinya atau membawanya untuk diperbaiki kenalan blacksmithku."
Jumlahnya cukup banyak, beberapa kerusakan dapat terlihat pada beberapa bagian seperti gagang, bilah logamnya, tumpul, berkarat, atau sejenisnya.
Namun diantara semua itu Aina menemukan benda yang menarik perhatiannya.
Sepasang pedang pendek yang terlihat masih mengkilap dengan warna putih saljunya meski pada bagian pegangannya sudah hancur.
Aina tersenyum menemukan apa yang dicarinya.
"Paman, aku ambil yang ini."
"Tapi Nona itu..."
Awalnya Aegille terdengar ragu, namun menatap dalam pandangan mata gadis tersebut membuatnya teringat siapa dirinya.
"Lakukan sesukamu, Meister!"
Tersenyum karena mengerti keinginannya, Aina berterima kasih. Dia berkata akan membayarnya setelah dia menyelesaikan permintaannya.
Kemudian gadis itu melenggang pergi menuju kediamannya.