"Kenapa kau kasar sekali. Dia masih anak kecil!"
Tidak mengherankan Aina marah pada wanita itu. Bagaimana pun, gadis itu masih dibawah umur dan mengingat kondisinya tidak seharusnya dia mendapat perlakuan seperti itu.
"Maafkan aku. Aku tau ini kasar untuk Nona, tapi aku melakukan ini demi kebaikannya."
"Kebaikan apa yang bisa dapat dengan menjadikan anak kecil budak?!"
"Ku berikan dia tempat tinggal dan kehidupannya terjamin, tapi sebagai gantinya dia bekerja untukku."
Wanita itu meski terlihat sedikit tertekan, dari cara bicaranya Aina dapat memastikan wanita itu serius. Dia tak bisa bersikap acuh tak acuh dengan keadaannya.
Memang benar kehidupan seorang budak berubah setelah memiliki seorang 'tuan', tapi bukan berarti kebebasannya terjamin. Akan tetapi, diantara semua itu Aina justru penasaran dengan hal lain.
"Dimana orang tua anak ini?"
Ada kemungkinan karena hutang keluarganya gadis itu dijual menjadi budak untuk melunasinya. Di suatu tempat orang tua gadis itu berada, Aina ingin mengetahuinya.
Itulah yang ingin dia pastikan.
Namun jawabannya justru membuat Aina bungkam.
"Sebenarnya aku tak ingin membicarakan ini, namun kebenarannya setelah orang tuanya menjual gadis ini mereka meninggal karena penyakit. Aku hanya tak sanggup menelantarkannya, tapi aku juga tak sanggup merawatnya."
"Jadi kau memilih jalan ini."
"Maafkan aku. Gadis ini aku jadikan jaminan agar penarik hutang tidak menghancurkan bisnisku. Aku tak punya pilihan lain."
Dengan begitu Aina terdiam. Gadis di belakangnya terlihat tidak menyangkalnya dan hanya menarik pakaiannya dengan jari kecilnya yang gemetar.
"Kau serius?"
"Tentu. Untuk apa berbohong padamu, Nona."
Rasanya semakin lama Aina semakin terlibat jauh. Dia merasa tak enak karena menyinggung masalah itu bahkan membentaknya, namun tidak memberikan bantuan apapun.
Meski terdengar kejam, namun jika dipikirkan kembali tidak ada diantara mereka yang bersalah. Wanita yang tidak dapat memikirkan jalan keluar lalu menjadikan gadis itu sebagai jaminan atas kafir dan hidupnya. Atau gadis yang hanya sanggup menerima semua paksaan tersebut kemudian lelah dan berusaha melarikan diri.
Aina kembali memikirkannya sejenak. Jika memang ada cara untuk menyelesaikan semua ini, mungkin mereka memerlukan bantuan orang ketiga.
Dan orang tersebut mungkinlah dirinya.
"Biarkan aku membantu kalian."
Memantapkan hatinya, Aina ingin membantu menyelesaikan masalah mereka. Tepatnya, dia ingin menolong gadis tersebut.
"Tapi, Nona. Ini tentang hutang gadis ini... harga itu bukanlah..."
"Katakan saja berapa dan aku akan memberikanmu uangnya."
"..."
Wanita itu terlihat ragu, dia berulang kali menatap Aina dan gadis itu seperti mempertimbangkan sesuatu.
Dalam benak Aina, mungkin wanita itu berpikir bagaimana nasib gadis ini ketika semua hutangnya telah dilunasi. Mungkin terasa berat untuknya menghidupi gadis yang sebelumnya dia paksa menjadi pekerjanya.
"Kau yakin Nona?"
"Tentu. Katakan saja padaku."
Lalu setelah wanita itu mengatakan jumlah hutang yang perlu dilunasi awalnya Aina terkejut, namun beruntung karena informasi yang dia dapat dari lelaki petualang sebelumnya dia dapat memberikan valeroit sebagai jaminan pengganti uangnya.
"Terima kasih banyak. Dan maafku yang begitu dalam atas perbuatanku."
Wanita itu menundukkan kepalanya pada Aina dan gadis itu. Dia lalu pergi tanpa menengok ke belakang lagi dengan sejumlah besar valeroit di tangannya.
Pada akhirnya Aina menyerahkan material berkualitas tinggi tersebut, namun jika itu dapat menolong orang lain maka Aina tak masalah.
Pandangannya jatuh pada gadis yang terlihat menatapnya dari jauh dengan mata yang berlinang air mata. Dia memeluk Aina erat tanpa mengeluarkan sepatah kata, namun hanya dari bagaimana dia memeluknya Aina pikir gadis ini telah melalui banyak hal.
"Hey, mau ikut denganku?"
Aina mengatakannya dengan suara rendah. Kini gadis yang tanpa tempat tinggal dan keluarga itu, Aina bertujuan untuk membawanya. Setidaknya dia ingin membantunya mengembalikan suaranya yang hilang tersebut.
Beberapa buku di rumahnya mungkin terdapat sesuatu tentang pengobatan herbal yang dapat membantu, namun Aina tak bisa berharap banyak.
Jujur saja, Aina berpikir gadis itu mirip dengannya.
"Sebelum itu mari kita makan dahulu. Kau harus makan teratur untuk menjaga kesehatanmu."
Karena keadaan gadis itu yang terlihat buruk dengan kantung mata yang menunjukkan bahwa kesehatannya menurun, Aina mencoba menjaga kesehatannya.
Karena saat ini dia berada di tengah dilema untuk memenuhi kebutuhan keuangannya, beberapa solusi sudah dipikirkannya beberapa saat lalu.
Hanya saja jika dia menjadi petualang, maka tak ada yang merawat gadis itu. Aina tak ingin menjadi orang yang telah memberikan harapan justru kemudian mencampakkamnya.
Akan tetapi dia dipaksa untuk membuat keputusan yang sulit. Pada akhirnya Aina tak memiliki pilihan lain.
Kemudian Aina membawanya menuju tempat makan yang dia rasa cukup sepi. Kali ini dia mencarinya di tempat yang agak terbuka menghindari penipuan yang hampir dia terima sebelumnya.
Gadis itu terlihat ragu saat Aina memasuki sebuah tempat makan, dia berpikir ulang dengan penampilannya saat ini, namun Aina tidak menunggunya lama.
"Tak usah cemas. Aku bersamamu."
Aina menarik tangan gadis itu sedikit memaksa. Mereka kemudian memesan makanan dengan harga yang normal.
Karena gadis itu tak sanggup berbicara, acara makan mereka dihabiskan dengan saling memandangi satu sama lain.
Hanya saja melihat ekspresi senang ditunjukkan gadis itu setelah mungkin dapat mengisi perutnya apalagi disaat setelah dirinya dibebaskan, semuanya begitu natural dan terlihat begitu indah membuat Aina tersenyum tanpa sadar.
Waktu berlalu begitu saja hingga petang hampir menjelang. Butuh waktu beberapa jam untuk Aina kembali ke 'rumah'-nya jadi dia putuskan untuk mempersiapkan diri lebih awal.
"Rumahku ada di luar kota, jadi maaf tolong persiapkan dirimu."
Merasa tak enak jika membiarkan gadis itu ada di kota dengan keadaannya seperti itu terlebih Aina yang tidak lagi memiliki cukup uang untuk berjaga-jaga memutuskan untuk membawanya pulang.
Di sana dia masih punya sisa kain untuk dijahit, dia juga bisa memasak, meski tempatnya tidak begitu aman namun semua kebutuhannya dapat terpenuhi disana.
Juga karena gadis itu tak dapat berbicara akan merepotkan jika Aina tak sanggup berkomunikasi dengannya.
Awalnya dia berniat membeli beberapa lembar kertas, namun karena Aina sudah tak memiliki cukup uang dia mengurungkan niatnya.
"Rumahku cukup jauh dari sini. Katakan saja jika kau sudah tak sanggup berjalan. Aku akan menggendongmu."
Aina sama sekali tidak mengkhawatirkan tentang fisiknya. Tubuhnya sudah seperti seorang lelaki dengan pengetahuan yang cukup, Aina sanggup melakukannya seorang diri.
Meski begitu Aina masih saja khawatir. Memang belum ada yang berbeda sejauh ini, namun perubahan bisa datang kapan saja.
Sampai saat itu tiba, Aina harus berusaha menebus dosanya dengan benar.
———
"Kalau begitu ambil ini dan ini."
Aina menyerahkan beberapa kertas yang sedikit usang yang dia ambil dari ruang kerja pribadinya. Dia juga menyerahkan alat tulis dan tintanya untuk gadis itu.
"Apa kau bisa membaca dan menulis?"
Gadis itu mengangguk dengan mantap. Sepertinya keahliannya dalam menulis dan membaca adalah pemberian wanita itu.
Wanita itu pasti telah mengajarkan hal yang diperlukan untuk bekerja seperti mencatat pesanan atau membaca menu.
'Padahal dia sebaik itu, kenapa takdir yang mempertemukan mereka harus seperti ini.'
Jika wanita itu mau dia bisa saja menjaga gadis itu, tapi jika dia kehilangan satu-satunya mata pencahariannya maka hasilnya sama saja.
Karena itu wanita itu bertaruh. Jika dia bisa meyakinkan penagih hutang, nyawa mereka berdua akan terselamatkan.
"Kalau begitu tolong tuliskan namamu."
Gadis itu mulai menulis di selembar kertas kecokelatan yang Aina berikan. Tangannya tidak begitu terampil, namun Aina melihat tulisannya sudah cukup bagus.
Usai menulis gadis itu menunjukkan kertasnya dengan kedua tangannya.
"Hana kah? Nama yang bagus. Berapa umurmu?"
Lagi-lagi gadis bernama Hana itu kembali menulis dengan bersemangat. Melihatnya saja membuat Aina menjadi tenang dan tanpa sadar senyum merekah di bibirnya.
"Hmm... ah, jadi umurmu 9 tahun ya? Aku pikir kau lebih muda lagi."
Sembilan tahun. Gadis itu tiga tahun lebih muda dari Aina dulu waktu dia mulai tinggal disana.
Sesaat Aina memandangi bingkai jendela yang ada di sampingnya. Petang telah menjelang dan langit mulai berubah gelap. Aina bangkit sesaat untuk menyalakan lentera di beberapa tempat.
Rumahnya saat ini hanya memiliki tiga ruangan. Ruang tamu yang berada di depan. Lalu ruang di belakang yang mencakup dapur dan gudang penyimpanan. Yang terakhir adalah basemant yang merupakan ruang kerja sekaligus kamar tidurnya.
Semua itu dia buat dari bahan yang dia dapat di sekitar seperti kayu, bahkan kasurnya hanyalah terbuat dari kayu beralaskan kain rajutannya.
Setelah lentera menyinari tempat tersebut Aina kembali. Dia terkejut mengetahui kalau gadis itu, Hana rupanya tengah menggambar.
Dan dibawah gambar tersebut terdapat sebuah tulisan.
'Kakak yang baik.'
Gambar dirinya yang entah bisa dikatakan jauh dari mirip itu membuat Aina tersentuh. Senyum gadis itu belum lah hilang dan hatinya yang masih bersih itu sangat menawan.
Aina tak tau berapa lama dia akan menyembunyikannya, namun jika Aina diizinkan memohon dia ingin selamanya tetap seperti ini.
Karena dia tak tau lagi apa yang akan dia lakukan jika semua orang kembali memusuhinya.
———
Pada pagi hari, Hana terbangun di tempat tidur yang ada di ruang kerja Aina. Hana memperhatikan sekitar, namun dia tidak menemukan gadis yang telah membantunya.
Saat pandangan matanya berkeliling dia dapat menemukan sepucuk surat yang di tinggalkan dengan sepasang pakaian yang telah dilipat dengan rapi.
Didalamnya tertulis.
'Aku tinggalkan pakaian untukmu. Kalau lapar makan saja semua makanan yang kau temukan. Catatan untuk tidak meninggalkan rumah sampai aku pulang. Salam Aina.'
Hana tersenyum senang. Ini pertama kalinya ada yang begitu mengkhawatirkannya. Sudah sangat lama dia dapat mengingat perasaan itu.
'Terima kasih.'
Ujarnya dengan tulus dari dalam hatinya
———
"Hey, Risa! Dimana bocah kecil itu? Sedari tadi aku tak melihatnya."
Pada malam hari di dalam sebuah bar, seorang pria yang terlihat telah mabuk berujar dengan keras pada bartender.
Wanita yang terlihat sedang membersihkan bar itu membalasnya dengan suara rendah. Bagaimana juga hanya ada dirinya dan pria tersebut jadi dia merasa perlu santai sejenak.
"Seseorang sudah membawanya. Dia juga sudah membantuku membayar hutang. Aku yakin dia akan dirawat dengan baik."
"Hah!? Dibawa. Siapa yang berani membawa gadis cantik sepertinya itu!?"
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini. Kau hanya akan dipandang jijik karena menyukai gadis kecil."
"Heh, mengapa? Gadis kecil itu yang terbaik!"
"Masih banyak gadis cantik yang sudah dewasa, Hugo. Kalau terus seperti ini kau tak akan dapat istri."
Wanita itu hanya mengikuti arus pembicaraan pria tersebut. Orang mabuk selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya bahkan jika itu memalukan sekalipun.
Sebagai bartender hal seperti itu sudah biasa untuknya. Dia bahkan pernah digoda oleh seorang petualang yang mabuk setelah kembali dari perburuan.
Namun sampai menggoda seorang anak kecil, sepertinya ini pertama kalinya.
"Aku sudah tak tau lagi dengan cara pikirmu ini. Jika kau ingin mencarinya, carilah gadis tomboy berambut cokelat dengan tinggi sekitar segini."
Menunjukkan tinggi gadis itu yang hampir menyamainya, wanita itu pergi untuk mencuci beberapa gelas sebelum dia mendengar suara pintu yang terbuka.
Berdiri disana seorang diri, seorang gadis dengan rambut kastanyel yang bergelombang itu menatap langsung wanita tersebut dengan seksama.
Dirinya kemudian berujar.
"Maaf mengganggu. Dari yang ku dengar sebelumnya sepertinya gadis yang kau ceritakan memiliki kemiripan dengan seseorang yang sedang ku cari. Bisakah kau menceritakan tentangnya padaku?"
Gadis itu tanpa menunjukkan keanehan mulai tersenyum dengan senyuman yang sulit ditebak.